Sven Verbeek Wolthuys rela berhenti dari pekerjaannya untuk melanjutkan penelitian mengenai Tanah Abang yang kemudian dituangkan dalam buku dan video.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Jatuh cinta pada suatu tempat, tetapi belum pernah mengunjunginya? Ketika berkesempatan mengunjungi tempat itu, merasa seperti "tamu" yang disambut di rumah sendiri. Itulah pengalaman spiritual yang dirasakan oleh Sven Verbeek Wolthuys (51).
Awalnya, kunjungan pertama kali ke Jakarta tahun 1995 sebuah ziarah sejarah keluarga. Sejak kecil, Wolthuys selalu mendengar cerita dari neneknya Welly Van Garderen. Neneknya selalu bercerita tentang masa lalunya saat tinggal di Indonesia. Garderen hidup di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Saat itu, ia merupakan keluarga dari seorang pelukis, dan tuan tanah Belanda yang tinggal di bukit Tanah Abang. Memori saat tinggal di Indonesia itu melekat, dan kerap diceritakan ulang pada saat acara kumpul keluarga.
“Saat kami berkumpul di Belanda, lengkap dengan masakan khas Indonesia, nenek selalu cerita pengalaman menyenangkan saat tinggal di Indonesia. Sebuah masa-masa indah di Tanah Abang saat belanja kolang-kaling, naik delman di sekitar Pasar Tanah Abang,” tutur Wolthuys, Sabtu (29/2/2020).
Imajinasi tentang sebuah negeri tropis yang rindang, kemudian semakin dikuatkan dengan foto-foto masa lampau keluarganya. Neneknya masih menyimpan dengan baik foto-foto kenangan selama di Indonesia. Foto ketika neneknya menikah dan kemudian berboncengan dengan mesra di atas sepeda motor, memancing imajinasi Wolthuys. Suatu hari ia ingin berkunjung.
“Saya ingat pertama datang ke Indonesia tahun 1995. Ketika mendarat dan mencium udaranya, saya merasa datang ke rumah. Saya merinding sekujur tubuh,” kata Wolthuys.
Namun, seluruh imajinasi Wolthuys itu tetap menjadi imajinasi karena pesatnya perubahan di Jakarta. Tanah yang dulunya rindang, asri, dan disebut bukit Tanah Abang, kini menjadi kompleks pertokoan pasar Blok E Auri. Tempat itu masuk dalam kawasan pusat tekstil terbesar di ASEAN yang riuh, padat, macet, dan semrawut.
Siapa sangka, tantangan terjal ketika menziarahi kenangan keluarga itu, justru menginspirasi Wolthuys untuk membuat buku. Lelaki yang kini tinggal di Australia itu, merasa sayang jika hasil risetnya tentang Tanah Abang tak dipublikasikan. Bahkan, cerita tentang leluhurnya yang pernah mendiami kawasan itu sebagai masyarakat kelas atas pada masanya menarik untuk diceritakan.
Melalui riset pribadi selama 30 tahun, dan lima tahun menulis, Wolthuys akhirnya menerbitkan buku berjudul 250 Years in Old Jakarta. Buku setebal 336 halaman ini menjadi panduan yang komprehensif mengenai sejarah kawasan Tanah Abang era kolonial Belanda.
Banting setir
Tidak mudah bagi Wolthuys yang memiliki pekerjaan utama sebagai konsultan, dan disjoki (DJ) untuk membagi waktunya menulis buku. Saat masih memiliki pekerjaan penuh waktu, dia hanya bisa mengerjakan rancangan buku pada akhir pekan selama 25-30 jam.
Wolthuys sempat merasa frustrasi dengan perkembangan bukunya yang lamban. Tahun 2017, dia baru membuat 10 halaman rancangan buku. Dia lalu memutuskan langkah ekstrem yaitu dengan keluar dari pekerjaannya untuk menyelesaikan bukunya. Mayoritas bukunya ditulis tahun 2018-2019.
“Saat menulis buku, saya menutup seluruh akun media sosial. Saya juga tidak pernah menonton televisi dan pergi ke bioskop,” ujar Wolthuys.
