Menagih Komitmen Dunia untuk Masa Depan Anak
Hingga saat ini negara-negara di dunia belum mampu memberikan lingkungan hidup yang layak bagi anak-anak. Mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak dimulai dari lingkup keluarga disertai upaya pemerintah.
Agenda Pembangunan Berkelanjutan bertujuan agar generasi mendatang dapat menikmati lingkungan yang aman dan nyaman, tanpa bahaya berlebih. Namun, hingga saat ini negara-negara di dunia belum mampu memberikan lingkungan hidup yang layak bagi anak-anak.
Itulah hasil kajian 40 ahli kesehatan anak selama dua tahun tentang ancaman kesehatan anak akibat perubahan iklim dan ancaman lain. Laporan berjudul ”A Future For The World’s Children?” itu diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), dan The Lancet, pada pertengahan Februari 2020.
Baca juga : Pelajaran Penting dari Keterbatasan Mereka
Kajian tersebut menempatkan anak-anak (usia 0-18 tahun) pada pusat agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Hasil dari kajian tersebut menilai, seluruh negara di dunia belum berhasil menjamin kehidupan layak dan lingkungan yang sehat untuk masa depan anak. Hal tersebut didasarkan pada ukuran dari dua indeks, yaitu indeks perkembangan anak (flourishing index) dan indeks keberlanjutan (sustainability index).
Mayoritas negara berpenghasilan rendah masih harus berjuang guna memenuhi kebutuhan dasar anak.
Indeks itu digunakan untuk melihat profil perkembangan dan masa depan anak-anak dalam konsep pembangunan berkelanjutan dari 180 negara. Perpaduan indeks ini menghasilkan pencapaian negara untuk memenuhi kebutuhan perkembangan anak, sekaligus ancaman yang ditimbulkan emisi karbon yang dihasilkan setiap negara.
Dari dua indeks tersebut tercatat bahwa anak-anak di negara berpendapatan rendah paling terdampak. Capaian pemenuhan kebutuhan dasar anak ini dilihat dari indeks perkembangan anak-anak. Sampai saat ini saja, mayoritas negara berpenghasilan rendah masih harus berjuang guna memenuhi kebutuhan dasar anak.
Di masa depan, mereka akan ikut merasakan dampak degradasi lingkungan yang lebih banyak disebabkan oleh pembangunan di negara-negara berpendapatan tinggi. Indeks ini menilai indikator anak bertahan hidup (survival) dan anak berkembang (thriving). Skor indeks dari angka 0 hingga 1, semakin mendekati angka 1 berarti menunjukkan kondisi berkembang baik.
Indikator anak bertahan hidup diambil dari poin kepastian kelahiran, anak di bawah lima tahun yang bertahan hidup, kejadian bunuh diri, akses terhadap pelayanan kelahiran dan kesehatan anak, sanitasi, dan tingkat kemiskinan. Indikator anak berkembang (thriving) terdiri dari penilaian terhadap capaian pendidikan, nutrisi dan pertumbuhan, kebebasan reproduktif, dan perlindungan dari kekerasan.
Indeks perkembangan anak
Dari indeks tersebut, peringkat terbawah atau capaian perkembangan anak paling buruk dihadapi oleh negara-negara dengan pendapatan rendah. Lima negara dengan peringkat terbawah adalah Mali (skor 0,12), Niger (skor 0,12), Somalia (skor 0,12), Chad (skor 0,10), dan Afrika Tengah (skor 0,06).
Selain itu, negara dengan pendapatan rendah ini juga ikut terdampak degradasi lingkungan yang diakibatkan negara-negara berpendapatan tinggi. Padahal, Mali, Niger, Somalia, Chad, dan Afrika Tengah termasuk negara dengan emisi karbon per kapita paling rendah. Hal tersebut dapat ditinjau dari indeks keberlanjutan. Kelima negara tersebut berada dalam 10 besar negara dengan indeks keberlanjutan tertinggi.
Artinya, mereka berhasil menjaga lingkungan dari sisi produksi emisi karbon yang rendah. Ini berbanding terbalik dengan negara-negara yang memiliki perkembangan anak paling baik, yaitu Norwegia, Korea Selatan, Belanda, Perancis, dan Irlandia. Negara-negara ini mampu memberikan pelayanan dan kehidupan yang layak bagi anak-anak dari sektor pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya.
