Kasus Pembunuhan dalam Perebutan Tanah di Adonara, Rekonsiliasi Adat Lebih Dihormati Masyarakat
›
Kasus Pembunuhan dalam...
Iklan
Kasus Pembunuhan dalam Perebutan Tanah di Adonara, Rekonsiliasi Adat Lebih Dihormati Masyarakat
Delapan orang diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembunuhan yang menewaskan enam orang terkait perebutan tanah di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Delapan orang diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembunuhan yang menewaskan enam orang terkait perebutan tanah di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski mengedepankan hukum pidana, polisi tetap menghormati upaya rekonsiliasi secara adat dan tradisi dari kedua suku yang bertikai.
Kepala Kepolisian Resor Flores Timur Ajun Komisaris Besar Dennys Abraham saat dihubungi di Larantuka, Selasa (10/3/2020), mengatakan, pihaknya telah memanggil delapan orang dari suku Lama Tokan untuk diperiksa sebagai saksi. Warga dari suku Kwaelaga pun telah diperiksa, tetapi sebagai saksi yang melaporkan kasus itu. Kedua suku yang bertikai akan diperiksa secara bertahap.
Belum ada tersangka karena mereka baru diperiksa siang ini. Pemeriksaan ini masih sebagai saksi. Tentu akan ada tersangka. Kedua pihak yang bertikai, yakni suku Kwaelaga dan suku Lama Tokan, akan diperiksa.
”Belum ada tersangka karena mereka baru diperiksa siang ini. Pemeriksaan ini masih sebagai saksi. Tentu akan ada tersangka. Kedua pihak yang bertikai, yakni suku Kwaelaga dan suku Lama Tokan, akan diperiksa,” kata Dennys.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, yang juga tokoh masyarakat Adonara, Karolus Kopong Medan, mengatakan, polisi jangan hanya fokus pada hukum pidana dalam menangani kasus itu. Sesuai tradisi hukum adat Adonara, ketika kasus itu dibawa ke pengadilan pemerintah, relasi hubungan kedua pihak yang bertikai putus sama sekali, ”kenetun”. Itu berarti peluang rekonsiliasi dan damai tidak terbangun lagi.
Tak pernah tuntas
Pengadilan boleh memutuskan siapa yang bersalah dan divonis masuk penjara, tetapi di lapangan penyelesaian tidak akan pernah tuntas. Apalagi, kedua suku yang bertikai berdiam di satu desa yang sama, memanfaatkan fasilitas umum bersama-sama, sering berpapasan di jalan, dan berinteraksi secara sosial.
Dendam itu masih ada di antara kedua suku, terutama pihak dengan jumlah korban sedikit. ”Lagi pula, watak pria Adonara sangat berpegang teguh pada kehormatan sebagai pria sejati, pantang menyerah, berani mati, dan tidak mudah tunduk kepada siapa pun kecuali pada adat dan tradisi setempat,” katanya.
Proses hukum pidana bisa mengganggu proses rekonsiliasi secara adat yang ingin dibangun para tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua pihak. Sebelum proses pemeriksaan terhadap delapan orang dari suku Lama Tokan lebih lanjut, polisi mencoba menawarkan upaya rekonsiliasi adat kepada pihak pelapor, yakni suku Kwaelaga.
Ia mengatakan, pengertian Adonara ada beberapa versi. Dalam bahasa Lamaholot, terdiri atas dua kata, yakni adok dan nara. Adok berarti menghasut, mengadu, dan nara berarti suku-suku atau komunitas. Adonara berarti kehidupan suku-suku di pulau itu saling menghasut, sampai terjadi kekacauan dan peperangan.
Versi lain menyebutkan Adonara berarti aduk dan darah. Kemungkinan arti ini diberikan oleh bangsa Belanda yang sejak tahun 1700-an menguasai wilayah Kepulauan Sunda. Belanda memberikan nama pulau itu Adonara setelah menyaksikan kasus-kasus kekerasan di pulau tersebut.
”Ata Kiwan”
Dosen Antropologi Undana, Kondradus Blajan Dasion, mengutip buku karya misionaris Katolik yang pernah bertugas di Flores, Pastor Ernst Vatter SVD dari Polandia, tentang ”Ata Kiwan” tahun 1932.
Salah satu bagian dari buku itu menyebutkan Pulau Adonara disebut sebagai pulau pembunuh, Island Killer. Pada 1900-1932, di kantor pengadilan negeri dan kantor kepolisian Larantuka, duduk ratusan orang dari pulau-pulau sekitar, tetapi paling banyak dari Adonara.
Mereka berjajar dari dermaga Larantuka sampai kantor pengadilan. Mereka adalah pelaku kejahatan di Pulau Adonara. Semua kasus yang disangkakan kepada para pria asal Adonara itu adalah pembunuhan dengan berbagai alasan. Perebutan tanah, perebutan perempuan, pencurian, penghinaan, dan dendam atas kasus-kasus sebelumnya.
Pengadilan saat itu tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus tersebut sampai tuntas di lapangan. Seusai menjalani sidang dan didenda atau dihukum kerja paksa, mereka kembali saling membunuh setelah pulang ke kampung asal.
”Mereka menilai pengadilan yang mereka jalani tidak berlaku adil. Namun, di satu sisi, mereka sangat menghormati adat istiadat dengan ketua adat setempat,” kata Blajan.
Peran tokoh adat saat itu sangat tinggi di masyarakat Adonara. Mereka juga sangat menghormati leluhur, yang mereka akui sering bertemu dan berbicara dengan mereka saat itu.
Melihat watak kaum pria Adonara saat itu, pengadilan Belanda pun cenderung menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan cara rekonsiliasi adat. Kepala suku dihadirkan untuk mendamaikan kedua pihak yang bertikai di kampung itu, dilanjutkan dengan ritual adat.