Janji Teten dan Strategi Thailand
Thailand memberikan imbal tunai (”cashback”) kepada konsumen yang membeli produk UMKM. Kebijakan seperti itu diperlukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga lewat belanja dan kuliner.
Usaha mikro, kecil, dan menengah selalu memiliki peluang menembus pasar dalam negeri dan luar negeri. Usaha penopang ekonomi kerakyatan dan tulang punggung ekonomi nasional itu memiliki kelenturan dan daya tahan menghadapi berbagai macam krisis.
Kendati demikian, pemerintah tidak tinggal diam. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah akan terus memperkuat UMKM, salah satunya belajar dari strategi pengelolaan UMKM di Thailand.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki meyakini, ketika laju barang impor dari luar negeri menurun akibat wabah penyakit virus korona baru (Covid-19), pasar dalam negeri dengan sendirinya akan beralih ke produk-produk hasil UMKM dalam negeri.
”Memang pasar mau membeli dari mana lagi? Justru ini kesempatan bagi UMKM karena impornya berhenti, pasar akan menyerap produk UMKM, jadi tidak perlu ada jaminan apa-apa lagi, pasti seperti itu logikanya,” kata Teten.
Ia mencontohkan, sejumlah produk yang terkena dampak positif dari Covid-19 adalah buah-buahan, sayuran, dan beberapa rempah-rempah yang digunakan untuk bahan baku produk herbal, seperti jahe merah dan temulawak.
Permintaan beberapa jenis komoditas itu meningkat karena dibutuhkan untuk menjaga kesehatan. Sementara, pasokan bahan dari dalam negeri untuk rempah-rempah sudah pasti terjamin.
Teten juga menyebutkan, kesempatan bagi UMKM datang secara tidak langsung lewat insentif pariwisata yang diberi pemerintah untuk mendorong kunjungan wisatawan Nusantara ke destinasi wisata.
”Stimulusnya itu bagaimana meningkatkan kunjungan orang sehingga produk UMKM yang dipasarkan di sana juga akan ikut tersedot, jadi yang kita tingkatkan adalah pasar permintaannya,” ujarnya.
Selain itu, Teten mengaku, Indonesia belajar dari Thailand dalam pengelolaan UMKM, terutama terkait konsumsi masyarakat terhadap produk UMKM. Pemerintah Thailand memiliki skema kebijakan untuk mendorong masyarakatnya mengonsumsi produk dalam negeri.
Thailand memberikan imbal tunai (cashback) kepada konsumen yang membeli produk UMKM. Kebijakan seperti itu diperlukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga lewat belanja dan kuliner.
”Di sana sudah ada skema subsidi pemerintah untuk konsumen yang membeli, belanja, atau makan di warung-warung UMKM, bisa dapat cashback,” katanya.
Thailand memberikan imbal tunai (cashback) kepada konsumen yang membeli produk UMKM. Kebijakan seperti itu diperlukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga lewat belanja dan kuliner.
Menurut dia, Indonesia bisa saja meniru kebijakan yang sama seperti itu. Namun, perlu persiapan dan kajian terkait kondisi fiskal sebelum menggelontorkan insentif seperti itu. ”Skema gaya hidup berkuliner dan berbelanja itu pasti menguntungkan, bisa menggairahkan pasar. Kita bisa saja meniru seperti itu, tapi harus dibahas lagi,” katanya.
Keluwesan
Struktur UMKM di Tanah Air saat ini relatif belum banyak berubah. Masih banyak UMKM terkendala dalam menemukan model bisnis yang pas, pemasaran, dan permodalan.
Kendati demikian, kehadiran teknologi di bidang perdagangan secara daring (e-dagang) dan pinjam-meminjam antarpihak (tekfin), semakin memberi warna perkembangan UMKM beberapa tahun belakangan ini. Di tengah kondisi krisis akibat wabah Covid-19, UKM dinilai masih tetap memiliki potensi untuk diandalkan, seperti saat krisis 1997-1998.
