Para Perempuan dan Pemuda yang Berjuang Menopang Kedaulatan Pangan
›
Para Perempuan dan Pemuda yang...
Iklan
Para Perempuan dan Pemuda yang Berjuang Menopang Kedaulatan Pangan
Sejumlah perempuan dari sejumlah daerah di Nusantara mengembangkan pertanian sebagai kekuatan pangan lokal. Di tengah impor pangan, mereka berjuang membangun kedaulatan pangan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
MASAMBA, KOMPAS —Di tengah ketergantungan terhadap impor pangan, muncul para petani muda dan perempuan di sejumlah daerah di Indonesia yang memperjuangkan kedaulatan pangan. Inisiatif mereka ditularkan kepada para petani lain dalam serangkaian diskusi memperingati Hari Perempuan Internasional di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Acara dibuka dengan seminar nasional tentang kontribusi perempuan dan generasi muda dalam sistem pertanian dan perwujudan hak atas pangan di Kota Masamba, ibu kota Luwu Utara, Rabu (11/3/2020). Acara dipusatkan di Desa Uraso, Kecamaan Mappedeceng, Luwu Utara, pada Kamis, meliputi festival pangan lokal diikuti serangkaian dialog dan berbagi pengalaman antarakademisi, aparat pemerintah, dan para pegiat pertanian dan pangan.
Sejumlah ”perempuan pejuang pangan” dan ”duta petani muda” dari sejumlah daerah dihadirkan untuk memberikan inspirasi. Sejak 2013, Oxfam Indonesia telah memberikan apresiasi kepada 23 perempuan pejuang pangan dari penjuru Nusantara dan bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) telah memilih para duta petani muda sejak 2015.
Pertanian organik
Apni Olivia Naibaho (36), finalis Duta Petani Muda 2016 dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, yang menjadi finalis Duta Petani Muda 2016, menyampaikan upayanya untuk mengembangkan pertanian sayur organik dan hidroponik di kampungnya.
Sebelum memutuskan pulang kampung dan menjadi petani pada 2013, perempuan berpendidikan master ini telah bekerja di Jakarta. Dia kemudian mengajak perempuan lain di kampungnya untuk mengembangkan sayuran organik. Kini, selain memproduksi sayur-mayur organik, Apni juga mengolah aneka sayuran menjadi makanan ringan. Semua produknya dipasarkan secara daring (dalam jaringan).
Suparjiyem, perempuan pejuang pangan pada 2013 dari Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berbagi pengalamannya menggerakkan komunitas untuk memanfaatkan tanaman lokal di daerahnya yang identik dengan kemiskinan dan kekeringan. Dengan inovasi dan keuletan, dia membudidayakan tanaman uwi, gembili, garut, gadung, singkong, ganyong, hingga sorgum dan beragam pangan lain sehingga bernilai ekonomi tinggi.
Sementara Jumiati (39) dari Desa Sei Nagalawan, Perbaungan, Serdangbedagai, Sumatera Utara, menuturkan upayanya mengembangkan mangrove menjadi beragam produk makanan dan minuman. Selain itu, bersama Kelompok Nelayan Perempuan Muara Tanjung yang dipimpinnya, dia sukses menjadikan hutan mangrove yang mereka tanam sejak 2005 sebagai tempat wisata. Awalnya, penanaman mangrove itu dimaksudkan untuk memperbaiki lingkungan pantai yang rusak.
Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani mengharapkan, kedatangan para duta petani muda dan perempuan pejuang pangan ini bisa memberi inspirasi untuk mengembangkan pertanian di daerahnya. ”Sebanyak 75 persen penduduk Luwu Utara merupakan petani dan 54,3 persen pendapatan daerah kami disumbangkan dari sektor pertanian. Karena itu, kami menjadikan pertanian dan petani sebagai salah satu fokus pembangunan, terutama pangan lokal berbasis sagu,” katanya.
Mia Siscawati, pengajar jender dan lingkungan pada Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI), mengatakan, perempuan dan pemuda merupakan kunci kedaulatan pangan di Indonesia. Namun, peran mereka di sektor pangan dan pertanian selama ini dipinggirkan oleh kebijakan pembangunan, terutama di era Orde Baru.
Dia mengajak perempuan dan anak-anak muda untuk lebih aktif dan membangun jaringan untuk menjawab berbagai persoalan pangan ke depan yang semakin kompleks. Selain ketergantungan pada pangan impor yang meningkat, perubahan iklim, pemenuhan pangan juga menghadapi penurunan keragaman hayati.
”Tahun (2019) lalu, lembaga PBB bidang lingkungan hidup (UNEP) telah memperingatkan, satu juta spesies di bumi menuju kepunahan. Hilangnya ragam hayati ini akan berdampak pada sektor pangan,” katanya.
Masyarakat adat di berbagai daerah Indonesia sebenarnya telah mempraktikkan sistem budidaya tanaman dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan menjaga keragaman pangan. Namun, hal itu kemudian dirusak oleh Revolusi Hijau yang mendorong penyeragaman pangan ke beras.