Pola Komunikasi Kemenag Dianggap Belum Ampuh Tangkal Hoaks
›
Pola Komunikasi Kemenag...
Iklan
Pola Komunikasi Kemenag Dianggap Belum Ampuh Tangkal Hoaks
Kementerian Agama diminta lebih aktif di media sosial, terutama menghalau ujaran kebencian dan hoaks untuk mengedukasi masyarakat. Kemenag juga didorong lebih berperan dalam mempromosikan pemahaman agama yang toleran.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Menghadapi era media sosial dan banjir informasi, kementerian dan lembaga pemerintah diharapkan memiliki respons cepat untuk mengatasi ujaran kebencian maupun berita bohong. Di lingkup Kementerian Agama, pegiat media arus utama berharap ada konten narasi alternatif untuk menghalau ujaran kebencian dan hoaks.
Mahbib Khoiron, Redaktur Pelaksana NU Online, dalam acara ”Monitoring Isu Kemenag di Medsos dan Mitigasinya” di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (10/3/2020), mengatakan, di media sosial saat ini terjadi banjir informasi. Informasi yang berpotensi memecah belah masyarakat, seperti ujaran kebencian dan hoaks, cepat menjadi perbincangan dan viral, terutama berita-berita tentang intoleransi, persekusi kelompok minoritas, dan isu sektarian.
Menurut dia, Kementerian Agama yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang berkaitan dengan isu tersebut terkadang malah terjebak dengan konten yang bersifat internal. Lalu, ketika berita tersebut menjadi viral, baru Kemenag kelabakan. Belum ada upaya berkelanjutan memberikan kontra-narasi atau narasi alternatif untuk menghalau kabar bohong. Padahal, seharusnya Kementerian Agama melawan hal itu.
”Kementerian Agama kadang-kadang harus keluar dari petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang birokratis. Mereka harus lebih aktif di media sosial, terutama menghalau ujaran kebencian dan hoaks untuk mengedukasi masyarakat,” kata Mahbib.
Bahkan, menurut Mahbib, Kemenag selama ini terkesan selalu menghindar ketika menanggapi isu kontroversial. Kebijakan yang dikeluarkan Kemenag seperti surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri soal tempat ibadah dinilai memicu konflik pendirian rumah ibadah di berbagai tempat di Indonesia.
”Pada saat ada kasus dan ramai menjadi perbincangan, Kementerian Agama justru menghindar dari isu tersebut. Pernyataan yang dikeluarkan pun kurang mengayomi kelompok minoritas,” ujar Mahbib.
Ahmad Nurhasim, Editor The Conversation, menambahkan, saat ini diperlukan pola komunikasi yang berbeda pada instansi pemerintah. Hal itu salah satunya karena era media sosial yang berdampak pada banjir informasi, kabar bohong, dan ujaran kebencian. Pemerintah harus lebih aktif, misalnya, memanfaatkan akun resmi media sosial untuk berkomunikasi dan memberikan informasi akurat kepada masyarakat.
Dengan informasi akurat itu, kepanikan dan kekhawatiran yang tidak perlu dapat diminimalkan. Di lingkup Kemenag, misalnya, kata Nurhasim, saat kasus pembatalan keberangkatan jemaah umrah karena virus Covid-19 ada kesimpangsiuran informasi yang beredar di salah satu media arus utama. Jika Kemenag dapat merespons isu tersebut dengan cepat, hal itu tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.
”Salah satu institusi yang cukup cepat dan tanggap menginformasikan ke masyarakat adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mungkin, Kemenag bisa mencontoh mereka, terutama dalam memberikan informasi masalah pendidikan, haji dan umrah, hingga sertifikasi halal,” kata Nurhasim.
Terkait dengan isu hoaks dan ujaran kebencian, Nurhasim juga mengkritik Kemenag yang selama ini belum terlalu berperan dalam membela kelompok minoritas. Kemenag dinilai terlalu berhati-hati. Padahal, jika berpegang teguh pada konstitusi, mereka dapat mengayomi berbagai pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia. Sebab, sejatinya salah satu fungsi Kementerian Agama adalah menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
”Kemenag harus lebih berperan dalam mempromosikan pemahaman agama yang toleran, bagaimana menerima perbedaan sehingga dapat mencegah ujaran kebencian,” kata Nurhasim.
Kepala Subbagian Layanan Informasi Humas Kementerian Agama Moch Khoeron mengatakan, saat ini humas Kemenag di pusat dan daerah sedang berbenah. Salah satunya meningkatkan peran humas untuk menangkal hoaks dan ujaran kebencian. Caranya antara lain dengan menggelar seminar yang diikuti oleh humas di lingkungan daerah dan pusat Kemenag.
Menurut Khoeron, isu agama sebenarnya ada banyak yang tidak bersinggungan langsung dengan Kemenag. Contohnya pendirian rumah ibadah di Karimun, Kepulauan Riau, yang merupakan isu hukum. Persoalan di ranah Kemenag, katanya, sudah selesai karena rekomendasi sudah diberikan oleh Kemenag.
”Namun, karena persoalannya adalah rumah ibadah, akhirnya Kemenag juga dibawa-bawa,” kata Khoeron.
Kemenag mengakui selama ini akun media sosial resmi mereka masih lebih banyak diisi kegiatan internal yang kurang berkaitan dengan kepentingan publik. Oleh karena itu, kapasitas sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki untuk membuat narasi alternatif yang menyentuh kepentingan publik akan ditingkatkan.
”Selama ini akun media sosial kurang terkonsolidasi dengan baik. Ke depan akan ditingkatkan koordinasinya sehingga lebih menunjukkan eksistensi semua agama di Indonesia,” kata Khoeron.