Baca juga: Menelaah Transformasi Digital UMKM
Kepala Bidang Organisasi International Council for Small Business (ICSB) Indonesia Samsul Hadi mengatakan, untuk produk-produk tertentu, ketergantungan UMKM terhadap bahan baku atau bahan penolong impor memang tetap ada. Ini karena bahan baku atau bahan penolong tersebut tidak dihasilkan di dalam negeri.
Kalaupun diproduksi di dalam negeri, harganya tidak kompetitif dibandingkan impor. ”UMKM unggul di sisi fleksibilitas atau keluwesan. Ketika terpaksa harus substitusi impor, UMKM lebih gampang melakukannya karena relatif lebih bisa menyiasati dengan berbagai cara,” ujarnya.
UMKM unggul di sisi fleksibilitas atau keluwesan. Ketika terpaksa harus substitusi impor, UMKM lebih gampang melakukannya karena relatif lebih bisa menyiasati dengan berbagai cara.
Terkait hal itu, Samsul meyakini UMKM masih bisa diandalkan saat kondisi ekonomi sulit. Namun, catatannya harus tetap ada dukungan dan kebijakan tepat yang memampukan UMKM berkontribusi signifikan terhadap perbaikan ekonomi.
”Ketika kondisi memang sulit untuk mendorong ekspor, harus ada penguatan bagi UMKM yang mampu substitusi impor atau bahkan menyediakan produk subtitusi impor,” kata Samsul.
Baca juga: ”Omnibus Law” Dorong Penguatan dan Pertumbuhan UMKM
Sementara, Kementerian Koperasi dan UKM berkomitmen menjadikan UMKM naik kelas secara bertahap. Dukungan pengembangan UMKM itu terutama diarahkan pada kegiatan produktif dan melibatkan generasi muda agar menjadi keunggulan masa depan.
”UMKM dan koperasi membutuhkan kebijakan afirmatif dan butuh proteksi sehingga jangan disamakan dengan (pelaku usaha) yang besar,” ujar Teten.
Untuk itu, lanjut Teten, Kementerian Koperasi dan UKM akan mengubah karakter Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM (LPDB-KUMKM) agar jauh lebih ramah, mudah, dan cepat dalam pengembangan koperasi dan UMKM. LPDB diharapkan menjadi alternatif pembiayaan selain bank dan pembiayaan ultramikro.
”Jadi nanti lebih proaktif menjemput bola dan melakukan pembinaan. Kalau persyaratan tidak cukup, ya dibimbing sampai mereka bisa mendapatkan pembiayaan,” ujarnya.
Baca juga: Meningkatkan Kontribusi UMKM
Skema pembiayaan
Berdasarkan data Kemenkop UKM (2018), jumlah usaha mikro tercatat 63.350.222 unit atau 98,68 persen dari total jumlah unit usaha di Indonesia. Selain itu, ada 783.132 usaha kecil (1,22 persen), 60.702 usaha menengah (0,09 persen), dan 5.500 usaha besar (0,01 persen).
Sebagian besar UMKM, yakni di sektor mikro, dibiayai lewat pengembangan berbagai program. Misalnya ada program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar), Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM), Unit Ultra Mikro (UMi), dan Permodalan Nasional Madani (PNM).
”Sampai 2024 nanti, separuh dari pelaku UMKM, yakni sekitar 30 juta pelaku UMKM, akan dibiayai melalui program-program itu,” kata Teten.
Sampai 2024, separuh dari pelaku UMKM, yakni sekitar 30 juta pelaku UMKM, akan dibiayai melalui program-program itu.
Baca juga: Warung Sop Ayam Kini Bisa Himpun Dana Pasar Modal
Selain itu juga melalui 75 badan layanan umum (BLU) yang terkait UMKM dan kredit usaha rakyat. Pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sedang mengembangkan sumber pembiayaan lain, yakni lewat urun dana (crowdfunding) dan pasar modal.
”Kami akan mendata dan memfasilitasi mereka, terutama yang masuk kategori kelas menengah yang sudah siap dinaikkan skala usahanya,” ujar Teten.