Regulator berusaha menjaga kepercayaan pelaku pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa (10/3/2020) berbalik arah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan otoritas mengambil sejumlah langkah untuk memperjelas fundamen pasar modal dan keuangan di dalam negeri. Langkah ini penting untuk memperbaiki psikologis pasar yang tengah gamang di tengah gejolak risiko eksternal.
Pada perdagangan Selasa (10/3/2020), Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan batasan baru untuk penolakan otomatis (autorejection) perdagangan saham. Transaksi saham akan secara otomatis dibatalkan jika harga saham turun lebih dari 10 persen.
Transaksi saham akan dibatalkan apabila saham dengan harga di atas Rp 5.000 naik lebih dari 20 persen atau turun lebih dari 10 persen dalam sehari perdagangan. Untuk saham dengan rentang harga Rp 200-Rp 5.000, transaksi akan dibatalkan apabila terjadi kenaikan di atas 25 persen atau penurunan 10 persen. Adapun untuk saham dengan rentang harga Rp 50-Rp 200, transaksi dibatalkan jika harga saham naik di atas 35 persen atau anjlok 10 persen.
Direktur Utama PT Danareksa Investment Management Marsangap Parlindungan Tamba menilai aturan itu efektif sebagai bantalan untuk mencegah penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dalam lagi. Sejak awal tahun hingga Selasa, IHSG sudah anjlok 17,12 persen.
”Pasar butuh penyangga agar tidak terjadi penurunan yang lebih dalam karena harga saham tidak sesuai dengan rasio price to book value,” ujarnya di Jakarta.
Penerapan penolakan transaksi otomatis ini efektif menjaga IHSG. Pada perdagangan Selasa, IHSG berbalik arah menguat 1,64 persen atau 84,01 poin ke level 5.220,82. Sepanjang perdagangan, investor asing membukukan penjualan bersih Rp 857,02 miliar.
Namun, Marsangap menilai kebijakan lanjutan masih diperlukan untuk mengembalikan rasionalitas investor sehingga mau kembali masuk ke pasar di kondisi harga rendah. Kebijakan yang menurut dia akan efektif memperbaiki peforma IHSG adalah pembelian kembali (buyback) saham.
Pasar butuh penyangga agar tidak terjadi penurunan yang lebih dalam.
Sehari sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan surat edaran yang mengizinkan semua perusahaan publik lakukan buyback saham tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).
”Kalau tidak ada tambahan tekanan eksternal, secara umum emiten pasti akan mau melakukan buyback demi menjaga nilai saham mereka. Harga saham itu layaknya sinyal dari nama baik perusahaan,” ujarnya.
Selain wabah Covid-19, Marsangap menilai anjloknya harga minyak mentah dunia mengganggu persepsi investor terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penurunan harga minyak bisa dilihat sebagai sesuatu yang negatif karena dianggap sebagai penurunan permintaan dan perlambatan ekonomi baik secara global.
”Penurunan harga minyak bisa memengaruhi PDB Indonesia karena ekspor kita bergantung pada harga komoditas yang fluktuasinya mengikuti perubahan harga minyak. Jika harga minyak turun, harga komoditas ikut turun,” katanya.
Intervensi pemerintah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kejatuhan harga saham tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Kondisi ini menjadi sinyal bahwa perekonomian dunia tengah mengalami situasi di luar kebiasaan.
”Pelaku pasar merasa tidak aman karena ada virus ataupun perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia. Mereka memunculkan ketidaknyamanan dengan mengalihkan investasi ke instrumen yang dianggap paling lebih stabil ketimbang saham,” ujarnya.
Akan tetapi, kata Sri Mulyani, kondisi di pasar Surat Berharga Negara (SBN) tidak selalu stabil di tengah terpaan isu wabah Covid-19 dan perang harga minyak mentah antara Arab Saudi dan Rusia. Kementerian Keuangan menyusun strategi pembiayaan agar penerbitan SBN tidak membebani anggaran pada tahun berikutnya.
”Kerangka stabilisasi surat utang sudah dibuat. Bank Indonesia juga melakukan yang sama. Bank Indonesia membeli SBN di pasar sekunder kalau ada dorongan eksesif yang tidak mencerminkan fundamental,” ujar Sri Mulyani.
Kepemilikan Bank Indonesia atas SBN hingga Senin (9/3/2020) sebesar Rp 121,66 triliun. Jumlah itu meningkat Rp 7,25 triliun dibandingkan dengan Jumat (6/3/2020).
Adapun kepemilikan asing di pasar SBN menyusut Rp 2,18 triliun menjadi Rp 1.030,1 triliun. Jika dibandingkan dengan akhir Februari 2020, kepemilikan SBN asing sudah turun Rp 18,06 triliun, dari Rp 1.048,16 triliun.
”Kalau sekarang ada ketidaknyamanan di pasar, itu sifatnya bukan fundamental melainkan psikologis. Kita wajib membuat stabil agar market nyaman dan kembali rasional,” kata Sri Mulyani.