Purun, ”Perang” Para Ibu Melawan Plastik dan Karhutla Kalteng
›
Purun, ”Perang” Para Ibu ...
Iklan
Purun, ”Perang” Para Ibu Melawan Plastik dan Karhutla Kalteng
Para ibu menyeberangi Sungai Kahayan demi mendapat purun (tanaman liar yang kerap dijadikan biang kebakaran hutan dan lahan) kualitas terbaik. Mereka membuat sedotan dan wadah bibit pohon pengganti plastik.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·5 menit baca
Sekelompok ibu rumah tangga di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Sabtu (7/3/2020), sibuk memilih batang-batang purun (Lepironia articulata), tanaman liar yang kerap dijadikan biang kebakaran hutan dan lahan. Sambil mengobrol, mereka membuat sedotan dan wadah bibit pohon pengganti plastik.
Siang itu, Evi Norjanah (31) atau yang biasa dipanggil Indu Nita, mencermati lubang-lubang kecil di batang purun yang baru dipanen. Meskipun konsentrasi pada lubang batang purun, ia masih menjawab pertanyaan Jumiah (41) tentang sinetron yang tayang di televisi malam sebelumnya.
Indu Nita memperhatikan, apakah ada bercak hitam pada batang itu. Ia juga memilih batang-batang yang masih hijau pekat, sedangkan batang kuning seperti layu ia sisihkan. Tangan dan bibirnya tak berhenti bergerak. Beberapa ibu-ibu lain melakukan hal yang sama. Ada yang memilih batang purun sambil memilah kutu di rambut ibu-ibu lain.
Mereka berbagi tugas, ada yang memilah batang dan memotong dengan ukuran 24-35 sentimeter (cm). Satu orang punya tugas cukup berat, yakni Serli (65) atau yang kerap dipanggil Indu Mui. Jika Indu Nita, Jumiah, dan enam perempuan lain membuat sedotan, Serli kebagian menganyam. Semua warga desa tahu betul anyaman Serli yang terbaik. Saat yang lain memilah batang purun terbaik, Serli mengambil batang-batang yang disisihkan.
Kemudian, ia potong memanjang pada bagian tengah sehingga batang serupa tabung kecil itu terbuka dan melebar. Ketika sudah terbuka, maka
lebih mudah dianyam. Serli juga kebagian membuat besek pengganti polybag plastik wadah bibit. Tak hanya itu, besek Serli juga untuk menampung 100 sedotan purun. ”Tinggal ditambahi penutupnya, jadilah bungkus anyaman untuk sedotan,” katanya.
Perempuan tiga cucu itu memang pandai menganyam, keterampilan keluarga yang diajarkan turun-temurun. ”Semua ibu di sini bisa menganyam, mungkin kurang serius saja,” ujarnya. Sambil menunggu anyaman selesai, Jumiah dan Indu Nita sudah selesai membersihkan lubang-lubang batang purun. ”Supaya higienis, batang purun ini direbus. Kami menggunakan daun serai juga, direbus bersamaan,” kata Indu Nita.
Seusai direbus air mendidih satu jam, batang dijemur dua- empat jam di bawah terik matahari. ”Kalau mendung-mendung juga enggak bagus, jadi bagusnya pas siang bolong,” jelas Indu Nita. Setelah dijemur, ratusan batang purun itu kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu mencapai 150 derajat celsius selama lima menit.
Masyarakat tak hanya menjaga gambut, mereka juga mendapat keuntungan dari cara pengolahan gambut yang baik dan benar.
Dalam proses ini biasanya bagian ujung batang purun akan pecah atau robek. Bagian yang robek lalu dipotong sehingga panjang batang menjadi 20 cm. Jika sudah dipotong, sedotan purun siap dijual dan dimasukkan ke dalam besek yang diberi nama ”Petak Sahep”. Satu besek itu dijual dengan harga Rp 20.000 dengan isi 100 sedotan. Harga per sedotan Rp 150, sedangkan satu anyaman besek diberi harga Rp 5.000.
