Pelatih Atletico Madrid memamerkan ”indra keenamnya” saat menyingkirkan Liverpool di fase 16 besar Liga Champions. Ia membuat keputusan janggal yang justru mengubah nasib timnya, yaitu lolos ke perempat final, Kamis.
Oleh
kelvin hianusa
·5 menit baca
LIVERPOOL, KAMIS – Pelatih Atletico Madrid Diego Simeone bak memiliki indra keenam ketika menghadapi juara bertahan Liverpool di babak 16 besar Liga Champions Eropa. Seolah bisa meramal masa depan, ia membuat keputusan ajaib yang mengubah nasib timnya dalam drama pertarungan 120 menit kontra Liverpool, Kamis (12/3/2020) dini hari WIB.
Atletico mencuri kemenangan 3-2 atas Liverpool setelah melewati drama babak tambahan waktu pada laga di Stadion Anfield, Inggris, itu. Hasil ini melengkapi kemenangan Atletico 1-0 pada pertemuan pertama di Spanyol, Februari lalu. "Los Rojiblancos" menang dengan agregat telak, 4-2.
Inspirasi kemenangan tim asal Spanyol itu berasal dari kejelian sang pelatih. Simeone menerapkan strategi dan pergantian pemain yang mengubah jalannya laga itu. “Otak dari dua kemenangan atas penguasa takhta Eropa (Liverpool) (adalah) Simeone. Ia seorang yang jenius,” tulis Bleacher Report.
”El Cholo”, julukan Simeone, membuat keputusan yang membingungkan saat tertinggal 0-1 pada awal babak kedua. Dia memasukkan gelandang bertahan Marcos Llorente, menggantikan penyerang andalannya, Diego Costa. Pergantian yang membuat Costa sempat kesal itu mengubah formasi timnya, yaitu dari 4-4-2 menjadi 4-5-1.
Pergantian itu terlihat cukup aneh karena Atletico membutuhkan gol dan daya serang. Namun, Simeone justru memutuskan timnya bermain tanpa penyerang murni. Praktis, sejak pergantian itu, hanya Joao Felix sendirian yang memimpin lini depan Atletico. Padahal, dia sejatinya bukan striker tengah.
Namun, keputusan itu justru menyelamatkan Atletico dari gempuran agresif tim tuan rumah pada babak kedua. Laga pun berlanjut ke babak tambahan karena saat itu agregat kedua tim imbang 1-1. Insting tajam Cholo baru benar-benar terbukti pada babak tambahan.
Setelah penyerang Liverpool Roberto Firmino mencetak gol kedua timnya pada menit ke-93, Llorente memborong dua gol Atletico lewat tendangan jarak jauh hanya dalam kurun waktu 10 menit. Llorente lagi-lagi menjadi momok Liverpool berkat asisnya yang berbuah gol ketiga Atletico yang dicetak striker pengganti, Alvaro Morata, di akhir laga itu.
Kehadiran Morata, yang menggantikan Joao Felix di menit ke-103, melengkapi taktik kejutan Simeone di laga itu. Kehadiran Morata membuat kaki-kaki barisan pemain bertahan "The Reds" yang mulai lelah semakin kewalahan di penghujung laga itu. Tuan rumah dihabisi serangkaian serangan balik Llorente dan Morata.
Pergantian pemain oleh Simeone itu, yang awalnya dianggap meragukan, justru menjadi keputusan pengubah nasib Atletico di kompetisi itu. Mereka kini lolos ke perempat final, fase yang gagal dicapai musim lalu setelah disingkirkan wakil Italia, Juventus.
“Pergantian Costa ke Llorente sebenarnya untuk memperkuat pertahanan kami. Tetapi, hasilnya lebih dari itu. Llorente (telah) merevolusi tim,” ungkap Simeone mengenai taktik pergantian pemainnya.
Pergantian Costa ke Llorente sebenarnya untuk memperkuat pertahanan kami. Tetapi, hasilnya lebih dari itu. Llorente (telah) merevolusi tim.
