Dua masalah yang mengemuka pada awal tahun 2020 membutuhkan pemikiran lebih dalam tentang desain pertahanan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Masalah pertama, persoalan pencurian ikan dan pelanggaran batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di Laut Natuna Utara oleh kapal-kapal ikan China dan pasukan pengawal pantainya. Agresivitas China ini bukan tanpa konteks. Walapun diperkirakan tidak akan melakukan agresi secara konvensional, akan tetapi China akan terus memperkuat posisinya di Laut China Selatan. Diperkirakan, kehadiran China yang memicu konflik-konflik kecil di Laut Natuna Utara ke depan akan terus terjadi.
Masalah kedua adalah wabah virus Korona. Dengan penularan yang begitu mudah, berbondong-bondong negara-negara menutup dirinya sampai derajat tertentu. Hal yang paling dasar adalah menyaring orang-orang yang keluar masuk batas negara tersebut. Untuk negara sebesar dan terbuka seperti ini Indonesia, hal ini sulit dilakukan. Negeri ini memiliki 34 bandara internasional di berbagai provinsi, pelabuhan-pelabuhan internasional, hingga pelabuhan-pelabuhan tikus. Keterbatasan sumber daya manusia dan prasarana untuk memantau manusia yang keluar masuk menjadi titik lemah.
Faktor geografi adalah hal yang menetap dalam menyusun strategi pertahanan sebuah negara. Walaupun bukan satu-satunya pengaruh, keberadaan geografi sebuah negara seperti formasi, letak, hingga iklim berakibat pada situasi dan kondisi yang dialami sebuah negara. Akibat tidak langsungnya terkait dengan bagaimana sebuah negara mempertahankan diri. Salah seorang pemikir strategi Colin S Gray dalam tulisannya "Geography and Strategy" mengatakan, faktor geografi memberikan kesempatan sekaligus tantangan pada sebuah negara untuk memilih kebijakan dan strategi.
Sayangnya, bentuk negara kepulauan tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara dengan kekuatan maritim. Kekuatan maritim tidak saja membutuhkan karakter maritim yang melihat keluar, penuh petualangan, tetapi juga teknologi terkait kapal, pelabuhan, pengolahan ikan kemampuan menjaga dan mengeksploitasi laut. Kiprah di laut juga berarti kekuatan di sudah mapan karena kekuatan maritim adalah proyeksi dari pemerintah yang ada di darat. Masalahnya, kondisi darat belum juga mapan terutama dari sisi keamanan. Oleh karena itu, tidak heran pertahanan RI bersifat melihat ke dalam di mana TNI lebih banyak menghadapi separatisme dan pemberontakan.
Kesadaran akan identitas sebagai negara maritim kian menguat. Walaupun realisasinya terhambat, wacana Presiden Joko Widodo tentang Poros Maritim Dunia menggugah kembali pemikiran tentang negara maritim. Bahkan mantan KSAD Jenderal (Purn) Mulyono ahun 2018 menulis buku tentang Strategi Perang Gerilya Negara Kepulauan. Walaupun belum secara spesifik membahas, Mulyono menggarisbawahi tentang perang yang tidak lagi linier serta pentingnya komando gabungan darat, udara, dan laut dalam pertahanan negara kepulauan.
Yang terbaru, Kebijakan Pertahanan Negara tahun 2020 yang ditandatangani Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terlihat memberi penekanan pada pertahanan laut dan udara. Penguatan kerja sama maritim dalam rangka memperkuat arsitektur keamanan di Laut China Selatan menjadi agenda penting tahun 2020 selain upaya mewujudkan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dan pemantauan dengan drone.
Pakar maritim Geoffrey Till dalam kuliahnya di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, akhir Januari 2020 lalu menyebutkan tentang pentingnya pulau dalam strategi maritim di kawasan Indo-Pasifik saat ini. Strategi ini jelas dilakukan oleh China tidak saja dengan membangun pulau-pulau artifisial tetapi juga membangun batas maya berupa rangkaian pulau pertama dan kedua untuk mendapat kedalaman stratgis. Geoffrey juga mencatat bahwa operasi maritim di kawasan Indo-Pasifik lebih banyak didominasi oleh operasi yang dekat dengan garis pantai, tidak lagi di laut bebas.
