Gajah Jantan Dispersal Direlokasi di Bukit Tigapuluh
›
Gajah Jantan Dispersal...
Iklan
Gajah Jantan Dispersal Direlokasi di Bukit Tigapuluh
Tim gabungan konservasi merelokasi seekor gajah sumatera dispersal ke ekosistem Bukit Tigapuluh di Jambi. Upaya itu demi meredam kekhawatiran petani yang tak berani ke kebun karena mengetahui kehadiran gajah.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Tim mitigasi gabungan satwa berhasil merelokasi seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) jantan dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat menuju ekosistem Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo, Jambi. Relokasi dilakukan demi meredam kekhawatiran masyarakat penggarap lahan yang dapat mengancam keselamatan gajah.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi Rahmad Saleh, Kamis (12/3/2020), mengatakan, kehadiran gajah jantan yang sedang dalam masa dispersal (memisahkan diri dari kelompok untuk mencari wilayah jelajah baru) itu sudah tiga bulan terakhir meresahkan masyarakat. Di tempatnya menjelajah di Kecamatan Tungkal Ulu dan Batang Asam, petani padi, tebu, dan sawit, serta penggarap lahan tak berani ke sawah dan kebun karena takut menghadapi gajah.
Atas dasar itulah, sepanjang Senin hingga Rabu lalu pihaknya memindahkan gajah ke habitatnya terdahulu di Bukit Tigapuluh.
Dalam proses relokasi, gajah dibius. Selanjutnya gajah menjalani pemindahan menempuh jalur darat sejauh 60 kilometer. Setibanya di dalam Bukit Tigapuluh, pada Rabu dini hari, gajah digiring masuk ke dalam hutan. Penggiringannya dibantu oleh dua gajah penggiring yang didatangkan dari Riau.
Menurut Rahmad, tempat relokasi gajah adalah konsesi restorasi yang dikelola PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT). ”Kawasan ini merupakan habitat gajah,” katanya.
Di ekosistem Bukit Tigapuluh ada 140-an gajah sumatera yang kini semakin terpecah-pecah kelompoknya karena tingginya fragmentasi hutan yang menjadi habitat satwa kunci tersebut. Dari analisis citra tahun 1985, habitat gajah di Bukit Tigapuluh memiliki luas 651.232 hektar dengan tutupan hutan 95 persen. Dua dekade berikutnya, tutupan menyusut jadi 77 persen. Pada 2010, tutupan yang tersisa menjadi 49 persen, mencakup taman nasional, hutan produksi, dan sebagian kecil area penggunaan lain.
Alih fungsi hutan dan perambahan liar memantik konflik manusia dan gajah. Unit Mitigasi Konflik Gajah (ECMU) Frankfurt Zoological Society (FZS) memantau 96 konflik pada 2010. Tahun 2011 naik menjadi 130 kasus. Pantauan tiga tahun terakhir, berturut-turut 271 konflik, 346 konflik, 245 konflik. Seiring maraknya konflik, populasi gajah berkurang dari sekitar 400 ekor menjadi 140 ekor dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan catatan Badan Konservasi Dunia (IUCN), gajah sumatera kini menjadi satu-satunya subspesies gajah di dunia yang berada dalam kategori paling terpuruk. Status konservasi di titik kritis.
Rahmad menambahkan, relokasi gajah merupakan penanganan darurat demi meredam konflik. Dengan kondisi gajah yang sedang dalam masa dispersal, bisa jadi gajah akan kembali menjelajah ke tempat lain yang dapat kembali mengancam keselamatannya. Karena itu, pihaknya telah mengusulkan 54.000 hektar di penyangga taman nasional disahkan menjadi kawasan ekosistem esensial (KEE) sebagai habitat satwa-satwa dilindungi. Kawasan tersebut mencakup areal masyarakat dan konsesi korporasi di Tebo. Lewat KEE, keberadaan satwa, seperti gajah, harimau, dan orangutan, lebih terlindungi.
Direktur PT Alam Bukit Tigapuluh Dody Rukman mengatakan, lokasi gajah yang direlokasi cukup aman. Namun, timnya terus memantau pergerakan gajah. ”Sejauh ini keberadaannya aman. Kami akan terus monitor,” katanya. Ia pun mendorong pentingnya dukungan para pihak dalam menjaga kelestarian gajah sumatera. Pengamanan hutan dari okupasi membutuhkan dukungan pula dari aparat penegak hukum.