Alarm Dari Pertokoan Jompo Di Jember
Robohnya 10 rumah toko di pusat pertokoan Jompo, Jember, Jawa Timur, tak ubahnya alarm tanda bahaya. Bangunan-bangunan di sempadan sungai yang tidak laik harus segera ditata agar kejadian serupa tidak terulang
Senin (2/3/2020) sekitar pukul 04.15, suara gemuruh terdengar seiring dengan runtuhnya 10 rumah ruko di kompleks pertokoan Jompo, Kecamatan Kaliwates, Jember. Insiden itu sejatinya bukan sesuatu yang mengherankan karena tanda-tanda serta potensi robohnya ruko sudah diketahui sejak setahun sebelumnya.
Catatan Kompas, pada Maret 2019 sudah ditemukan adanya penurunan aspal sekitar 10 sentimeter hingga 15 cm sepanjang 60 meter Jalan Sultan Agung, di depan deretan ruko-ruko Pertokoan Jompo. Saat itu, Bupati Jember Faida meminta 15 ruko yang berada di dekat amblesan jalan untuk dikosongkan.
April 2019, di lokasi tersebut terdapat area sepanjang 73 meter dengan lebar 3 meter yang ditutup plastik dengan rangka dari bambu. Penutupan dilakukan agar air tidak masuk ke dalam retakan sehingga dapat memperparah kerusakan. Oktober 2019, petugas Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VIII yang melakukan penyelidikan menemukan adanya pergeseran tanah hingga 52 cm.
Kami sebenarnya sedang dalam proses mematangkan metode perobohan.
Selanjutnya direkomendasikan pembongkaran 31 ruko yang mengganggu fungsi Sungai Jompo. Namun, belum juga rekomendasi dilaksanakan, sebanyak 10 ruko ambruk. Beruntung ruko yang ambruk adalah ruko yang sudah dikosongkan para penyewa. Faktor metode dijadikan alasan mengapa Pemerintah Kabupaten Jember tidak segera merobohkan bangunan tersebut.
”Kami sebenarnya sedang dalam proses mematangkan metode perobohan. Kami belum mendapatkan metode yang tepat karena keterbatasan alat dan metode perobohan bangunan di pinggir sungai. Perobohan menggunakan alat berat dinilai berbahaya karena bangunan bisa runtuh ke sungai beserta dengan alat berat yang digunakan,” tutur Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Jember Yessyana Arifah.
Baca juga : Lokasi Dinilai Tak Laik, Penyebab Deretan Ruko di Jember Ambruk
Penyebab roboh
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) VIII Achmad Subki mengungkapkan, pihaknya menemukan fakta retakan sejak 2019. Namun, saat itu, penyebab timbulnya retakan belum langsung diketahui. BBPJN VIII akhirnya bekerja sama dengan Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan guna mencari tahu penyebab retakan di Jalan Sultan Agung.
Pada Oktober 2019, rekomendasi dikeluarkan setelah menemukan fakta retakan dan penyebabnya. ”Robohnya ruko ini terjadi karena fondasi ruko tergerus air dari aliran Sungai Jompo. Akhirnya fondasi tidak kuat menopang bangunan di atasnya,” ujar Subki. Melihat umur bangunan, Subki memaklumi apabila fondasi bangunan tersebut akhirnya terkikis dan ambles.
Bangunan di sempadan sungai tersebut berdiri sejak tahun 1976. Itu artinya fondasi sudah 44 tahun menahan beban bangunan dan melawan terjangan air sungai di bawahnya. Subki mengatakan, saat dibangun pertama, fondasi bangunan pasti menempel di tanah. Namun, setelah 44 tahun, fondasi terus tergerus air sehingga terjadi erosi. Akibatnya, fondasi bangunan mengambang.
”Dalam kondisi tersebut, fondasi mendapat beban berat secara terus-menerus, akhirnya bangunan ambruk ke belakang, ke arah fondasi yang menggantung,” ujar Subki. Hal senada disampaikan para akademisi di Fakultas Teknik Universitas Jember. Anik Ratnaningsih, dosen Teknik Sipil dengan bidang keahlian manajemen konstruksi menilai, bangunan ruko di bantaran Sungai Jompo tidak laik.