Mitos lama
Indra keenam atau insting tajam Simeone itu telah menjadi mitos sejak 2008, yaitu ketika ia masih masih melatih klub Argentina, River Plate. Saat itu, dia bisa mencium bau alkohol dan suasana pesta dari kapten tim, Ariel Ortega, satu hari sebelum laga penentuan gelar Liga Clausura.
Simeone lantas mengambil keputusan berani dengan tidak membawa Ortega di laga terpenting itu karena takut merusak suasana di tim. Hasilnya, River Plate membawa pulang gelar juara setelah mengalahkan Olimpo, 2-1.
Kepiawaian serupa ia perlihatkan kemarin. Ia mengubah Anfield, salah satu tempat paling mengerikan bagi tim-tim tandang, menjadi panggung kehebatan taktiknya. Simeone menjadi pelatih pertama yang mampu meremukkan The Reds di Anfield dalam enam tahun terakhir di Liga Champions. Mereka sempat 17 kali tidak terkalahkan di Anfield pada ajang kompetisi Eropa itu.
Meskipun demikian, Manajer Liverpool Juergen Klopp mengkritik permainan pragmatis ala Simeone. “Saya tidak mengerti mengapa memainkan sepak bola seperti itu dengan kualitas yang mereka punya (seperti) Koke, Saul, Llorente. Mereka bisa memainkan sepak bola yang baik, tetapi malah tidak melakukan serangan sekali pun selama 90 menit,” katanya menyindir.
Kritik itu sebetulnya menjadi gambaran rasa frustasi Klopp. Terlepas caranya yang pragmatis, taktik Simeone efektif meredam The Reds di Anfield. Tanpa bertahan lebih dalam, mungkin Atletico akan pulang dengan malu seperti tim Spanyol lainnya, Barcelona, yang dilumat 4-0 di Anfield pada babak semifinal musim lalu.
Dalam dua laga di babak 16 besar musim ini, Atletico rata-rata hanya menguasai bola sebanyak 28 persen. Simeone memilih menumpuk pemain di kotak penalti sendiri karena mengkhawatirkan ancaman umpan silang yang menjadi andalan Liverpool lewat duo bek sayap, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson.
Senjata yang macet
Terbukti, kemarin, senjata andalan Liverpool itu seperti macet. Total 62 umpan silang yang dilepaskan banyak yang berakhir di kaki pemain Atletico. Sebanyak 34 percobaan tendangan tuan rumah pun berhasil diredam benteng pertahanan Atletico. “Di sepak bola, kami harus membuat hidup lebih sulit bagi lawan,” ucap Simeone mengomentari gaya bermainnya.
Simeone paham kekuatan utama timnya berada di sistem pertahanan. Baginya, kiper Jan Oblak sama pentingnya dengan Lionel Messi. Bedanya, Oblak berada di bawah mistar gawang. Meskipun tidak bisa menyumbang gol, Oblak menjadi pemain terpenting dalam laga itu. Dia menyelamatkan 11 peluang emas lawan yang membuat anak asuhan Klopp frustasi.
Di balik semua insting dan filosofi, kepemimpinan Simeone menjadi pelengkap yang menyempurnakan dirinya. Pelatih berusia 49 tahun itu menunjukkan karismanya yang berapi-api di pinggir lapangan Anfield. Sinarnya tidak tertutup dengan kehadiran Klopp yang dipuja-puja di Anfield.
Kepemimpinannya dari pinggir lapangan membuat pemainnya tampil dengan rasa nyaman. Kapten Atletico Koke menyebutkan kepemimpinan sang pelatih membuat tim memiliki mental pemenang. “Kami hanya ingin bermain bagus, untuk bisa membayar apa yang telah diberikannya (Simeone),” katanya.
Begitulah El Cholo. Seperti kata guru musiknya saat kecil, Bruno Amazino, dia dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin. “Saya membuat Diego menjadi konduktor, padahal dia tidak bisa memainkan satu pun alat musik. Semua mengira saya gila. Tetapi, dia sukses karena dia seorang pemimpin alami. Dia melihat ke arah anak-anak lain dan mengatakan piano, drum, tamborin. Lalu mereka mengikutinya,” ucap Amazino. (AFP/REUTERS)