Komunikasi Kunci Redakan Kepanikan
Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan penularan Covid-19 sebagai pandemi. Kesiapsiagaan pemerintah mengendalikan penyakit itu perlu diperkuat, termasuk perbaikan pola komunikasi demi meredam kecemasan publik.
Penetapan wabah Covid-19 sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia mesti diikuti perbaikan kesiapsiagaan dan komunikasi pemerintah. Selain meningkatkan kewaspadaan, juga meredakan kepanikan.
Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan penularan Covid-19 sebagai pandemi. Kesiapsiagaan pemerintah mengendalikan penyakit itu perlu diperkuat, termasuk perbaikan pola komunikasi demi meredam kecemasan publik.
Sejak otoritas Pemerintah China mengumumkan adanya virus korona baru, yang disebut SARS-CoV-2, sebagai penyebab wabah Covid-19, kecemasan masyarakat sudah muncul. Kondisi itu kian mengkhawatirkan saat penularan virus tersebut meluas di seluruh dunia.
Kepanikan semakin terjadi ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan langsung adanya dua kasus di Indonesia yang terkonfirmasi positif tertular Covid-19. Berbagai informasi mengenai penyakit ini pun langsung membanjiri masyarakat, baik informasi yang benar maupun hoaks atau informasi bohong yang menambah kepanikan. Kesimpangsiuran itu mulai dari ulasan terkait pencegahan virus dengan rempah-rempah sampai penyebab penularan karena konsumsi daging tertentu.
Berbagai informasi mengenai penyakit ini pun langsung membanjiri masyarakat, baik informasi yang benar maupun hoaks atau informasi bohong yang menambah kepanikan. Kesimpangsiuran itu mulai dari ulasan terkait pencegahan virus dengan rempah-rempah sampai penyebab penularan karena konsumsi daging tertentu.
Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid menyatakan, enam minggu terakhir ditemukan 105 hoaks terkait virus korona. Hal itu termasuk tinggi karena biasanya jumlah itu merupakan akumulasi hoaks selama satu bulan dari berbagai tema.
Baca juga: WHO Tetapkan Darurat Kesehatan Global Infeksi Virus Korona
”Dari 105 hoaks yang ditemukan, hanya 27 persen yang di-follow up (ditindaklanjuti) pemerintah. Sebenarnya, hoaks ini bisa diatasi jika pemerintah menyampaikan informasi secara terbuka dan lengkap. Karena ada kekosongan ruang publik dari pemerintah, masyarakat pun membuat tafsirnya masing-masing,” kata Anita dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Rabu (11/3/2020) malam. Diskusi bertema ”Korona dan Meredam Kecemasan Publik” itu dipandu oleh jurnalis senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo.
Selain Anita Wahid, sejumlah pembicara lainnya juga hadir, di antaranya Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Saleh Partaonan Daulay, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis, serta peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas Toto Suryaningtyas. Terlibat pula melalui sambungan telepon Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin serta Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Professor Nidom Foundation (PNF) Chairul Anwar Nidom.
Selain menanggapi hoaks di masyarakat, pola komunikasi yang buruk juga diperlihatkan saat pemerintah pertama kali mengumumkan adanya kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia. Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebutkan juga Kota Depok, Jawa Barat, sebagai asal dari pasien yang positif Covid-19. Buruknya lagi, identitas yang lebih lengkap hingga alamat pasien, yang juga warganya sendiri, disebutkan langsung oleh Wali Kota Depok Mohammad Idris Abdul Somad.
”Ini menunjukkan tidak adanya protokol komunikasi yang jelas dari (pemerintah) pusat sampai ke provinsi dan kabupaten/kota. Seharusnya jelas ada protokol untuk tidak boleh mengungkapkan data pribadi dari pasien,” kata Uni Lubis.
Satuan tugas
Informasi tidak lengkap dana penanganan kasus yang tidak terstruktur ini menambah kekhawatiran warga. Dari data Lembaga Litbang Kompas dari 3-4 Maret 2020, sekitar 70 persen responden menyatakan khawatir setelah adanya dua kasus pertama di Indonesia yang tertular Covid-19. Hal itu kemudian sejalan dengan harapan masyarakat terhadap pembentukan satuan tugas antarlembaga dalam mengantisipasi virus korona. Ada 78 persen responden yang menilai perlunya satgas tersebut.