Teater Indo-Pasifik kini didominasi oleh strategi perang kepulauan. Untuk merespon China, Amerika Serikat dan beberapa sekutunya pun menggunakan beberapa pulau untuk pangkalan aju. Walaupun perang modern diperkirakan tidak lagi bersifat linier, terlihat bahwa AS membuat bidang-bidang pertahanan depan. Untuk bisa berhasil, AS yang jaraknya jauh harus bisa membangun rangkaian logistik yang solid. Oleh karena itu, salah satu strateginya adalah menjalin hubungan diplomasi yang kuat dengan negara-negara di Indo-Pasifik. Selain tentunya membangun persenjataan yang punya daya jangkau jauh serta persiapan menghadapi Cina yang berusaha menutup akses AS di Laut China Selatan dengan strategi Anti Access/Area Denial terutama dengan gelombang elektromagnetik.
Realisasi pertahanan negara kepulauan tentu tidak sederhana, apalagi murah. Hal yang esensial adalah teknologi canggih yang berkonsekuensi pada harga yang mahal dan awak yang mumpuni dan adaptif terhadap teknologi. Kombinasi antara penggunaan hasil industri pertahanan dalam negeri serta pembelian dari luar negeri harus secara teliti dipadu-padankan. Seharusnya tidak ada lagi niat untuk korupsi karena orkestrasi matra laut, darat, dan udara kian penting. Reorganisasi TNI sekiranya tidak untuk kepentingan mengisi jabatan semata tetapi ada penekanan untuk kebutuhan pertahanan juga.
Selain itu, dua permasalahan pertahanan yaitu pencurian ikan dan wabah korona menunjukkan kalau pertahanan bukan hanya tugas TNI tetapi hasil sinergi banyak pihak. Selain peningkatan kemampuan TNI, perlu juga dibangun pertahanan kepulauan secara komprehensif. Pembangunan bandara internasional sekiranya memikirkan juga kepentingan pertahanan dan keamanan. Terlalu banyak gerbang dengan infrastruktur seperti imigrasi dan beacukai yang minim meningkatkan resiko yang belum tentu sebanding dengan hasilnya.
Secara ekonomi, pulau bisa menjadi pusat untuk pengolahan sumber daya laut. Tidak saja ikan, tetapi juga migas sampai logam-logam yang ada di landas kontinen. Oleh karena itu, infrastruktur seperti listrik harus bisa terpenuhi dengan efektif dan efisien agar berkelanjutan. Demikian juga fasilitas umum dan pendidikan sehingga bisa memajukan masyarakat.
Kedua, pulau terluar adalah lambang berdaulatnya suatu bangsa. Oleh karena itu, perundingan batas-batas dengan negara-negara tetangga perlu semakin diintensifkan. Sementara, keberadaan masyarakat sipil yang berdaya perlu ditopang pemerintah. Misalnya, melakukan penguatan terhadap nelayan-nelayan di Natuna dan Laut Aru, daripada mendatangkan nelayan dari daerah lain.
Ketiga, regulasi terkait ruang perlu dibenahi. Contohnya, Deputi IV Kemenko Polhukam Mayjen Rudianto dalam seminar di Pusat Kajian Strategis TNI, Rabu (26/2) mengatakan, ada 13 kementerian lembaga yang menangani keamanan laut berdasarkan 15 aturan/undang-undang yang berbeda. Walaupun omnibus law keamanan laut menjadi usulan solusi saat ini, yang lebih penting adalah menghapus ego sektoral dari masing-masing institusi agar bisa bekerja sama dengan efektif dan efisien.
Keempat, gelar pasukan TNI perlu memiliki mobilitas dan tingkat adaptasi yang tinggi. Doktrin operasi gabungan perlu diuji terus menerus. Pangkalan terintegrasi yang merupakan pangkalan aju juga perlu segera direalisasikan. Penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas juga sangat penting untuk mengisi strategi pertahanan negara kepulauan yang tepat.