Nina & Khristoforus Mengangkat Pamor Kelor dari Timor
Nina perlu waktu sekitar enam bulan untuk bisa meyakinkan ibu-ibu mau menanam kelor. ”Kuncinya mendengar. Jangan sok tahu,” ujarnya.
Nina Purwiyantini dan Kharistoforus A Kali, dua sosok yang tak henti menebar semangat untuk memanggungkan pamor kelor organik dari pedalaman Pulau Timor. Kini, sekitar 1.000 warga menikmati manisnya rezeki dari kelor.
Nina duduk di antara beberapa perempuan sambil merontokkan daun kelor yang baru saya beli dari petani Desa Kufeu, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka berpacu dengan waktu yang terbatas hanya empat jam. Setelah dipanen, daun secepatnya dirontokkan dan dimasukkan ke dalam rumah pengering. Jika terlambat, kulitas kelor akan turun.
Perempuan berdarah Jawa itu lancar berbicara dengan bahasa Melayu dialek Malaka. Ia bahkan beberapa kali menimpali obrolan dengan bahasa daerah Dawan dan Tetun, dua bahasa dengan penutur terbanyak di Timor. Sejak menikah dengan pria asal Pulau Timor, ibu tiga anak itu malang melintang dalam urusan sosial kemasyarakatan di NTT. Isu perdamaian pasca-penentuan pendapat di Timor Timur dan ekonomi paling sering digeluti Nina.
Keterlibatan dalam kegiatan sosial itu yang membuatnya jatuh cinta pada kelor. Berawal dari sebuah seminar di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara, enam tahun lalu. Nina lalu memberanikan diri mengembangkan kelor organik. Ia memilih Kufeu lantaran ada seorang pastor Katolik yang merelakan lahan milik keluarga menjadi tempat uji coba. Nina pun mulai bereksperimen.
Ia lalu menghimpun ibu-ibu ke dalam kelompok. Mereka kebanyakan ibu rumah tangga dengan latar belakang pendidikan paling tinggi SMA. Alasan memilih ibu-ibu agar mudah diorganisasi dan dianggap lebih solid. Kelompok itu diberi nama Maspete. ’Maspete’ berasal dari bahasa Dawan yang berarti lincah atau gesit. Sebagai pemimpin, Nina dijuluki bot, yang berarti kaka tertua. ”Bukan bos,” ujar Nina, Jumat (21/2/2020).
Dengan bantuan teman-teman jaringan yang dimiliki Nina, para ibu yang awalnya berjumlah sembilan orang itu digembleng tentang cara pengelolaan kelor mulai sebelum penanaman hingga setelah produksi. Awalnya, ia menemui kesulitan meyakinkan para ibu bahwa usaha itu membawa manfaat bagi mereka.
”Saya berusaha tinggal sama mereka agar tahu maunya mereka seperti apa,” ujarnya.
Nina sering meninggalkan rumahnya di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Kufeu. Ia mengendarai motor sendiri melewati jalanan mulus Jalan Timor Raya hingga menembus jalan rusak parah di pedalaman Kabupaten Malaka. Butuh waktu sekitar enam bulan, ia bisa menyatu dan diterima. ”Kuncinya mendengar. Jangan sok tahu,” ujar lulusan akademi akuntansi itu.
Setelah tim solid, mereka lalu melakukan sosialisasi kepada petani mengenai kelor organik, kelor yang tumbuh di lahan yang belum terkontaminasi pestisida. Jika pernah terkontaminasi, perlu pemulihan paling cepat tiga tahun dan dibuktikan dengan pemeriksaan tanah dan akar tanaman.
Cerita sukses
Para ibu yang tergabung dalam kelompok itu menjadi pioner. Mereka menanam kelor di kebun mereka masing-masing. Enam bulan setelah ditanam sudah bisa panen perdana. Panen selanjutnya setiap dua minggu. Hasil panen dibeli kelompok itu dengan harga Rp 5.000 per kilogram. Mereka lalu mengolah sendiri hingga menjadi aneka hasil produksi, seperti teh dan sabun.
Cerita sukses dalam kelompok itu lalu menyebar ke warga desa setempat yang awalnya tidak terlalu peduli dengan ajakan mereka. Warga lalu datang meminta bergabung sebagai penyedia kelor. Saat ini terdapat 178 petani dengan total 64 hektar lahan kelor organik. Petani kelor tak hanya dari Kufeu, tetapi juga berasal dari desa tetangga, seperti Ikantuanbeis, Tunmat, Tunabesi, Biau, dan Naibone. Desa-desa itu tersebar di Kecamatan Io Kufeu dan Sasitamen.
Setidaknya ada 1.000 orang yang menerima manfaat dari pengembangan kelor. Anak-anak petani kini bisa bersekolah. Para ibu rumah tangga di wilayah pedalaman dan salah satu kantong kemiskinan di NTT kini mempunyai penghasilan tambahan.
Ketika produksi kelor meningkat, justru Nina dan tim kewalahan. Dengan modal terbatas, mereka tidak bisa membeli semua kelor yang dijual. Di titik itu, mereka terbantu oleh Kharistoforus A Kali, tenaga ahli pendamping desa Kabupaten Malaka. Isto, sapaan Khristoforus, yang selama belasan tahun terakhir terlibat dalam pemberdayaan masyarakat, ikut mendampingi Maspete.
Isto mengorganisasi desa-desa yang warganya menjadi penyedia kelor agar terlibat. Kini di enam desa itu berdiri sembilan rumah pengering. Ia mendekati para kepala desa agar memberikan penyertaan modal kepada Maspete. Lewat perjungan panjang, Isto menjadikan Maspete sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Desa Kufeu.
Tahun 2019, Isto mendorong agar desa mengalokasikan anggaran sebesar Rp 100 juta kepada Maspete. Jumlah itu akan ditambah lagi untuk anggaran tahun ini. Isto ikut menjembatani pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi untuk mengembangkan kelor di daerah itu.
Isto mendampingi pemerintah desa setempat menyusun peraturan desa yang mengatur tentang perlindungan terhadap kelor. Salah satu poin yang diperjuangkan adalah melindungi lahan dari pestisida.
”Perlu aturan demi menjaga kualitas. Sanksi yang disiapkan adalah denda adat. Ini sangat efektif karena masyarakat sangat menghargai aturan adat,” ujarnya.
Bukan perkara mudah terlibat dalam pengelolaan kelor. Banyak kelompok tidak mendukung dengan berbagai alasan. Nina dan para ibu yang berada dalam kelompok itu sering tertekan. Isto hadir untuk menguatkan mereka.
Isto yang tinggal di Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, sering datang menemui kepala desa dan tokoh-tokoh di Kufeu. ”Perlu pendekatan budaya,” ujar Isto, putra asli Timor itu.
Kerja keras mereka membuat pamor kelor melambung tinggi. Selain di NTT, produk mereka tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air, bahkan luar negeri. Tahun 2019, mereka menyabet dua penghargaan tingkat nasional, yakni juara pertama kategori inovasi desa dan juara tiga produk unggulan desa.
Nina dan Isto punya jasa di balik catatan manis kelor di Pulau Timor.
Nina Purwiyantini
Lahir: Cimahi, 28 Oktober 1972
Jabatan: Ketua Kelompok Maspete
Khristoforus A Kali
Lahir: Atambua, 2 Juni 1985
Jabatan: Tenaga Ahli Pendamping Desa Kabupaten Malaka, NTT.