Baca juga: Perekonomian dan Virus Korona
Chairul Anwar Nidom menilai satgas terkait virus korona seharusnya sudah dibentuk sejak awal kasus itu muncul. Jika merujuk pada penanganan flu burung beberapa tahun lalu, pemerintah membentuk Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung. Komnas itu terdiri dari lintas lembaga yang meliputi berbagai ahli terkait.
Satgas terkait virus korona seharusnya sudah dibentuk sejak awal kasus itu muncul.
Namun, ia melihat sampai saat ini belum ada penanganan komprehensif pemerintah dalam pengendalian Covid-19. Padahal, banyak sumber daya kompeten di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pengendalian virus. ”Kasus yang selama ini ditemukan saya lihat adalah puncak gunung es. Coba libatkan semua komponen laboratorium yang ada, pasti jumlah yang bisa ditemukan bisa lebih banyak. Virus ini sifatnya cepat menyebar sehingga harus cepat diidentifikasi,” ujarnya.
Menanggapi itu, Ali Mochtar Ngabalin memaparkan, usulan pembentukan komisi nasional sudah disampaikan kepada Presiden. Menurut rencana, pembahasan dilakukan pada Jumat (13/3/2020) siang. Sementara ini, komando penanggulangan Covid-19 berada di Presiden yang kemudian dikoordinasikan oleh Kepala Staf Kepresidenan.
Menurut dia, persiapan untuk menghadapi Covid-19 dilakukan pemerintah dengan memperkuat lembaga penelitian di daerah untuk menguji spesimen virus dari pasien. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan hanya mengontrol hasil yang ditemukan di daerah.
”Kemungkinan juga akan ada rumah sakit lapangan. Setidaknya Pulau Galang (Batam) akan ditetapkan Presiden menjadi lokasi tersebut yang ditargetkan tiga sampai empat minggu ke depan akan selesai dibuat,” ujarnya.
Saleh berpendapat, berbagai persiapan yang dilakukan pemerintah tidak akan mampu meredam kecemasan masyarakat jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Komunikasi yang salah itu ditunjukkan misalnya saat Menkes menyampaikan agar masyarakat tidak perlu panik menghadapi virus ini karena angka mortalitas (kematian) yang diakibatkan sekitar 2 persen.
(Berapa pun) Angka itu juga warga negara Indonesia yang harus dilindungi. Seharusnya tidak disepelekan dan negara harus tetap melindungi semua warga negaranya. Ini juga termasuk pada anggaran. Sampai saat ini tidak jelas berapa anggaran yang digunakan untuk menanggulangi virus ini.
”(Berapa pun) Angka itu juga warga negara Indonesia yang harus dilindungi. Seharusnya tidak disepelekan dan negara harus tetap melindungi semua warga negaranya. Ini juga termasuk pada anggaran. Sampai saat ini tidak jelas berapa anggaran yang digunakan untuk menanggulangi virus ini,” ujarnya.
Baca juga: Indonesia, Jangan Lagi Santai dalam Menghadapi Virus Korona
Keterbukaan informasi
Informasi yang disampaikan pemerintah pun didorong agar lebih transparan. Jangan ada yang ditutupi terkait seberapa siap pemerintah menghadapi penularan penyakit ini. Warga cukup cerdas membandingkan persiapan negaranya dengan negara lain. Alih-alih menenangkan, informasi yang diterima justru kian membuat warga ragu.
Komunikasi pemerintah yang intensif dan transparan diperlukan untuk menenangkan masyarakat. Publik percaya bahwa pemerintah bisa menanggulangi Covid-19. Jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah harus tegas disikapi. Juga pentingnya langkah khusus, seperti gugus tugas, untuk mempercepat pencegahan dan penanganan penyebaran virus korona yang kini sudah menjadi pandemi.