Kunjungan Raja dan Ratu Belanda disertai empat menteri dan 130 pengusaha itu jelas penting. Indonesia dapat banyak belajar dari Belanda misalnya, soal pengelolaan air sehingga tak sekadar membiarkannya “antre\'\' ke got.
Oleh
Asvi Warman Adam
·4 menit baca
Selama sekitar 150 tahun hubungan pemerintah Belanda dengan Indonesia adalah hubungan antara penjajah dengan terjajah. Setelah Indonesia merdeka, hubungan itu merupakan hubungan dua negara dan bangsa yang setara. Dua konsep itu (penjajahan dan kemerdekaan) ini yang perlu dipahami dalam menyikapi perkembangan kontemporer.
Dengan perspektif kesetaraan ini kita akan melihat persoalan sejarah lebih proporsional. Ada aspek-aspek yang tak bisa disatukan dalam sejarah hubungan kedua negara seperti tanggal kemerdekaan.
RI memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun, Belanda menganggap penyerahan kedaulatan baru terjadi 27 Desember 1949. RI memandang serangan tentara Belanda di beberapa tempat di Jawa pada 1947 dan 1948 sebagai agresi militer, sementara Belanda menyebutnya aksi polisional.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan itu merupakan hubungan dua negara dan bangsa yang setara.
Mustahil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan RI sejak 17 Agustus 1945 karena itu berarti, kegiatan tentara mereka di sini 1945-1949 termasuk kejahatan perang. Biarlah kedua negara menulis sejarah periode 1945-1949 secara berbeda bahkan berlawanan, ini tak ganggu hubungan bilateral yang sejak lama sudah berjalan baik.
Pada 2011 dan 2012, kasus kekerasan oleh tentara Belanda yang terjadi periode 1945-1949 di Rawagede, Bekasi, dan Sulawesi Selatan (Westerling) disidangkan di pengadilan Belanda yang menyebabkan Pemerintah Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada (keluarga) korban kedua peristiwa yang berada di Indonesia.
Namun, jangan lupa, korban itu dianggap masih warga negara Belanda karena peristiwa itu terjadi sebelum 27 Desember 1949. Sekarang di pengadilan Den Haag juga ada tuntutan dari pihak keluarga dalam kasus Andi Abubakar Lambogo yang dipancung tentara Westerling tanggal 13 Maret 1947 di Sulawesi Selatan.
Masa lalu dan masa kini
Peristiwa sejarah masa lalu memang sudah terjadi (histoire realite) dan tak bisa diubah lagi. Yang bisa berbeda atau berubah adalah penceritaan peristiwa itu (histoire recite). Dalam konteks ini perkembangan yang terjadi di Indonesia 1945-1949 bisa ditulis berbeda dari perspektif RI dan Belanda.
Dewasa ini sejarawan Belanda dan Indonesia sedang bekerja sama dalam proyek riset bertajuk ”Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950” tentang kondisi dan tingkat kekerasan dalam konflik di masa operasi militer Belanda di Indonesia.
Mengapa Pemerintah Belanda terdorong membiayai riset ini? Tahun 1969 diterbitkan laporan Excessennota tentang kekerasan tentara Belanda di Indonesia 1945-1950 yang mencatat 110 kasus sebagai ekses. Namun, di disertasi Remy Limpach yang terbit 2016 terungkap kekerasan itu tak hanya sekadar ekses, tetapi bersifat struktural.
Peristiwa sejarah masa lalu memang sudah terjadi (histoire realite) dan tak bisa diubah lagi.
Belanda tak serta-merta membantah temuan itu, tetapi ingin melakukan penelitian menyeluruh untuk mengetahui penyebab, latar belakang, termasuk situasi internasional waktu itu. Keterlibatan sejarawan Indonesia dipandang memperkaya perspektif riset ini. Riset ini tak akan mengubah sejarah RI, tetapi diperlukan Pemerintah Belanda sebagai penjelasan dan pertanggungjawaban ke warganya.
Riset periode 1945-1950 ini sepenuhnya dibiayai Pemerintah Belanda sehingga Pemerintah RI tak perlu keluar dana. Sejarawan Indonesia yang terlibat dalam proyek ini dapat meneliti kekerasan di Jakarta, revolusi sosial di tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) dan Sumatera Timur serta kekerasan terhadap etnis Tionghoa serta peristiwa Madiun 1948.
Tak kalah penting, penelitian tentang Konferensi Meja Bundar yang menyebabkan Indonesia harus melunasi utang Pemerintah Hindia Belanda 1942-1949. Sikap Indonesia yang kendur dalam pengurusan utang sejak dulu sampai kini dapat dilacak dari KMB tahun 1949.
Kerja sama masa lalu lainnya berupa pengembalian dokumen dan benda bersejarah ke Indonesia. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, kerisnya diambil dan dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens ke Raja Willem I pada 1831. Keris Kiai Nogo Siluman itu kemudian disimpan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden atau koleksi khusus kabinet Kerajaan Belanda.
Keris dikembalikan Menteri Pendidikan Belanda ke Pemerintah RI 3 Maret 2020 dan diserahkan Dubes RI untuk Belanda ke Museum Nasional di Jakarta pada 5 Maret 2020.
Tahun 1978 diserahkan arca Prajnaparamita dan 237 benda berharga dari Puri Cakaranegara, Lombok, hasil jarahan pada Perang Lombok 1894. Tahun 2015 dikembalikan tongkat milik Pangeran Diponegoro bernama Kanjeng Kyai Cokro yang disimpan 181 tahun di Belanda.
Kerja sama masa lalu lainnya berupa pengembalian dokumen dan benda bersejarah ke Indonesia.
Kerja sama masa kini yang memiliki prospek ke depan tentu di bidang ekonomi. Tanggal 9-13 Maret 2020 Raja dan Ratu Belanda berkunjung ke Indonesia disertai empat menteri dan 130 pengusaha. Jelas kunjungan kenegaraan itu dibarengi upaya peningkatan hubungan bisnis.
Dalam rombongan terdapat Menteri Infrastruktur dan Pengelolaan Air Belanda. Belanda negeri yang sebagian berada di bawah permukaan laut, namun nyaris tak banjir (kecuali 1-2 kali dalam sejarah). Kita perlu belajar mengelola air kepada Belanda, tak sekadar membiarkannya “antre masuk got”.
Selain bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor, Raja Belanda akan meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan di Ereveld Menteng Pulo tempat dimakamkan 4.300 tentara Belanda yang gugur di Indonesia.
Sejarah hubungan RI-Belanda sudah ratusan tahun. Kita pernah dijajah sangat lama. Kini kita dua negara dan bangsa yang setara. Mari kita kaji sejarah masa lalu secara komprehensif namun tak melupakan kerja sama lebih erat di berbagai bidang untuk kesejahteraan rakyat masing-masing.(Asvi Warman Adam Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik LIPI)