Kurangi Sampah sejak dari Sumbernya, Kawasan Mandiri Wajib Kelola Limbahnya
›
Kurangi Sampah sejak dari...
Iklan
Kurangi Sampah sejak dari Sumbernya, Kawasan Mandiri Wajib Kelola Limbahnya
Kawasan mandiri yang dimaksud antara lain apartemen, industri, pusat perbelanjaan seperti mal dan ITC, restoran, rumah sakit, dan hotel.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengurangan sampah yang diangkut ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang harus dimulai dari sumbernya, yaitu dari rumah tangga dan sumber lain dari kawasan mandiri. TPST Bantargebang adalah TPST milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berada di Kota Bekasi, Jawa Barat. Sebagai langkah mengurangi sampah dari sumbernya itu, sejak awal bisa masuk dengan melibatkan para pengelola kawasan mandiri agar minimal bisa memilah sampah masing-masing sebelum diangkut.
Hal itu menjadi pembahasan dalam diskusi yang diadakan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Kamis (12/3/2020). Tema diskusi adalah ”Peran Serta Pelaku Usaha dalam Mewujudkan Wajah Baru Pengelolaan Sampah Jakarta”.
Kawasan mandiri yang dimaksud antara lain apartemen, industri, pusat perbelanjaan seperti mal dan ITC, restoran, rumah sakit, serta hotel. Mereka memiliki lembaga pengelola profesional yang semestinya bertanggung jawab memastikan sampah yang dihasilkan terpilah dengan baik menjadi tiga kategori sesuai Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013, yaitu organik, anorganik, dan B3 (barang beracun dan berbahaya).
”Jakarta memproduksi 7.600 ton sampah setiap hari yang dikirim ke TPST Bantargebang. Tahun 2021 diperkirakan Bantargebang tidak bisa lagi menerima kiriman sampah sebanyak itu. Kita harus mulai mengurangi volume sampah,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rahmawati.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyasar bisa menurunkan jumlah produksi sampah hingga 30 persen dan bisa mengelola minimal 70 persen sampah yang ada. Khusus tahun 2020, target penurunan produksi sampah sebesar 22 persen.
Rahmawati menjelaskan, pemilahan sampah dimulai dari kawasan dengan cara memastikan para penghuni unit apartemen ataupun penyewa kios pusat perbelanjaan memisahkan sampah mereka. Sampah organik seperti sisa makanan akan diolah menjadi kompos, sampah anorganik seperti plastik didaur ulang, dan sampah B3 akan ditangani khusus.
Walakin, sampah yang dikirim ke Bantargebang hanya berupa residu yang tidak masuk ke dalam ketiga kategori tersebut. Praktis, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume sampah yang tercampur seperti kini.
Di Bantargebang, sampah residu ini akan dimanfaatkan untuk diambil gas metana sebagai bahan bakar. Untuk sampah yang sudah menumpuk selama lebih dari tujuh tahun di TPA, terdapat pula alat milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bisa menambang sampah. Sistemnya adalah memisahkan sampah organik ke komposter dan anorganik untuk dijual sebagai bahan bakar pabrik semen.
Jasa angkut
Kepala Satuan Pelaksana Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Adi Darmawan menjelaskan, kawasan mandiri biasanya bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengangkut sampah. Namun, penyedia jasa angkut ini belum tentu memiliki izin dari Dinas Lingkungan Hidup karena ada yang berupa organisasi masyarakat.
”Aturan dalam Surat Keputusan Kepala Dinas LH No 374/2017 mewajibkan semua penyedia jasa angkut sampah di kawasan mandiri berupa badan usaha. Hanya perkampungan dan kompleks perumahan yang jasa angkut sampahnya boleh bersifat individual dan dikelola warga,” tuturnya.
Diskusi itu diikuti perwakilan dari 24 kawasan mandiri. Rata-rata mereka mengutarakan kecemasan kewajiban pengelolaan sampah ini akan menambah biaya operasional, misalnya menambah pekerja untuk memilah sampah, menyediakan tempat khusus penampungan sampah yang dibagi-bagi sesuai jenisnya, dan ongkos jasa angkut.
Selama ini mereka menganggap urusan penanganan sampah di kawasan masing-masing selesai ketika jasa angkut datang dan membawa pergi sampah dari tempat pembuangan sementara kawasan. Umumnya pengelola berasumsi semua sampah dibuang ke Bantargebang.
Konsultan pengelolaan sampah Tiza Mafira mengungkapkan, hingga kini masih terjadi saling lempar tanggung jawab memilah sampah antara pengelola kawasan dan penyedia jasa angkut sampah. ”Keduanya sama-sama punya kewajiban. Pengelola kawasan harus memilah sampah dan perusahaan pengangkut harus memastikan sampah tetap terpilah,” ujarnya.
Menurut dia, ketika berdiskusi dengan perusahaan-perusahaan pengangkut sampah tidak ada yang keberatan dengan pemilahan sampah. Mereka memberikan beberapa pilihan. Pertama, menjadwalkan hari-hari berbeda hanya untuk sampah tertentu. Misalnya, Senin untuk pengangkutan sampah organik dan Selasa untuk sampah plastik.
Kedua, semua jenis sampah bisa diangkut pada hari yang sama dengan menggunakan truk-truk terpisah. Ketiga, perusahaan angkutan memodifikasi bak truk agar bisa disekat sehingga tiga jenis sampah dapat diangkut di satu kendaraan.
”Ke depan akan didiskusikan lebih lanjut supaya para pengelola kawasan dan jasa angkut sampah bisa mencapai kesepakatan,” kata Tiza.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung mengatakan, pengurangan produksi sampah dan pengelolaan sampah merupakan jalan keluar masalah sampah. Selama semua jenis sampah masih diaduk, akan selalu ada masalah pencemaran dan penumpukan.
”Apabila semua sampah bisa dipilah, selain mengurangi pencemaran, juga menambah nilai ekonomi dari kegiatan daur ulang,” ucapnya.