Di Media, Perempuan Masih Dipandang sebagai Obyek Berita
›
Di Media, Perempuan Masih...
Iklan
Di Media, Perempuan Masih Dipandang sebagai Obyek Berita
Pemahaman tentang kesetaraan jender di media massa sangat penting ditanamkan agar pemberitaan-pemberitaan mereka lebih sensitif jender. Jangan sampai, perempuan korban kembali menjadi korban begitu media memberitakan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat, hingga kini pemberitaan di sejumlah media masih bias jender, bahkan perempuan masih dipandang sebagai obyek berita.
Ketika media memublikasikan peristiwa yang terkait dengan perempuan, selain masih stereotip, media juga kerap menggunakan bahasa seksis dalam narasi-narasi berita.
Karena itu, pelatihan tentang kesetaraan jender menjadi sangat penting bagi awak media agar pemberitaan, baik di media cetak, daring, maupun televisi dan radio, memiliki sensitif jender.
”Yang paling sederhana, misalnya ada berita dengan judul ’Mayat Wanita Telanjang Ditemukan’. Jadi sudah mati pun masih menjadi obyek. Maka, perlu pelatihan ada pelatihan, bagaimana cara meliput berita kriminal yang bahasa-bahasanya tidak seksis,” ujar Andina Dwifatma, pengajar Program Studi Komunikasi Unika Atma Jaya Jakarta, Rabu (11/3/2020), dalam diskusi ”Mendorong Posisi Perempuan di Media” di Kampus Atma Jaya.
Media kerap menggunakan bahasa seksis dalam narasi-narasi berita.
Diskusi yang diawali dengan nonton bareng film More than Work karya Luviana juga menampilkan dua perempuan pemimpin media di Indonesia, yakni Ninuk Mardiana Pambudy (Pemimpin Redaksi Harian Kompas) dan Desi Anwar (Board of News Director CNN Indonesia TV). Acara ini digelar Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Unika Atma Jaya Jakarta dalam rangka Hari Perempuan Internasional.
Pelatihan jender minim
Pada diskusi tersebut, Andina memaparkan penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berjudul ”Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia”. Tahun 2012, ditemukan hanya 17,46 persen jurnalis yang mendapatkan pelatihan jender. Saat itu jumlah perbandingan jurnalis perempuan dan laki-laki adalah 1 : 3 hingga 1 : 4.
Andina menyatakan, minimnya perempuan yang bekerja di media juga terlihat dari data Women Media Center di Amerika Serikat tentang Divided 2019: The Media Gender Gap yang menyebutkan perempuan yang bekerja di media cetak sekitar 41 persen dan laki-laki 59 persen, tetapi di media daring perempuan hanya 40 persen dan laki-laki 60 persen.
Dari data tersebut juga terlihat, perempuan jurnalis lebih banyak menulis kesehatan, gaya hidup, dan hiburan. Sebaliknya, tiga topik yang paling jarang diliput jurnalis perempuan adalah olahraga, teknologi, dan berita internasional. ”Dari sini kita bisa melihat ada semacam tren, seolah-olah ada topik yang cocok dan tidak buat perempuan jurnalis,” ujarnya.
Pada acara tersebut, baik Ninuk maupun Desi membagi cerita bagaimana menjadi perempuan jurnalis, baik di media cetak maupun di televisi. Ninuk menyampaikan, pekerjaan perempuan jurnalis memiliki tantangan tersendiri, apalagi pandangan stereotip masyarakat tentang perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendukung suami, dan lain-lain.
Pandangan masyarakat yang melihat media (koran) sifatnya maskulin kemungkinan juga karena dipengaruhi sistem kerja di media yang berbeda dengan pekerjaan umumnya. Adapun soal pemahaman tentang kesetaraan jender di media sangat penting agar pemberitaan media menjadi lebih sensitif jender. Jangan sampai perempuan korban kembali menjadi korban begitu media memberitakan.
”Misalnya perempuan korban kekerasan seksual ditanya lagi macam-macam, kemudian masih ditulis lagi dengan rinci di media,” kata Ninuk yang juga mendorong pendidikan kesetaraan jender yang dimulai dari rumah hingga ke lembaga pendidikan.
Desi mengungkapkan, dahulu, pekerjaan jurnalis di telivisi juga dianggap maskulin. Dulu jurnalis yang membawa kamera, disebut kameramen karena waktu itu, kamera yang dibawa besar dan berat.
Akan tetapi, saat ini sudah berbeda. Seiring perkembangan teknologi, kamera semakin kecil sehingga perempuan bisa membawanya, dan nama sebutannya pun berubah dari kameramen menjadi kameraperson.
Kontribusi perempuan di industri media televisi justru sangat besar. ”Saat ini perempuan berperan di depan layar ataupun di balik layar,” kata Desi yang menantang para perempuan agar bekerja di media televisi.