Sudah hampir satu dekade bencana gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan Jepang. Tidak hanya proses rekonstruksi yang belum selesai. Rakyat Jepang pun tertatih-tatih mencoba untuk bangkit lagi.
Oleh
Luki Aulia
·6 menit baca
Ketika Tamiko Abe pertama kali tiba di kota pelabuhan Minamisanriku, pesisir laut Jepang timur, 35 tahun lalu, hal pertama yang membuatnya takjub adalah keindahan Samudra Pasifik. Berbeda dengan kampung halamannya di Yonezawa yang berada di pedalaman. Namun, pemandangan laut nan indah itu pula yang hampir menghancurkan seluruh hidupnya.
Pada 11 Maret 2011, gempa berkekuatan 9 magnitudo menghantam daratan wilayah Tohoku, lokasi Minamisanriku berada, hingga 80 kilometer. Ketika gempa terjadi, Abe tengah bekerja di pinggir pantai. Segera ia lari pulang. Di tengah jalan, ia mendengar tetangga berteriak, ”Lari!” Abe membalikkan badan. Di kejauhan terlihat laut yang semula indah tiba-tiba berubah menjadi ombak tinggi dan gelap.
Abe lari sekencang-kencangnya ke dataran yang lebih tinggi. Di belakangnya ada perempuan tua yang tergulung ombak tsunami. Itu terjadi tepat di depan mata Abe, dan ia tak mampu berbuat apa-apa. Akibat tsunami, rumahnya luluh lantak dan ayah mertuanya meninggal. Usaha perikanan kecil-kecilan yang dibangun bersama suaminya hancur. Di Minamisanriku saja, 600 orang tewas. Daerah itu termasuk yang paling parah di sepanjang pesisir timur.
Kini usaha Abe mulai bangkit meski belum sebesar dulu. Situasi kota pun kembali menggeliat. Jalan-jalan dan dinding laut sudah dibangun lagi, pertokoan kembali normal, dan pusat kota dipindah ke dataran yang lebih tinggi. Kisah Abe itu ditulis di Foreign Policy, 11 Maret 2020.
Seperti Abe, tsunami menjadi pengalaman traumatis bagi Koji Suzuki (64). Ibunya meninggal saat sedang dievakuasi. Ayahnya menyusul beberapa bulan kemudian. Rumah dan tokonya disapu bersih tsunami. ”Saya kehilangan semuanya, kecuali kecintaan saya pada selancar,” kata Suzuki, yang setiap pagi— tidak peduli hujan atau terang—berselancar di pantai Minamisoma, 30 kilometer utara Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi.
Suzuki tidak berani kembali ke rumahnya selama setahun karena khawatir dengan radiasi dari nuklir yang bocor dari PLTN Fukushima Daiichi. Insiden itu merupakan kecelakaan nuklir terparah setelah Chernobyl di Ukraina. Sekitar 160.000 warga dievakuasi karena khawatir terkena radiasi dari bocoran nuklir.
Insiden itu kecelakaan nuklir terparah setelah Chernobyl di Ukraina.
Sembilan tahun setelah bencana tsunami, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe justru ingin menunjukkan bahwa Fukushima telah pulih dengan menyalakan api Olimpiade di Fukushima. Untuk itu, pemerintah mencabut perintah evakuasi di sebagian daerah Futaba.
Namun, Suzuki tidak yakin Fukushima akan pulih seperti dulu. ”Saya tidak akan pernah bisa kembali ke tempat tinggal dan toko saya. Ingatan buruk soal Fukushima tidak akan hilang,” ujarnya.
Meski pemerintah berusaha keras memperbaiki citra Fukushima, krisis nuklir Fukushima belum berakhir. Pemerintah masih bingung apa yang harus dilakukan dengan 1 juta ton air yang terkontaminasi yang disimpan di dalam tangki-tangki di PLTN. Cairan radioaktif dari air pendingin, air tanah, dan hujan yang masuk ke PLTN setiap hari disaring untuk menghilangkan isotop-isotop, kecuali tritium.
Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) menyetujui rencana Jepang membuang air itu ke laut karena hal itu biasa dilakukan di mana pun. Namun, Korea Selatan, tetangga Jepang, mengkhawatirkan keamanan wilayahnya. Apalagi, para nelayan khawatir ikan hasil tangkapan akan terkena radiasi.
