Perang harga berkecamuk di antara raksasa penghasil minyak, Arab Saudi dan Rusia. Situasi ini akan menyulitkan perusahaan shale gas Amerika Serikat.
Oleh
·2 menit baca
Harga minyak dunia tertekan setelah wabah Covid-19 meluas karena industri melambat dan jumlah perjalanan menurun drastis. Dalam situasi ini, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) berusaha menjaga harga dengan mengurangi produksi. Upaya ini juga dibicarakan dengan Rusia, mitra OPEC. Selama tiga tahun terakhir, Rusia, pengekspor minyak yang bukan anggota OPEC, bekerja sama dengan organisasi itu, yang antara lain beranggotakan Arab Saudi, guna mengendalikan harga minyak.
Akan tetapi, upaya OPEC, terutama Arab Saudi, membujuk Rusia agar ikut mempertahankan harga di tengah pelemahan ekonomi akibat wabah Covid-19 tidak berhasil. Pertemuan pekan silam menyepakati dilanjutkannya pembatasan produksi. Strategi pengendalian produksi yang telah berlangsung tiga tahun, antara OPEC dan Rusia, akan berakhir 31 Maret.
The Wall Street Journal menulis, ”ketidakcocokan” antara Rusia dan Arab Saudi terjadi setidaknya sejak bulan lalu. Pada awal Februari, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman meminta ayahnya, Raja Salman, menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin guna meminta Moskwa mau bekerja sama membatasi produksi minyak. Menurut sejumlah pejabat Saudi, Rusia menolak berkomitmen mengendalikan harga minyak bersama OPEC.
Putin enggan berkomitmen karena Rusia tak mencemaskan dampak jangka panjang penyebaran virus korona baru terhadap pasar minyak. Ekonomi Rusia lebih terdiversifikasi ketimbang Arab Saudi, selain ada tekanan dari perusahaan minyak Rusia agar produksi ditingkatkan.
Pada pekan lalu, rencana perpanjangan kerja sama pengendalian harga gagal dicapai antara Arab Saudi dan Rusia. Riyadh memilih melancarkan perang harga dengan memberikan potongan harga kepada pembeli minyak mereka, seperti China dan India. Dampaknya, harga minyak anjlok cukup dalam kemarin, bahkan penurunannya sempat 25 persen. Penurunan ini adalah yang terbesar dalam sehari setelah Perang Teluk 1991.
Pemotongan harga adalah langkah pertama Saudi untuk mempertahankan pasar ekspor minyak negara itu. Riyadh juga akan meningkatkan produksi hingga melebih 10 juta barel per hari, dari 9,7 juta barel per hari. Dapat dibayangkan, harga minyak kian tertekan. Produsen minyak yang tak cukup kuat akan kalah dalam perang harga ini.
Penurunan harga minyak mencemaskan pasar keuangan. Bursa saham pun anjlok. Pemasukan perusahaan minyak akan turun. Perusahaan Amerika Serikat yang memproduksi shale gas mengalami situasi tak mudah dengan harga minyak yang terus turun. Bagi negara pengimpor, seperti China dan India, harga minyak yang turun dapat menguntungkan. Beban maskapai penerbangan juga diperingan dengan penurunan harga minyak di tengah anjloknya jumlah penumpang.