Adu Strategi dan Lentur Menghadapi Kondisi Perekonomian
›
Adu Strategi dan Lentur...
Iklan
Adu Strategi dan Lentur Menghadapi Kondisi Perekonomian
Usaha mikro, kecil, dan menengah menopang kondisi perekonomian Indonesia pada saat krisis. Kini, kelenturan UMKM kembali diuji saat menghadapi kondisi perekonomian yang bergejolak akibat wabah Covid-19.
Oleh
CAS/JUD/AGE
·4 menit baca
Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM berjuang mempertahankan, bahkan meningkatkan pangsa pasar. Mereka memanfaatkan berbagai peluang untuk berjaya di negeri sendiri.
Miske Niharda (49) mengatur ulang letak sepatu yang dia jual di Ruang Nareswara, Gedung Smesco Indonesia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (9/3/2020) siang. Di sampingnya, Bunga (22), putrinya, ikut merapikan jajaran sepatu-sepatu bermerek De Monte.
Miske yang sudah 30 tahun memproduksi dan berjualan sepatu bersama suaminya, Firman, mengaku kesulitan memproduksi sepatu baru dalam sebulan terakhir. Seiring wabah Covid-19 di sejumlah negara, harga bahan baku dasar dari China naik. Salah satu bahan baku sepatu yang diimpor dari China adalah paku, yang harganya naik dari Rp 2.000 per bungkus menjadi Rp 7.000 per bungkus. Nilai modal produksi usahanya membengkak.
Kendati harga bahan baku naik, Miske tidak lantas menaikkan harga produk. Ia harus menekan marjin demi mempertahankan permintaan dan menjaga pasar.
”Kalau (harga dinaikkan) bisa-bisa enggak ada yang beli. Yang penting lancar. Ada yang beli, itu saja,” katanya.
Untuk menarik perhatian calon konsumen, Miske dan Bunga gencar mempromosikan hasil produksi mereka, antara lain melalui media sosial.
Sementara, Sri Titin, pimpinan CV Saripati Laer, produsen minuman herbal, mengeluhkan bahan baku yang kini mahal dan susah didapat. ”Bahan baku sampai rebutan dengan pembeli lain,” ujarnya.
Harga jahe merah, misalnya, naik dari Rp 30.000 per kg menjadi Rp 70.000 per kg. Harga temulawak juga naik dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 40.000 per kg. Adapun gula pasir naik dari Rp 550.000 per karung isi 50 kg naik jadi Rp 750.000 per karung.
Kenaikan harga itu akibat permintaan yang meningkat seiring ketertarikan masyarakat mengonsumsi rempah-rempah. Kondisi yang terjadi sejak wabah Covid-19 merebak ini disampaikan Sri kepada Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki yang sempat singgah di stan Saripati Laer.
Lonjakan harga ini menyulitkan Sri yang harus kontinu memproduksi minuman herbal. Apalagi, ia terikat kontrak dengan toko ritel modern sehingga pasokan mesti selalu dijaga.
Kendati harga bahan baku naik, Sri tak bisa begitu saja menaikkan harga produknya. Ia memilih menekan keuntungan.
”Soal keuntungan, saya enggak terlalu risau. Yang penting saya tetap bisa menyediakan produk,” kata Sri.
Sebaliknya, bisnis Rudi Tri Handono (55) justru menggeliat dalam sebulan terakhir. Penjualan minuman sari buah mengkudu dengan merek Supernoni melonjak. Seiring wabah Covid-19 yang merebak di sejumlah negara, termasuk 19 orang yang dinyatakan positif Covid-19 di Indonesia, masyarakat gemar mengonsumsi sayur dan buah, termasuk produk herbal.
Rudi sudah 18 tahun meracik jamu dari bahan baku yang ia tanam sendiri di perkebunan miliknya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Maka, saat harga bahan baku melonjak di pasaran, ia tak khawatir.
”Kami punya perkebunan sendiri. Semua bahan lokal sehingga produksi tidak terhambat,” katanya.
Kendati permintaan meningkat, Rudi tak menaikkan harga jual produk jamu Supernoni, yakni Rp 130.000-Rp 150.000 per botol.
Tulang punggung
Teten Masduki menyebutkan, pelaku UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian yang menyumbang produk domestik bruto (PDB). Pada saat krisis ekonomi, UMKM terbukti bisa menyelamatkan perekonomian nasional, seperti pada krisis 1998.
”Ekspor saat itu sampai naik 350 persen. Jadi, bangsa ini sebenarnya berutang budi kepada UMKM. Namun, setelah itu kembali dilupakan. Pengalaman pada 1998 seharusnya bisa jadi pengingat untuk memperkuat UMKM sebagai tulang punggung ekonomi kita,” kata Teten.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, PDB atas harga berlaku pada 2018 sebesar Rp 14.038 triliun. Dari jumlah itu, Rp 8.573 triliun di antaranya atau 61,07 persen dari UMKM.
Jadi, bangsa ini sebenarnya berutang budi kepada UMKM.
Sementara, ekspor nonmigas Indonesia pada 2018 senilai R 2.044 triliun, yang Rp 293,84 triliun atau 14,37 persen di antaranya disumbang UMKM.
Terkait kondisi terkini, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun memperkirakan, omzet UMKM di sektor nonkuliner turun
30-35 persen sejak wabah Covid-19 merebak. Penyebabnya, penjualan produk ini mengandalkan tatap muka atau pertemuan antara penjual dan pembeli secara fisik.
UMKM yang menjual produk non-kuliner ini juga biasa membidik wisatawan asing sebagai pasar. Akibatnya, saat industri pariwisata merosot akibat wabah Covid-19 yang merebak, UMKM seperti ini kena getahnya.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, ada 1,27 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Januari 2020. Jumlah ini turun 5,85 persen dibandingkan dengan Desember 2019.
UMKM mesti liat dan memiliki strategi jitu, seperti yang selalu mereka lakukan saat berhadapan dengan kondisi perekonomian yang buruk.