Ia mengatakan tidak menyesal dengan keputusannya keluar dari pekerjaannya. Kini, dia sangat menikmati pekerjaan barunya sebagai penulis buku. Dia aktif mempromosikan bukunya yang dapat dibeli secara daring di laman www.lostjakarta.com. Dia juga sedang berbicara dengan salah satu penerbit buku terkenal, Periplus, untuk menerbitkan bukunya secara komersial.
Saat ini, karena sudah memiliki audiens yang sejak awal mengikutinya di laman Facebook, Twitter, dan Youtube, Sven nyaman menjual bukunya lewat daring. Sejak awal, Wolthuys memang banyak mengunggah foto kuno, baik koleksi keluarga, maupun hasil risetnya di akun media sosial. Dari situlah, Wolthuys menggalang banyak dukungan dari pencinta sejarah khususnya di Indonesia. Dia menyebut setiap kali dirinya mengunggah foto, misalnya banjir di Batavia, akan mendapat banyak reaksi dari netizen. Dia pun selalu antusias melihat reaksi netizen entah itu disukai, ataupun komentar netizen.
Buku yang berisi sejarah keluarganya dan kawasan Tanah Abang sudah diterbitkan sejak Desember 2019 lalu. Menurutnya, sekitar 50 persen pembeli bukunya adalah orang Indonesia. Sisanya, adalah campuran orang Belanda, Eropa, Amerika, dan beberapa orang Indonesia yang tinggal di Belanda.
“Sudah terjual beberapa ratus buku sejak diluncurkan,” terang Wolthuys.
Menyadari bahwa dia hidup di era multimedia, Wolthuys tidak ingin pembacanya larut dalam rangkaian tulisan dan foto saja. Dia juga ingin memberikan pengalaman berbeda bagi pembaca bukunya. Caranya adalah dengan menyisipkan konten multimedia di bukunya. Dengan memindai kode QR (QR code) yang ada di beberapa halaman buku, pembaca akan dibawa di akun Youtube.
Misalnya, ada rekaman suara wawancara Wolthuys dengan neneknya Welly Van Garderen saat masih hidup tahun 1986. Rekaman itu dibuat dengan bahasa Belanda. Kemudian, dalam bagian yang menceritakan tentang Taman Prasasti, pengunjung juga diarahkan untuk mendengar suara penyanyi keroncong terkenal yaitu Miss Riboet. Miss Riboet adalah penyanyi terkenal yang tergabung dalam opera Komedi Stamboel era 1920-an.
Bagi Wolthuys, menulis buku 250 Years in Old Jakarta adalah membuat sebuah memoar tentang keluarganya. Salah satunya karena keluarganya adalah sosok terpandang di era kolonial. Kakek buyutnya, B.D.W.J (Wim) van Garderen (1881-1943) adalah direktur perusahaan asuransi jiwa pertama di Batavia yaitu Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859 (NILLMIJ) atau cikal bakal perusahaan pelat merah, asuransi Jiwasraya. Dia adalah ayah dari nenek Wolthuys, Welly Van Garderen.
Wolthuys membeberkan salah satu motivasi terbesarnya dalam membuat buku adalah wujud keprihatinannya terhadap Jakarta yang berubah sangat cepat. Sebagai ibu kota negara dengan populasi yang melonjak tajam setiap tahunnya membuat Jakarta terus berbenah. Konsekuensinya, gedung-gedung tua bersejarah di Jakarta banyak yang dihancurkan. Ada yang rusak alami, ada yang sengaja dirobohkan.
“Lewat buku ini, aku hanya ingin menunjukkan kepada orang Jakarta sekarang bahwa kota kalian sangat cantik di masa lalu,” kata Wolthuys.
Persahabatannya dengan Scott Merrillees, penulis buku Batavia In 19th Century Photographs, juga kian memupuk semangatnya untuk terus mencari kepingan sejarah Jakarta di masa lalu. Baginya, melakukan hal itu seperti ziarah ke masa lalu leluhurnya.
Sven Verbeek Wolthuys
Lahir : Hoogeveen, Belanda - 31 Desember 1968
Menetap: Sydney, Australia
Pendidikan: 1987-1992 HZ University of Applied Sciences
Pekerjaan:
1993-1996: Kepala Editor Maximaal TV, DJ di Maximaal FM, Belanda.
1997-2007: Senior Eksekutif Finansial Sara Lee Douwe Egberts Belanda
2007-2013: Manager Inovasi dan Kepala Operasional Sara Lee Douwe Egberts Australia