Guru Besar di Fukushima University, Hideki Okumoto, yang mengecek tingkat radiasi nuklir di darat menilai bahwa tingkat radiasi sebenarnya sama saja dengan kondisi sebelum terjadi kebocoran. ”Harus dicek terus dan dibuka datanya karena angkanya tidak lebih tinggi dari standar keamanan yang ditentukan,” ujarnya.
Radiasi nuklir
Sembilan tahun setelah tsunami, proses rekonstruksi masih belum selesai, terutama di daerah dekat PLTN Fukushima. Tidak hanya rekonstruksi infrastruktur yang belum selesai. Kehidupan masyarakat Jepang pun belum pulih sepenuhnya. Masih banyak korban yang berusaha membangun kembali hidupnya.
PLTN Fukushima Daiichi masih dalam proses perbaikan. Empat dari enam bangunan tempat reaktor yang rusak parah hampir selesai direkonstruksi. Tiga di antaranya rusak karena ledakan hidrogen.
Siapa pun yang masuk ke ruang kendali harus mengenakan pakaian pelindung, sarung tangan, kaus kaki, sepatu boot, helm, dan masker yang menutupi seluruh wajah. Pakaian ini tidak melindungi badan dari radiasi yang mampu menembus kain, tetapi untuk membatasi masuknya debu radioaktif ke tubuh atau pakaian.
Semua alat kendali buatan tahun 1970-an masih utuh. Semua alat kerja teknisi masih tertinggal. Semua itu ditinggalkan ketika reaktor 1-3 bocor. Bahan bakar cair tetap masih menggenang di dasar reaktor dan selama ini hanya bisa diakses oleh robot. Proses yang rumit akan dilakukan sampai 2021 dan hasilnya baru akan keluar paling tidak pada 2040 atau 2050.
Sementara air tanah dari pegunungan di sekitar kompleks PLTN masuk terus mengalir sehingga cairan radioaktif kian sulit dibendung. Untuk sementara, volume air yang masuk bisa ditekan karena adanya konstruksi ”dinding es” bawah tanah dengan ketebalan 1 meter, panjang 1 kilometer, dan kedalaman 30 meter.
Pompa juga digunakan untuk mengeluarkan air, tetapi tetap saja air hujan dan air yang digunakan untuk mendinginkan reaktor menghasilkan rata-rata 170.000 liter cairan radioaktif tinggi setiap harinya. Air yang terkontaminasi disalurkan melewati sistem penyaringan untuk mengurangi kandungan radioaktif. Sampai saat ini terdapat sekitar 80 persen dari 1 juta meter kubik air yang harus ”dibersihkan”. Meski sudah disaring, air itu masih tetap mengandung tritium yang belum bisa dihilangkan dengan teknologi saat ini.
Kelompok aktivis lingkungan, seperti Greenpeace, menyarankan supaya air itu disimpan saja sampai nanti akan ada teknologi yang bisa betul-betul membersihkan air itu dari kandungan tritium. Namun, saran itu ditolak Pemerintah Jepang. Ada dua pilihan untuk menangani air itu, diuapkan atau dibuang ke laut.
Menurut IAEA, dua pilihan tersebut bisa dilakukan. Namun, para petani dan nelayan keberatan karena khawatir hal itu akan merusak lingkungan sekitar dan memengaruhi kehidupan masyarakat.
Api Olimpiade
Harian Asahi Shimbun, Rabu lalu, menyebutkan bahwa sesulit apa pun pemulihan di Fukushima, pemerintahan Abe tampak berusaha mempercepat prosesnya. Semua demi Olimpiade.
Kota Futaba, yang akan dilewati api Olimpiade, masih sepi karena para penghuninya masih mengungsi ke sejumlah tempat. Pemerintah sudah bersiap membuka kembali kota itu. Namun, menurut survei pemerintah, sebanyak 60 persen warga Futaba tidak mau kembali.
Hal ini karena di Futaba dan kota lain yang berdekatan di mana-mana terlihat tumpukan kantong plastik berisi tanah yang terkontaminasi. Proses rekonstruksi di Futaba baru dimulai sehingga bagi warga setempat tidak mungkin bisa dilalui api Olimpiade.
Wali Kota Futaba Shiro Izawa malah ingin membangun kota yang baru agar banyak warga Futaba yang sebelumnya mengungsi bersedia kembali ke rumahnya di Futaba. Kini lebih banyak warga yang hanya sesekali menengok rumahnya. Mereka hanya ingin bertemu tetangga untuk bernostalgia dan menghadiri upacara tradisional agar tradisi lokal tak ikut tersapu tsunami.(REUTERS/AFP/AP)