Kata "memfungsionalkan"—diturunkan dari nomina fungsi—kemudian menjadi sinonim dari memberhentikan, mengganti, mencopot, atau memecat pegawai/pejabat dari kedudukannya. Bagaimana makna kata itu diterapkan?
Oleh
KASIJANTO SASTRODINOMO
·2 menit baca
Kepada para wartawan yang mengerumuninya, menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa ia telah “memfungsionalkan” dua pejabat struktural di kementeriannya—seorang direktur jenderal dan seorang direktur (Kompas, 29/1/2020). Pak Menteri ternyata memberhentikan kedua petinggi tersebut dari jabatannya. Jadi, dalam hal ini, memfungsionalkan—diturunkan dari nomina fungsi—adalah sinonim memberhentikan, mengganti, mencopot, atau memecat pegawai/pejabat dari kedudukannya.
Arti umum memfungsionalkan tentu ‘menjadikan fungsional’; sedangkan adjektif fungsional berarti ‘berdasarkan jabatan’ (lihat KBBI Badan Bahasa). Di sini tersua dua istilah kategori jabatan: struktural dan fungsional dalam birokrasi pemerintahan. Jabatan struktural mengacu pada kedudukan yang tegas diatur dalam struktur organisasi; lazim divisualkan dalam bagan—misal: sekretaris jenderal, direktur jenderal, direktur, kepala biro, dan staf ahli. Jabatan fungsional tak pernah tercantum dalam struktur organisasi, tetapi fungsinya sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok organisasi. Contoh: guru, dokter, peneliti, dan auditor.
Pasti, memfungsionalkan bukan ragam resmi untuk menyatakan pengakhiran masa tugas pegawai/pejabat di tengah jalan. Kata itu hanya amsal cakapan lisan tak resmi, tetapi terasa lebih diplomatis--dan terkesan “sangat eufemistis”--ketimbang memberhentikan yang baku dipakai untuk menyatakan hal serupa. Dalam memfungsionalkan juga tersirat bahwa karier pegawai/pejabat yang bersangkutan tidak “habis” sama sekali, melainkan bergeser ke jabatan fungsional. Kalau begitu, memfungsionalkan lebih menyerupai istilah mutasi alih-alih pemberhentian yang “mematikan”.
Dalam jabatan struktural terentang anak tangga hierarkis yang dinyatakan dalam sebutan eselon ‘tingkatan kekuasaan’—dari eselon satu (tertinggi) hingga eselon empat (terbawah). Akan halnya jabatan fungsional bertumpu pada kelayakan kompetensi individual yang relatif mandiri. Kategorisasi dua jabatan tersebut mencerminkan suatu kesatuan tugas administratif atau ketatalaksanaan yang bersinergi dengan kerja-kerja berdasarkan keterampilan atau keahlian dalam ilmu tertentu. Selaras dengan itu, keduanya tak perlu dilihat secara dikotomis atawa mengabahkan.
Tersiar luas, pemerintah saat ini memangkasi rentang eselon birokrasi—dari empat eselon menjadi separuhnya saja. Artinya, total separuh jabatan struktural dalam pemerintahan--eselon tiga dan empat--bakal dihapus, dan pejabat struktural yang tergeser dari kursinya akan “difungsionalkan” pada posisi lain. Seorang pejabat administrasi sekretariat eselon tiga di pemerintahan daerah, sebagai misal, bisa “dikonversi” menjadi komandan Satuan Polisi Pamong Praja setempat. Jabatan itu termasuk fungsional yang serumpun dengan jabatan penyidik dan detektif.
Timbul kesan bahwa ranah jabatan struktural tampak lebih “sensitif” terhadap perubahan ketimbang pos fungsional. Salah satu sebabnya karena denyut kekuasaan birokrasi—sekecil apa pun—berada dalam relung ruang-ruang struktural. Makanya, terkait soal itu, dalam situasi tertentu, perlu kiat atawa pilihan berbahasa yang bisa bikin tenang.
KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia