Pajak Minuman Berpemanis, Kebijakan Pahit untuk Industri dan Konsumsi
›
Pajak Minuman Berpemanis,...
Iklan
Pajak Minuman Berpemanis, Kebijakan Pahit untuk Industri dan Konsumsi
Pemerintah mengusulkan cukai untuk minuman berpemanis. Pengenaan cukai dikhawatirkan menurunkan gairah produsen dan konsumsi rumah tangga.
Oleh
WIRDATUL AINI
·4 menit baca
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan RI mengusulkan dua kelompok minuman berpemanis yang akan dikenai cukai, yaitu minuman berpemanis gula dan pemanis buat siap konsumsi, serta minuman berpemanis dalam bentuk konsentrat yang perlu proses pengenceran, seperti kopi saset.
Hampir seluruh negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi(OECD) mengenakan cukai pada barang yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Pengenaan cukai ini sebagai langkah untuk menekan konsumsi barang tersebut. Menurut publikasi OECD, cukai biasanya dikenakan untuk rokok, minuman beralkohol, dan bahan bakar minyak.
Di Indonesia, setelah menaikkan cukai pada rokok, pemerintah mengusulkan ekstensifikasi jenis barang kena cukai pada kantong plastik dan minuman. Selama ini, obyek cukai hanya bersumber dari cukai hasil tembakau (HT), etil alkohol (EA), dan minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA).
Sebelumnya, penerapan cukai pada minuman, khususnya bersoda dan jus, telah dilakukan Denmark sejak 1930 dan Finlandia sejak 2011. Kemudian, langkah pengenaan cukai pada produk minuman ini diikuti negara Perancis, Inggris, Australia, Malaysia, India, Amerika Serikat, dan Hungaria.
Indonesia juga berencana mengikuti pengenaan cukai pada produk minuman berpemanis, berkarbonasi, dan berenergi dalam kemasan. Adanya usaha perluasan jenis barang kena cukai tentunya akan menambah kas penerimaan negara.
Potensi penerimaan negara dari rencana ini diperkirakan Rp 6,25 triliun. Lantas, seberapa mendesak kebijakan ini diterapkan dengan melihat kinerja penerimaan negara, sisi industri, dan daya beli masyarakat, serta fenomena perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia saat ini?
Melebihi target
Pertama, dari sisi kinerja penerimaan cukai. Selama dua tahun terakhir, capaian penerimaan negara dari cukai telah melebihi target APBN. Penerimaan cukai mencapai 100,08 persen dari target APBN 2017 dan meningkat menjadi 102,7 persen dari target APBN 2018.
Penerimaan cukai hasil tembakau menjadi penerimaan terbesar dalam kepabeanan dan cukai. Jumlahnya, Rp 152,9 triliun. Selanjutnya disusul penerimaan cukai minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 6,4 triliun atau tumbuh 15,3 persen dari realisasi 2017.
Sementara itu, penerimaan cukai etil alkohol (EA) sebesar Rp 139,2 miliar dan cukai lainnya sebesar Rp 12,4 miliar. Besaran total penerimaan dari cukai ini memberikan kontribusi pada pendapatan negara 2018 sebesar 8,21 persen.
Faktor kedua, dari sisi industri dan daya beli masyarakat. Tarif cukai yang dibebankan kepada konsumen berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) menilai penerapan cukai minuman berpemanis dapat meningkatkan harga produk sebesar 30-40 persen.
Ketika daya beli menurun, industri yang terkena imbasnya. Gairah dan produktivitas industri berpotensi menurun. Ini terlihat saat pemerintah menerapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2018. Dalam catatan BPS, industri pengolahan tembakau mengalami penurunan 13,00 persen pada triwulan III-2019.
Padahal, selama ini industri pengolahan berkontribusi besar pada PDB dan penyerapan tenaga kerja. Kontribusi industri pengolahan, khususnya makanan dan minuman, dapat mencapai 6,4 persen terhadap PDB pada 2019. Kemudian, industri pengolahan menyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor pertanian dan perdagangan.
Posisi industri akan semakin tertekan karena penurunan permintaan konsumen dan dapat berakibat pada perampingan tenaga kerja (layoff). Justru pada akhirnya, pendapatan negara dari pajak malah dapat ikut tergerus.
Faktor berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dunia dan juga Indonesia saat ini sedang mengantisipasi risiko keberlanjutan perlambatan pertumbuhan ekonomi karena merebaknya penyakit korona Covid-19. Wabah ini membuat Bank Indonesia harus merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya berkisar 5 persen hingga 5,4 persen.
Ditambah lagi optimisme ekonomi sedang menurun. Menurut Indeks Tendensi Bisnis (ITB), tingkat optimisme pelaku bisnis pada triwulan IV-2019 sebesar 104,82 lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III-2019.
Bahkan, indeks diperkirakan semakin menurun pada triwulan I-2020 sebesar 102,90. Demikian juga dengan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang diperkirakan juga menurun 103,23 dari 107,86.
Menjaga optimisme
Optimisme ekonomi Indonesia menurun sebagai dampak perlambatan ekonomi yang berasal dari China, terutama setelah merebaknya wabah Covid-19. Hal tersebut terjadi karena adanya hubungan investasi dan perdagangan yang erat antara Indonesia dan China. Dana investasi China selama 2019 merupakan terbesar kedua setelah Singapura.
Dalam hubungan perdagangan, sebagian barang modal dan bahan baku industri merupakan impor dari China. Begitupun produk nonmigas Indonesia, ekspor terbesarnya ke China. Ketika ekonomi China sedang bergejolak akan memengaruhi posisi neraca perdagangan.
Selanjutnya, keadaan tersebut berdampak pada kenaikan harga komoditas di dalam negeri. Adanya kenaikan tarif beberapa barang dari kebijakan pemerintah dan pasar membuat daya beli masyarakat tertekan. Adapun pendapatan pekerja di sektor berkurang seiring dengan penurunan permintaan. Adanya tekanan ini berpotensi memperlemah tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun ini.
Laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kuartal IV-2019 sudah menunjukkan pelemahan tersebut. Pertumbuhan pengeluaran konsumsi melemah 3,04 persen dibanding kuartal III-2019. Pelemahan bisa berlanjut apabila melihat dari tingkat inflasi saat ini.
Tingkat inflasi tahun ke tahun kelompok makanan, minuman, dan tembakau pada Februari 2020 sebesar 6,02 persen, naik dari 3,62 persen pada tahun sebelumnya. Artinya, terjadi kenaikan harga dibandingkan tahun sebelumnya. Karena itu, jika wacana cukai pada minuman diterapkan, kenaikan harga dapat melanjutkan pelemahan konsumsi.
Rencana pemerintah menurunkan tingkat diabetes dengan mengenakan cukai pada minuman berpemanis layak kita apresiasi. Namun, di sisi lain ekstensifikasi cukai pada beberapa barang tersebut dapat menurunkan gairah pelaku usaha. Hal ini berseberangan dengan tujuan dan semangat yang dibangun pemerintah dalam meningkatkan konsumsi rumah tangga dan mendorong investasi.
Tanpa ekstensifikasi cukai, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah meningkatkan masuknya aliran modal atau investasi serta penyerapan tenaga kerja pada industri makanan dan minuman.
Perbaikan kondisi ekonomi saat inilah yang lebih prioritas. Ketika hal itu terjadi, sekali dayung, niat baik menekan angka diabetes dapat terlaksana dan kantong penerimaan negara pun bertambah. (LITBANG KOMPAS)