Kawasan selatan Jawa Timur masih tertinggal dibandingkan dengan utara. Para bupati kawasan selatan perlu kerja keras, fokus, dan kreatif untuk mempercepat pembangunan.
Oleh
DEFRI WERDIONO/AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kawasan selatan Jawa Timur masih tertinggal dibandingkan dengan utara. Para bupati kawasan selatan perlu kerja keras, fokus, dan kreatif untuk mempercepat pembangunan. Jika tiada terobosan dan keberanian, kawasan selatan sulit berkembang, terutama berbagai proyek prasarana berjalan lamban.
Kawasan selatan berpotensi luar biasa, terutama dari sisi pariwisata alam. Karena tertinggal dari utara, pemerintah mencanangkan pembangunan jalan lintas selatan (JLS) atau pantai selatan (pansela) pada 2002. Sampai 18 tahun berjalan, pembangunan pansela sepanjang 685 kilometer baru terwujud 404 kilometer atau 59 persen.
Target kami ke depan penerbangan internasional sudah bisa mendarat di Banyuwangi. Kalau ini terwujud dan JLS jadi, maka akan terhubung dengan program-program pembangunan yang ada. (Abdullah Azwar Anas)
Pembangunan prasarana ”pesaing” jalur pantai utara (pantura) ini begitu lambat sehingga mendapat perhatian. Bahkan, terbit Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 tentang percepatan pembangunan di Jatim yang salah satunya mencakup kawasan selatan.
Hal itu mengemuka dalam Bincang Kompas ”Pengembangan Kawasan Selatan Jawa Timur” di Grha Kadin Jatim, Surabaya, Selasa (10/3/2020). Kegiatan ini hasil kerja sama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, PT HM Sampoerna Tbk, dan PT Pertamina (Persero).
Hadir sebagai narasumber Bincang Kompas dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional 2020 itu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim Rudy Ermawan Yulianto, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto, Kepala Grup Advisory dan Pengembangan Ekonomi Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jatim Harmanta, pengamat kawasan Hadi Prasetyo, dan pengamat ekonomi Universitas Airlangga Imron Mawardi.
Khofifah mengakui percepatan pembangunan JLS masih terbentur beberapa kendala, misalnya pembebasan lahan dan skema pembiayaan. Misalnya, di Malang yang telah ditinjaunya sedang berlangsung pembangunan LOT 9 Balekambang-Kedungsalam sepanjang 18 kilometer, LOT 7 Batas Tulungagung-Batas Malang sepanjang 13 kilometer, dan LOT 6 Prigi-Brumbun sepanjang 18 kilometer ditargetkan selesai pada 2022.
”Skema pembiayaannya ada yang dari Islamic Development Bank dan lainnya. Pembiayaan baru bisa cair setelah pembebasan sehingga bisa untuk pembanguanan fisik,” kata Khofifah. Percepatan pembangunan JLS memerlukan dukungan dari para bupati untuk cepat mengurus dan membebaskan tanah-tanah. Dengan begitu, skema pembiayaan dan pembangunan fisik dapat segera terlaksana.
Anas menyatakan, pengalaman memimpin Banyuwangi hampir sedasawarsa menunjukkan kawasan selatan bisa dikembangkan menjadi pusat ekonomi baru berbasis pariwisata.
Bertahun-tahun, ekonomi Banyuwangi tumbuh pesat dari pariwisata dan menjadi yang terdepan di antara kabupaten di Jatim. Terhadap provinsi, kontribusi ekonominya tertinggi (3,5 persen), penduduk miskin terendah (7,5 persen), dan pendapatan warga tertinggi, yakni Rp 49 juta per kapita per tahun.
Anas yakin penyelesaian pembangunan JLS atau pansela akan membantu percepatan mobilitas warga, barang, dan jasa di kawasan selatan Jatim dari Pacitan-Banyuwangi. Selain itu, membuka hubungan dengan dunia internasional. ”Target kami ke depan penerbangan internasional sudah bisa mendarat di Banyuwangi. Kalau ini terwujud dan JLS jadi, maka akan terhubung dengan program-program pembangunan yang ada,” katanya.
Anas memberikan tips bahwa kemajuan Banyuwangi adalah menjadikan setiap tempat sebagai tujuan wisata. Selain itu, setiap kegiatan sebagai atraksi wisata. Misalnya, pabrik kereta api yang dibangun di Banyuwangi berarsitektur unik khas Osing. Juga ada museum kereta api. Untuk Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi, gerbang didesain unik. Tempat istirahat menghadap Selat Bali dan akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sehingga menjadi tujuan wisata.
Menetapkan kebijakan
Hadi mengatakan, para bupati di kawasan selatan (Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi) perlu menetapkan kebijakan terfokus pembangunan. Mereka harus mempunyai visi kabupaten akan dibuat menjadi apa dengan jangkar industri yang sesuai. Kemudian penerapan insentif dengan percepatan pemberian perizinan. Bupati juga harus berani memberikan jaminan kebijakan agar ada kepastian hukum bagi penanam modal.
Menurut Hadi, visi, terobosan, dan keberanian dimiliki oleh setiap bupati, termasuk di kawasan selatan. Namun, tak semua bupati mampu memberikan kepastian kepada calon penanam modal yang dianggap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi atau pembangunan. ”Dengan demikian, investor bisa berhitung, yakin, dan akhirnya mewujudkan investasi,” katanya.
Adik menilai, pengusaha memiliki cara pikir atau opsi dalam berbisnis. Pembangunan prasarana tidak melulu cespleng secara otomatis menumbuhkan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi atau pembangunan. Pengusaha lebih berpikir tentang pilihan bisnis yang cocok dan menguntungkan. ”Selatan punya potensi, tetapi mau dikemas untuk bisnis apa?” ujarnya.
Imron berpendapat, Perpres No 80/2019 lebih fokus pada infrastruktur. Padahal, untuk mengembangkan kawasan, ada sejumlah parameter yang belum disinggung, terutama indeks pembangunan manusia. Lihatlah pembangunan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang gagal memberikan dampak positif terhadap kemajuan rakyat Madura.
Di Sampang, Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep, Indeks Pembangunan Manusia yang dilihat dari tingkat pendidikan warganya lebih rendah daripada kabupaten/kota lainnya di daratan Pulau Jawa. Selain itu, di Pulau Madura, tingkat kemiskinan tinggi.
”Nah, di Jatim selatan, kontribusi APBD masih di bawah rata-rata provinsi dan pertumbuhan ekonominya selalu rendah sehingga perlu strategi dan keberanian khusus,” kata Imron.