Namun negara-negara ini justru menyumbang banyak emisi karbon di dunia yang akan menyumbang kerusakan lingkungan di masa depan. Norwegia, Korea Selatan, Belanda, dan Irlandia berada di peringkat bawah indeks keberlanjutan. Norwegia (peringkat 156), Korea Selatan (peringkat 166), Belanda (peringkat 160), dan Irlandia (peringkat 154) memiliki nilai karbon per kapita lebih tinggi sekitar 200 persen dari target pembangunan berkelanjutan 2030.
Orientasi pada anak
Hal itu menegaskan bahwa setiap negara wajib bertanggung jawab untuk menjamin masa depan generasi selanjutnya. Tidak hanya jaminan terkait fasilitas sosial dan ekonomi yang diberikan kepada anak. Namun, sektor lingkungan juga dipertimbangkan untuk menjamin masa depan anak.
Hal ini mengingatkan dunia akan kesepakatan yang pernah dibuat bersama pada 2015, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Agenda dunia yang terdiri dari 17 tujuan ini diharapkan akan mencapai targetnya pada 2030. Tujuannya agar generasi mendatang dapat menikmati lingkungan yang aman dan nyaman tanpa adanya bahaya berlebih.
Karena itulah, semua aspek yang direncanakan dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan berdampak untuk anak-anak sebagai generasi penerus. Selain itu, 44 indikator dari 232 indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dikaitkan dengan hak anak-anak. Untuk itulah, dalam sisa satu dekade ke depan, agenda ini harus mencapai target.
Jika kehidupan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa terjamin, masa depan negara juga terjamin.
Namun sayangnya, masih sedikit negara yang menerapkan dan mengukur perkembangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Padahal, data Unicef 2019 menyebutkan terdapat 945 juta anak tinggal di negara yang belum benar-benar mengimplementasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Inilah salah satu alasan, laporan ”A Future for the World’s Children?” diluncurkan. Mengingat, anak juga harus menjadi pusat pertimbangan kebijakan di setiap negara. Mengutip artikel milik Zlata Bruckauf dan Sarah Cook di jurnal Unicef (Juni 2017), ada dua alasan pentingnya menempatkan anak pada pusat agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pertama, melalui agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, negara dapat sekaligus menerbitkan kebijakan moral dan normatif untuk mewujudkan hak-hak anak sesuai Konvensi PBB tentang Hak Anak. Kedua, dan yang menjadi hal paling penting, adalah intervensi, dan investasi pada masa kanak-kanak akan berdampak positif bagi negara di kemudian hari. Jika kehidupan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa terjamin, masa depan negara juga terjamin.
Kota layak anak
Lantas, bagaimana kondisi di Indonesia dengan status negara berpendapatan menengah-rendah? Dalam Laporan ”A Future for the World’s Children?”, posisi Indonesia berada pada peringkat menengah untuk indeks perkembangan anak (117) dan indeks keberlanjutan (78). Artinya, perkembangan anak dan keberlanjutan lingkungan masih menjadi hal yang harus diwujudkan.
Kedua aspek ini sudah masuk program Kota Layak Anak sejak 2005. Program ini juga mengakomodasi hak-hak anak dari Konvensi Hak Anak dalam kebijakan pembangunan pemerintah di level kabupaten/kota. Dalam program ini, anak juga menjadi pusat kebijakan pembangunan daerah. Namun, belum ada satu daerah pun yang berhasil mencapai Kota Layak Anak. Sebanyak 247 dari 435 Kota/Kabupaten Inisiasi Kota Layak Anak hanya mendapatkan predikat Utama, Pratama, Madya, dan Nindya dalam penghargaan Kota Layak Anak.
Kota Surakarta, Surabaya, dan Denpasar berhasil mendapatkan penghargaan predikat Utama. Sementara, 135 kota/kabupaten meraih predikat Pratama, 86 kota/kabupaten mendapat predikat Madya, dan 23 kota/kabupaten menerima predikat Nindya. Perwujudan Kota Layak Anak perlu ditingkatkan pemerintah dan didukung oleh masyarakat.
Mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak dimulai dari lingkup keluarga disertai pemerintah untuk menyediakan layanan kebutuhan dasar anak. Laporan WHO, Unicef, dan The Lancet menjadi peringatan bagi dunia dan Indonesia bahwa anak-anak sebagai generasi penerus bangsa akan terancam jika negara tidak segera bertindak menjamin masa depan mereka. (Litbang Kompas)