Pengetahuan membuat sedotan pengganti plastik itu dari pelatihan oleh Kemitraan dengan mendatangkan salah satu peneliti dari Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru (BP2LHK), Marinus Kristiadi Harun. Para ibu juga didampingi fasilitator desa dari Kemitraan, Febrianti. Tugas Febri memastikan program restorasi gambut di wilayah ini berjalan baik. Tak hanya bicara penanggulangan kebakaran hutan, ia juga memastikan paket revitalisasi ekonomi berjalan baik.
”Jadi, masyarakat tak hanya menjaga gambut, mereka juga mendapat keuntungan dari cara pengolahan gambut yang baik dan benar,” ujarnya.
Karhutla
Jauh sebelum semua proses pembuatan sedotan dan besek itu dimulai, para ibu tersebut mencari sendiri tanaman purun. Untuk itu, mereka harus menyeberangi Sungai Kahayan demi mendapat purun kualitas terbaik.
Tanaman ini memang endemik gambut yang tumbuh subur di kawasan rawa gambut. Sekitar 20 menit dari Desa Tumbang Nusa, para ibu itu menggunakan perahu kelotok masuk ke hutan dan rawa gambut di pinggir Sungai Kahayan, berjibaku dengan rasau dan rotan yang penuh duri, melewatinya hingga sampai di padang purun.
Padang purun itu luasnya 10-15 hektar. Isinya hanya rumput purun yang sebagian besar dibudidayakan sendiri. Padahal, di beberapa tempat, purun jadi sumber kebakaran atau bahan bakar karena ketika kering akan sangat mudah terbakar. Jika purun sudah terbakar, tanah gambut yang merupakan akumulasi dari sisa-sisa tumbuhan setengah membusuk akan sangat mudah terbakar.
Jika sudah terbakar, bisa berbulan-bulan memadamkannya. Tumbang Nusa merupakan salah satu kawasan dengan tingkat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) paling tinggi di Kabupaten Pulang Pisau. Namun, dari tahun ke tahun, tingkat kejadian kebakaran di wilayah ini terus menurun.
Secara keseluruhan, dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015, luas kebakaran di lahan gambut di seluruh Indonesia mencapai 2,6 juta hektar, lalu menurun menjadi 857.755 hektar pada 2019. Di Kalteng, dari data yang sama, tahun 2015 di Kabupaten Pulang Pisau terdapat 83.965 ha lahan terbakar, lalu menurun menjadi 29.856 ha pada 2019.
”Warga di sini memang menanam purun karena sebelum membuat sedotan kami mengirim purun ke Banjarmasin, Kalsel, untuk dijadikan anyaman di sana,” kata Ihar, Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Petak Sahep. Menurut Ihar, dahulu kala banyak perajin purun di desanya. Mereka membuat anyaman tikar, topi, hingga membuat bakul. Namun, kebiasaan itu mulai ditinggalkan. Tidak semua anak muda bisa menganyam, khususnya anak-anak perempuan.
Sebagian besar ibu-ibu kemudian memilih menjadi nelayan atau peladang berpindah karena dinilai lebih banyak mendapatkan keuntungan daripada menganyam purun. ”Dengan adanya sedotan purun ini kami jadi banyak berubah. Paling tidak kami sekarang menjaga betul lahan kami supaya tak terbakar lagi,” kata Ihar.
Selain di Tumbang Nusa, di Kota Palangkaraya, Borneo Nature Foundation (BNF) bekerja sama dengan Laboratorium Alam Hutan Gambut (Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland/ Cimtrop), Universitas Palangkaraya. Cimtrop juga membuat ruang persemaian bibit yang semuanya menggunakan besek dari purun.
Setidaknya ada 50.000 bibit yang ditanam di dalam besek berbahan purun. Secara keseluruhan, polybag plastik diganti besek dari purun sehingga tidak merusak lingkungan. ”Kami minta masyarakat yang buat, lalu kami beli dari masyarakat,” kata Siska, salah seorang Manajer Konservasi BNF.