Program tol laut masih belum efisien. Salah satu indikatornya, daerah-daerah yang memiliki pelabuhan dan dilalui tol laut inflasinya lebih tinggi dari inflasi nasional.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen pemerintah untuk menekan disparitas harga kebutuhan pokok antardaerah tecermin dari program interkoneksi moda laut, udara, dan darat. Namun, sasaran program sulit tercapai jika tol laut yang menjadi pintu masuk interkoneksi tidak berjalan efektif.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi, Ahmad Heri Firdaus, Senin (9/3/2020), di Jakarta, mengatakan, selama ini tol laut masih belum efisien. Salah satu indikatornya, daerah-daerah yang memiliki pelabuhan dan dilalui tol laut inflasinya lebih tinggi dari inflasi nasional.
Di Papua dan Kalimantan Timur, misalnya, inflasi pada Februari 2020 masing-masing 0,59 persen dan 0,4 persen. Padahal, inflasi nasional pada periode itu 0,28 persen. ”Inflasi tersebut menunjukkan harga bahan pokok di daerah-daerah yang dilalui tol laut masih tinggi,” ujarnya.
Menurut Heri, sejak awal konsep tol laut itu lebih mengedepankan paradigma transportasi sehingga sampai sekarang pun masih belum efisien. Selama ini yang terjadi adalah muatan berangkat dengan muatan balik tak berimbang.
Seharusnya tol laut mengedepankan paradigma rantai pasok antardaerah produsen, konsumen, dan penyedia bahan baku. Untuk menuju ke arah itu, perlu peta permintaan dan penawaran di setiap daerah dan ditopang oleh pembangunan industri berbasis sumber daya alam yang dilalui tol laut.
Keterjangkauan
Pemerintah mulai menggulirkan tol laut sejak 2015. Pada 2017, pemerintah meningkatkan keterjangkauan daerah-daerah pedalaman dan terpencil yang tidak dapat dijangkau dengan kapal melalui program jembatan udara, kemudian disusul dengan angkutan darat bersubsidi. Program jembatan udara itu mencakup angkutan udara perintis kargo dan subsidi angkutan udara kargo.
Program yang diluncurkan pada November 2017 itu semula memiliki 13 rute. Pada 2018 bertambah menjadi 43 rute, pada 2019 sebanyak 39 rute, dan pada 2020 menjadi 28 rute. Cakupan wilayahnya adalah daerah asal yang menjadi titik kumpul dengan wilayah tujuan di sekitarnya yang hanya dapat dijangkau melalui transportasi udara.
Wilayah itu, antara lain, Timika, Wamena, Dekai, dan Tanah Merah di Papua; Masamba di Sulawesi Selatan; serta Tarakan di Kalimantan Utara. Setelah diangkut dari laut ataupun udara, barang-barang pangan dan kebutuhan penting lainnya itu diangkut menggunakan angkutan darat bersubsidi.
Direktur Sarana Distribusi dan Logistik Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Sihard Hadjopan Pohan mengatakan, penambahan dan pengurangan rute jembatan udara didasarkan usulan pemerintah daerah dan hasil evaluasi setiap tahun. ”Barang yang diangkut melalui jembatan udara terkoneksi dengan barang yang diangkut melalui tol laut dan subsidi angkutan barang di darat,” katanya dalam siaran pers.
Tahun ini pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 500 miliar untuk subsidi angkutan udara perintis penumpang, perintis kargo, dan kargo. Heri menilai, selama paradigma rantai pasok tidak diterapkan, pengembangan tol laut melalui jembatan udara dan angkutan darat bersubsidi tetap tidak akan efisien.
Sementara itu, beragam usulan disampaikan daerah untuk memperbaiki efektivitas tol laut. Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli, misalnya, mendorong agar diterbitkan peraturan presiden tentang pengendalian dan pengawasan barang tol laut, mulai dari sentra produksi di Pulau Jawa hingga pemasaran di kawasan timur Indonesia. ”Barang yang diangkut menggunakan tol laut agar diberi label tertentu supaya mudah dikenali,” ujarnya.
Jika kondisinya seperti ini, pemerintah daerah terkesan tidak berbuat apa-apa, sementara pemerintah pusat merasa hal itu adalah tugas dari pemda setempat.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsul Anam menilai, pemerintah seharusnya menguatkan kelembagaan di tingkat daerah beserta regulasi yang detail. Kelembagaan dengan tugas, fungsi, sekaligus insentif yang tetap bisa membuat pengaturan barang dan pengawasan efektif.
”Ini dulu yang diselesaikan serta aturan yang detail dan jelas. Jika kondisinya seperti ini, pemerintah daerah terkesan tidak berbuat apa-apa, sementara pemerintah pusat merasa hal itu adalah tugas dari pemda setempat,” ucapnya. Di sisi lain, pemerintah juga berupaya mengatasi praktik monopoli pedagang yang memanfaatkan tol laut.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Wisnu Handoko mengatakan, program Rumah Kita yang dikelola Pelni dan Gerai Maritim yang dibina Kementerian Perdagangan digulirkan untuk mencegah monopoli itu. (HEN/JAL/FRN/FLO/OKA)