Di sejumlah negara, metode ”omnibus” mulai ditinggalkan. Kalaupun dijalankan, metode tersebut dibatasi dengan subyek pengaturan tunggal sehingga pengaturannya tidak terlalu luas.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Omnibus law sebagai metode penyusunan undang-undang mengandung sejumlah kelemahan, antara lain karena dinilai kurang demokratis dan partisipatif. Di sejumlah negara, metode ini mulai ditinggalkan. Kalaupun dijalankan, metode ini dibatasi dengan subyek pengaturan tunggal sehingga pengaturannya tidak terlalu luas.
Dalam seminar nasional bertajuk ”Mengkaji Omnibus Law: Atas Nama Investasi, Akankah Agraria dan Pertanahan Indonesia Tetap Sehat?” yang diadakan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta, Senin (9/3/2020), pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, omnibus law memiliki sisi positif karena kecepatannya dalam mengharmonisasi regulasi.
Namun, di sisi lain terdapat kekurangannya yang sangat berbahaya apabila pembahasan omnibus law ini mencakup satu tema undang-undang (UU) yang besar dan melibatkan UU lain dalam jumlah besar.
”Saya tidak keberatan dengan metode ini karena dia cepat dalam merapikan sejumlah regulasi. Namun, metode ini tidak sederhana karena aspek negatifnya bisa besar kalau diterapkan untuk menyusun satu UU yang besar sekali. Seperti RUU Cipta Kerja ini kan sangat besar sekali dan mencakup 79 UU dengan 11 kluster,” kata Bivitri.
Selain Bivitri, hadir pula sebagai narasumber Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Surya Tjandra, ekonom Djamester Simarmata, dan praktisi hukum Ivor Pasaribu.
Aspek negatif omnibus law, menurut Bivitri, meliputi mekanisme penyusunannya yang cenderung tidak demokratis. Sebab, omnibus law biasanya dibuat dalam waktu cepat dan tidak partisipatif. Karena itulah metode ini ditinggalkan banyak negara lain yang menganut prinsip hukum common law.
”Para politisi merasa ada kecenderungan dari pemerintah untuk menyodori mereka suatu regulasi yang membuat lembaga legislatif kewalahan. Sebab sedemikian luas cakupan regulasi dan UU yang dimuat omnibus law. Oleh karena itu, para politisi meminta adanya single subject rule, atau ketentuan subyek yang tunggal, untuk membatasi tema-tema yang diatur dalam omnibus law. Apabila subyek tunggal ini tidak dapat dipenuhi suatu omnibus law, aturan itu bisa diajukan kepada Mahkamah Agung sebagaimana praktik yang berlangsung di Amerika Serikat (AS),” katanya.
Dalam konteks RUU Cipta Kerja, kelemahan dalam metode ini mengemuka antara lain kurang partisipatif, kurang demokratis, dan cenderung memenuhi kepentingan ekonomi jangka pendek semata. Hal ini antara lain terlihat dari komposisi satuan tugas omnibus law yang sebagian besar terdiri dari pengusaha dan sekelompok kecil akademisi, yang beberapa di antaranya tidak mengetahui substansi atau isi draf sejak awal.
”Penyusunannya pun terburu-buru dan tidak transparan. Presiden sendiri meminta agar omnibus law bisa diselesaikan dalam 100 hari. Padahal, RUU ini terdiri atas 1.028 halaman. Sekalipun hanya terdiri atas 174 pasal, tetapi apabila diteliti mendalam, satu pasal terdiri atas aturan-aturan lain yang susunannya membingungkan dan berpotensi menyembunyikan hal-hal kecil yang krusial dan penting,” kata Bivitri.
Memudahkan investor
Dari sisi ekonomi, Djamester melihat kerangka besar RUU Cipta Kerja ini adalah regulasi untuk memudahkan investor berusaha dan menanamkan modalnya di Tanah Air. Prinsip yang dibangun adalah makin banyak investor dimudahkan, mereka makin mudah berusaha, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan bisa menyerap tenaga kerja.
Dari sisi tersebut, logika itu harus dilengkapi dengan melihat pula hambatan ekonomi lainnya yang dialami Indonesia, yakni utang luar negeri yang besar.
”Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia berkisar dari 5,8 persen-6,4 persen. Adapun Malaysia sekitar 4 persen. Dengan pertimbangan itu, untuk menaikkan PDB (produk domestik bruto) 1 persen, dibutuhkan penambahan biaya modal atau investasi 5,8 persen-6,4 persen. Ini yang membuat Malaysia mampu meningkatkan ekonominya dibandingkan kita,” kata Djamester.
Namun, dengan melihat analisis lainnya, menurut Djamester, tingginya ICOR itu selaras dengan naiknya utang luar negeri Indonesia. Artinya, makin besar beban utang luar negeri Indonesia berarti makin buruk ICOR Indonesia.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki ICOR, Indonesia harus belajar mengatasi utang, yakni dengan memenuhi kebutuhan melalui pendanaan mandiri (self financing). Ia mencontohkan Jerman (1950-1980) dan China (1985-2002) yang menerapkan metode ini untuk membangun ekonominya.
Di sisi lain, konsultan yang juga advokat Ivor Pasaribu melihat sisi baik RUU Cipta Kerja yang berusaha memangkas keruwetan birokrasi dan perizinan guna memudahkan tumbuhnya usaha. Hal ini dinilai penting untuk bisa memperbaiki ekonomi Indonesia.
”Dalam bisnis perumahan dan real estat, misalnya, kendalanya selama ini memang perizinan. Sebab, sejak dari pengadaan tanah hingga konstruksi dan pascakontruksi, semua melibatkan proses perizinan. Dengan RUU Cipta Kerja ini, mekanisme perizinan itu disederhanakan sehingga memudahkan pengusaha,” katanya.
Sementara itu, menurut Surya Djaya, RUU Cipta Kerja berusaha menciptakan mekanisme, bank tanah maupun land banking yang dijalankan negara. Selama ini mekanisme itu sudah diterapkan dalam bisnis swasta, tetapi belum dilakukan oleh negara.
”Tujuannya supaya tanah tidak menjadi obyek spekulasi. Negara tentu tidak dapat membiarkan hal itu begitu saja. RUU Cipta Kerja ini mengatur adanya bank tanah,” katanya.
Di sisi lain, pengaturan tata ruang dan agraria akan dilakukan satu badan tertentu yang terintegrasi. Tidak seperti sekarang yang penataannya terpecah-pecah oleh berbagai lembaga yang berbeda-beda sehingga tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas ruang udara, tanah, air, dan sebagainya sebab masing-masing lembaga sektoral memiliki kewenangan.