Ada tiga karakter yang sering diidentikkan dengan petani Jawa, yakni "ngalah", "ngalih", dan "ngamuk". Segenap situasi, termasuk kebijakan pemerintah, memaksa petani bersikap. Keputusasaan memaksa mereka "ngamuk".
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Ada tiga sikap yang kerap diidentikkan sebagai karakter petani Jawa. Ketiganya, yakni ngalah, ngalih, dan ngamuk, mencerminkan reaksi atas situasi yang mereka hadapi. Tak terkecuali kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup mereka.
Ngalah berarti mengalah atau pasrah. Ada banyak situasi yang kerap memaksa petani mengalah, antara lain anomali cuaca yang mengacaukan jadwal tanam, serangan hama penyakit, serta harga jual hasil panen anjlok.
Ada pula situasi yang memaksa petani ngalih. Petani beralih ke komoditas lain atau bahkan pindah ke luar sektor pertanian. Sebagian petani gurem di pantai utara Jawa, misalnya, memilih menjual lahan dan “banting stir” jadi pedagang atau jadi buruh pabrik/bangunan karena bertani terus merugi.
Sikap petani karet di sejumlah wilayah di Sumatera yang membabat kebun dan beralih ke komoditas lain, oleh karena harga karet terus terpuruk, jadi contoh lain dari sikap ngalih. Demikian pula sebagian petani tebu di Jawa yang beralih ke tanaman pangan karena harga jual gula hasil giling mereka kerap tertekan di bawah ongkos produksi.
Ngalah dan ngalih bisa diartikan sebagai sikap kompromistis petani atas situasi yang serba tidak menguntungkan. Namun, toleransi itu bisa berujung ngamuk (mengamuk) jika kompromi tidak membuahkan hasil baik. Mereka bisa jadi menanam untuk keperluannya sendiri, berunjuk rasa menentang kebijakan, atau bahkan ke keputusan fatal karena frustrasi: bunuh diri.
Hari-hari ini ada sejumlah situasi yang dinilai tidak menguntungkan dan menggiring petani untuk ngalah, ngalih, atau ngamuk. Soal ketentuan impor gula, misalnya, makin dilonggarkan ketika harga gula petani berulang terjerembab di bawah biaya produksi. Parameter nilai kemurnian gula impor diperlonggar sehingga proteksi terhadap petani tebu rakyat dikhawatirkan makin lemah. Tak hanya itu, pihak swasta pun diperbolehkan impor gula untuk alasan stabilisasi harga di tingkat konsumen.
Nasib petani padi tidak lebih baik. Kini, ketika peran stabilisasi Bulog makin lemah, seiring perubahan mekanisme bantuan pangan, regulasi tentang harga pembelian pemerintah (HPP) yang jadi instrumen untuk melindungi petani tidak kunjung diperbarui oleh pemerintah. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang jadi dasar bagi Bulog untuk menjalankan fungsi stabilisasi makin tertinggal oleh laju inflasi dan situasi pasar serta makin tidak relevan sebagai tameng pelindung petani.
Petambak garam rakyat tak kalah kusut. Ketika produksi menumpuk tak terserap dan harga garam “terjun bebas” ke level Rp 150 per kilogram (kg), jauh di bawah situasi tahun lalu yang sempat menyentuh Rp 1.600 per kg, pemerintah menaikkan alokasi impor garam untuk kebutuhan industri dari 2,7 juta ton tahun 2019 jadi 2,9 juta ton tahun 2020. Situasi pasar dinilai masih serba tidak pasti ketika sebagian petambak garam berupaya meningkatkan mutu melalui teknologi geomembran, geoisolator, atau ulir filter.
Alih-alih swasembada, sejumlah kebijakan yang ditempuh pemerintah justru kerap bertolak belakang dengan tujuan memacu produksi dalam negeri dan meningkatkan kesejahteraan petani. Para petani tidak terpacu untuk menggenjot produktivitas karena segenap ketidakpastian dan disinsentif di hilir.
Kebijakan perdagangan luar negeri dan pengendalian harga di tingkat konsumen juga sering berdampak menekan harga dan memupus gairah pelaku di hulu. Alhasil, petani kembali dihadapkan pada pilihan untuk bersikap, mau ngalah, ngalih, atau ngamuk.