Jenuh penerbangan masih terasa saat roda pesawat menyentuh landasan pacu Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kepenatan hilang mendengar petikan kecapi dan tetabuhan gendang di terminal kedatangan
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·4 menit baca
Minggu (23/2/2020) sore, puluhan penumpang pesawat ATR dari Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur, menginjakkan kaki di Palangkaraya. Pesawat berkapasitas 72 penumpang bergetar sebelum mendarat.
Daratan mulai terlihat, tetapi pesawat kembali mengudara dan berputar dua kali sebelum akhirnya mendarat. Peristiwa itu membuat penumpang berpegangan erat dan khusyuk berdoa.
Perjalanan yang harusnya ditempuh 45 menit menjadi 1,5 jam lebih. Seusai mendarat, beberapa penumpang merasa sakit kepala dan mual. Begitu keluar dari pesawat, beberapa penumpang menggerutu, sebagian lagi bersyukur lalu berlari-lari kecil menuju terminal kedatangan.
Ketegangan di udara tadi mendadak sirna ketika terdengar alunan petikan kecapi dan tetabuhan gendang di Terminal Kedatangan Bandara Tjilik Riwut. Dua musisi Dayak, Handika Danuarta (25) dan Titik Surya (50), menyambut hangat tamu dengan alunan musik yang syahdu.
Sore itu, Handika mengenakan pakaian adat tradisional Dayak. Rompi dan celana berbahan kulit kayu dilengkapi topi berhias bulu burung enggang. Adapun Titik menyanyi dan bermain gendang. Penumpang yang menunggu bagasi pun terhibur. Ada yang memilih menikmati penampilan mereka sambil merekam menggunakan gawai.
Seni bertutur
Dalam tradisi Dayak, karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, dan perjuangan bahkan pesan semangat untuk membangun. Seni ini diiringi kecapi atau yang biasa disebut ketabung oleh masyarakat Dayak Ngaju. Selain ketabung, idealnya karungut juga diiringi kakanong, suling, dan gendang. Seni ini dipertahankan turun- temurun oleh nenek moyang Dayak di Kalimantan Tengah.
Perlahan, karungut ditinggalkan generasi muda. Hal itu yang menjadi alasan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengusulkan musik tradisional ditampilan di terminal kedatangan Bandara Tjilik Riwut. Hal itu pula yang membuat Handika bersedia tampil di terminal bandara. Mereka beraksi hingga 14 jam sehari. Saat tidak ada jadwal kedatangan pesawat, mereka pun beristirahat.
Sekali tampil, biasanya Handika menampilkan dua hingga tiga syair. Setelah itu digantikan Titik. Tak jarang pula mereka berkolaborasi saling mengisi. Para pemain karungut, seperti Handika dan Titik, disebut pangarungut. Tak hanya pandai melantunkan syair, tetapi juga menciptakan syair-syair baru. ”Karungut terkadang dinyanyikan spontan ataupun tertulis tergantung suasana dan momen,” kata Handika.
Salah satu syair yang sangat dikenal di Kalteng adalah bait karungut gubahan Bajik Simpei, pujangga karungut asal Kalteng, berjudul Kabar Bahalap (kabar baik). Begini syairnya. Salamat hasundau je mina mama Pahari biti bakas tabela (selamat bertemu ibu, bapa, tua muda) Ije melai kota kea melai desa (baik yang ada di kota maupun di desa) Kabar bahalap handak inyarita (ini ada kabar baik mau saya ceritakan)
Khas Dayak
Selain spontanitas, karungut juga menampilkan cerita rakyat. Seperti yang menginspirasi AF Nahan, pelestari cerita rakyat Kalteng. Nahan sudah membuat ratusan judul cerita rakyat asli Kalteng, sebagian besar ceritanya ia dapatkan dari hasil mendengarkan syair-syair karungut di beberapa kabupaten di Kalteng.
”Banyak sumber cerita rakyat yang saya tulis telah saya dengar dari tatum, sansana, tumetleot, dan karungut. Keempatnya adalah sastra lisan dari subsuku Dayak Ot Danum, Kapuas, Ma’anyan, dan Ngaju, yang ditampilkan dalam upacara terkait daur hidup mulai kelahiran hingga kematian,” cerita AF Nahan (Kompas, 25/3/2008).
Dalam tradisi Dayak, karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, dan perjuangan bahkan pesan semangat untuk membangun.
Bagi warga Kalteng, karungut atau syair yang didendangkan merupakan bagian khazanah budaya etnik Dayak. Karungut setara pantun di Tanah Melayu atau kidung di Jawa. Bandara Tjilik Riwut memang baru saja dibangun terminal baru. Bandara ini diresmikan Presiden Joko Widodo pada April 2019 lalu.
Setelah menunggu 4,5 tahun, akhirnya bandara ini bisa digunakan. Bandara megah seluas 29.000 meter persegi, itu, dipenuhi ornamen khas Dayak. Dinding-dinding bandara dipenuhi simbol Mandau telawang, atau parang khas Dayak beserta tameng. Selain itu, seperti gedung-gedung lain di Palangkaraya, bandara ini juga dipenuhi simbol batang garing (pohon kehidupan).
Keindahan budaya
Terminal baru tersebut dibangun di lahan seluas 3,25 hektar (ha) dan telah menghabiskan biaya kurang lebih Rp 354 miliar. Terminal tersebut mampu menampung 5.000 penumpang per hari dan menggantikan terminal lama berkapasitas 1.000 penumpang per hari. Apron baru berukuran 195 meter x 100 meter dan taxiway juga sudah selesai dibangun.
Landasan pacu sepanjang 2.600 meter dengan biaya Rp 56 miliar juga sudah dibangun. Dari data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, rata-rata peningkatan penumpang dari dan menuju Palangkaraya mencapai 13,8 persen per tahun atau mendekati 1 juta penumpang per tahun.
Kecantikan Kota Cantik, Palangkaraya, sudah bisa dinikmati begitu tiba di bandara. Pengunjung atau penumpang sekarang tidak perlu terburu-buru meninggalkan bandara, tetapi bisa menikmati berbagai sajian budaya, bahkan sambal menunggu barang bagasi datang.