Ada dua hal yang membuat bangunan tersebut tidak laik. ”Pertama lokasinya yang berada di bantaran sungai menyalahi aturan. Kedua, konstruksinya sangat tidak laik dan jauh dari standar konstruksi aman,” ungkap Anik. Apabila merujuk Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 tentang penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau Pasal 5, bangunan ruko tersebut harusnya berjarak 15 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai.
Namun, faktanya, bangunan ruko tersebut berada tepat di bibir sungai. Bahkan, ada sejumlah ruko yang menambah bangunan hingga tepat berada di atas sungai dengan penyangga diagonal yang ditanam di dinding sungai. ”Konstruksi bangunan ruko sangat ngawur bagaimana mungkin ada kantilever (pelat yang menjorok keluar) di atas sungai. Bangunan ini di atas sungai, bukan hanya di atas bantaran sungai,” ujar Anik gemas.
Menurut Anik, robohnya bangunan ruko itu karena aliran sungai yang cukup deras terus-menerus menerjang tiang penyangga kantilever tersebut. Hal itu semakin diperparah dengan terjadinya gerusan lokal (lokal scouring) yang menyebabkan fondasi tergerus. Gerusan lokal inilah yang membuat fondasi tergerus hingga akhirnya sebagian menggantung tanpa menyentuh tanah.
Karena tak ada tanah yang menopangnya, bangunan tersebut jatuh ke belakang dan menarik seluruh bangunan, termasuk sebagian jalan di depan ruko. Kini upaya pembersihan puing-puing 10 ruko yang ambruk terus dilakukan bersama dengan perobohan 21 ruko yang tidak ikut ambruk. Pemkab Jember berencana menjadikan lahan eks ruko tersebut sebagai lahan terbuka hijau. Namun, apakah itu cukup?
Pelajaran yang mahal
Dosen Teknik Sipil dengan bidang keahlian sumber daya air , Gusfan Halik, menuturkan, upaya rekonstruksi sebaiknya tidak hanya di lahan eks ruko. Daerah sempadan jalan dan sungai harus dikembalikan sesuai fungsinya. ”Kalau hanya memperbaiki yang saat ini ambruk, itu tidak menyelesaikan masalah.
Di tempat tersebut memang akan jadi baik, tetapi kejadian serupa bisa terjadi di tempat lain. Seharusnya ada penanganan di seluruh sempadan sungai. Bersihkan daerah sempadan sungai dari bangunan,” tutur Gusfan. Seberapa besar lahan sempadan sungai yang harus dibersihkan dari bangunan, Gusfan mengatakan, butuh kajian menyeluruh dari hulu ke hilir.
Kajian dibutuhkan untuk menentukan berapa kedalaman dan lebar sungai saat debit air maksimal. Selanjutnya, baru menata kawasan sungai agar tidak lagi ditempati bangunan apa pun. Gusfan mengaku tidak mudah menerapkan hal tersebut. Pasalnya, banyak bangunan yang sudah terlalu lama menduduki sempadan sungai.
Bangunan itu sudah lebih dahulu ada sebelum terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 tentang penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Selain itu, diperlukan biaya dan tenaga besar untuk memindahkan warga yang tinggal di sempadan sungai. Namun, bagaimanapun keselamatan warga jauh lebih penting untuk dipikirkan.
Kejadian di Pertokoan Jompo hanya salah satu alarm tanda bahaya bagi semua pihak. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Jawa Timur Abduh M Mattalitti menyebut, masih banyak bangunan yang berdiri di bantaran sungai. ”Di Jawa Timur masih banyak bangunan di bantaran sungai. Di Surabaya juga ada kendati secara bertahap mulai dibongkar oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kami juga terus berupaya untuk menertibkan,” ujarnya.
Abduh mengatakan, izin mendirikan bangunan (IMB) dapat dijadikan sarana untuk penertiban bangunan di sempadan sungai. Bangunan di sempadan sungai dapat dipastikan tidak memiliki IMB. Apabila demikian, pemerintah daerah sebagai otoritas yang mengeluarkan IMB harus meningkatkan pengawasan terhadap izin-izin yang telah dikeluarkan.
Selain itu, jika ada bangunan yang tidak sesuai IMB, pemerintah daerah harus memindahkan warga dengan alasan keselamatan. Bencana ini bukan sekadar bencana alam karena tanda-tanda dan potensi sudah diketahui, tetapi kita abai untuk mencegahnya. Saat ini, alarm bahaya dari Pertokoan Jompo sudah berbunyi, tinggal bagaimana kita menyikapi alarm tersebut.