Demam babi afrika yang menyerang ternak warga di Sumatera Utara menyebar ke Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat. Sedikitnya 7.500 ekor babi di Pulau Sipora, Mentawai , mati akibat demam babi afrika sejak awal tahun.
Oleh
Yola Sastra
·3 menit baca
TUAPEJAT, KOMPAS — Sedikitnya 7.500 ekor babi di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, mati akibat demam babi afrika sejak awal tahun. Pemerintah daerah meningkatkan biosekuriti peternakan babi tersisa dan melarang distribusi babi ke luar Pulau Sipora untuk mencegah demam babi afrika (african swine fever/ASF) merebak ke pulau lainnya di Mentawai.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Mentawai Hatisama Hura, Senin (9/3/2020), mengatakan, kematian babi akibat ASF di Pulau Sipora mulai terjadi sejak Tahun Baru 1 Januari 2020. Sejak itu, secara bertahap kematian babi terus berlangsung hingga sekarang.
”Ada 7.500 ekor babi mati sejak Januari. Matinya tidak sekaligus. Awalnya terjadi di Mapadegat, Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, kemudian menyebar hingga Saureinu, Kecamatan Sipora Selatan. Positif ASF berdasarkan hasil uji laboratorium Balai Veteriner Bukittinggi,” kata Hatisama ketika dihubungi dari Padang, Senin.
Menurut Hatisama, ASF menyerang semua varietas babi di Pulau Sipora, baik varietas Nias, varietas campuran Simalungun, maupun varietas lokal. Peternakan babi di Kepulauan Mentawai merupakan peternakan rakyat skala kecil dengan jumlah babi maksimal 20 ekor. Hatisama melanjutkan, kematian babi akibat wabah ASF hanya terjadi di Pulau Sipora.
Virus ASF yang menyebar di Kepulauan Mentawai diduga kuat berasal dari Sumatera Utara, yang juga mengalami wabah ASF.
Di pulau besar lain kabupaten itu, seperti Siberut, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, belum ditemukan wabah ASF yang memicu kematian massal babi. Virus ASF yang menyebar di Kepulauan Mentawai diduga kuat berasal dari Sumatera Utara, yang juga mengalami wabah ASF. Pedagang babi menyelundupkan daging babi mentah ke Tuapejat. Aktivitas ini tidak terpantau petugas karantina pertanian karena disembunyikan di antara kotak ikan.
Sampai saat ini, kata Hatisama, kematian babi akibat ASF masih terjadi di Pulau Sipora. Untuk mencegah wabah menyebar ke pulau lain, pemerintah kabupaten telah mengeluarkan surat edaran untuk camat, kepala desa, dan gereja yang melarang pengiriman babi, hidup ataupun mentah, dari Sipora ke pulau lain, seperti Siberut, Pagai Utara, dan Pagai Selatan.
Sementara itu, bagi peternakan babi di Sipora, kata Hatisama, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Mentawai membagikan disinfektan ke peternak untuk disemprotkan ke kandang babi. Wabah ASF menyebabkan kelangkaan daging babi di Pulau Sipora. Harganya melonjak dari Rp 30.000-Rp 40.000 per kilogram menjadi Rp 70.000 per kilogram.
”Wabah ASF sangat berpengaruh ke perekonomian masyarakat,” ujarnya. Kepala Desa Sipora Jaya Muslimat mengatakan, ada tujuh keluarga beternak babi di desa dan semuanya terdampak. Meskipun demikian, tidak semua babi peternak itu mati.
”Dalam sebulan terakhir, ada sekitar 40 ekor hingga 50 ekor babi yang mati. Peternak mengalami kerugian,” ujarnya. Muslimat berharap petugas dinas bisa turun ke desanya. Harapannya, ASF tidak menyebar luas dan ternak babi yang tersisa tidak ikut mati.
Jalur ditutup
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sumbar Zed Abbas mengatakan, selain di Kepulauan Mentawai, kasus ASF juga ditemukan di Pasaman akhir Desember 2019 dengan sedikitnya 100 ekor babi mati. Zed melanjutkan, jalur distribusi babi sebenarnya sudah ditutup sejak Desember 2019.
Di Pasaman Barat, penyebaran ASF dapat dicegah begitu diketahui ada kematian babi. Namun, untuk di Kepulauan Mentawai, distribusi babi lepas dari pemantauan. ”Jadi diselundupkan. Akhirnya, ketahuan dari pembeli. Ada kapal ikan masuk (bawa daging babi mentah),” ujar Zed.