Kekerasan di sekolah terus terjadi karena iklim sekolah kerap mendukung terjadinya perilaku itu. Sebagian menganggap kekerasan, terutama perundungan, sebagai hal biasa yang umum terjadi pada anak-anak.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Video perundungan dan pelecehan seksual yang menimpa seorang siswi SMK di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, viral di media sosial baru-baru ini. Pelakunya tiga siswa dan dua siswi di sekolah yang sama. Sebelumnya, Februari 2020 lalu, video tentang seorang guru SMA di Bekasi, Jawa Barat, tengah menampar siswanya yang terlambat juga viral di media sosial.
Dua kasus itu menggambarkan sejumlah kasus kekerasan di sekolah yang terungkap ke publik. Pada 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima 53 pengaduan kasus kekerasan di sekolah. Pada 2020 hingga 3 Maret, ada 8 pengaduan, salah satunya kasus guru menampar siswa tersebut. Pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) lebih banyak lagi, yaitu 153 kasus pada 2019.
Laporan-laporan tersebut hanyalah ibarat puncak gunung es. Lebih banyak kasus kekerasan yang tak terungkap. Mengacu pada riset Plan International dan International Center for Research on Women yang dirilis Maret 2015, sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami berbagai bentuk kekerasan di sekolah. Jika waktu itu jumlah anak usia 6-17 tahun sebanyak 53,23 juta jiwa (Supas, 2015), berarti sekitar 45 juta anak mengalami kekerasan di sekolah.
Untuk kasus perundungan saja, Global Education Monitoring Report 2019 dari UNESCO menyebutkan, 21 persen (sekitar 2,7 juta) anak usia 13-15 tahun di Indonesia terlibat kasus perundungan di lingkungan sekolah pada 2009-2012. Laporan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) tahun 2015 menyebutkan, 40 persen anak Indonesia mengalami perundungan di sekolah.
Tidak ada data pasti, berapa persisnya jumlah kekerasan di sekolah. Namun, jumlahnya masih banyak dan terus terjadi, meski sejumlah aturan dan program dicanangkan pemerintah untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. “Banyak regulasi, tetapi implementasinya kurang dan tidak menyeluruh,” kata Diana Mutiah, dosen Psikologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ketika ditemui Kompas di Tangerang Selatan, awal Maret 2020 lalu.
Secara terpisah, Debrie Pristinella, dosen Psikologi Pendidikan Universitas Katolik Admajaya Jakarta, pun mengatakan, mencegah dan mengatasi kekerasan di sekolah tidak bisa dilakukan hanya dari satu aspek seperti pemberian sanksi kepada pelaku. Selain belum tentu bisa memberikan efek jera bagi pelaku, dan bukan penyelesaian masalah bagi korban, pemberian sanksi ini juga bukan solusi untuk mencegah kekerasan terjadi lagi di sekolah.
Dalam beberapa kasus, bukannya mendapat bantuan, korban justru “tersingkir” dari lingkungannya. Seperti terjadi di salah satu SMA di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, berdasarkan laporan ke Kemdikbud pada 2019, siswi korban perundungan terpaksa pindah sekolah karena sekolah seakan melindungi pelaku. Ketidaktegasan sekolah memproses pelaku perundungan juga terjadi dalam kasus pengeroyokan terhadap siswa di sebuah madrasah tsanawiyah di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Permasalahannya, seringkali guru atau orang dewasa di sekolah tidak menganggap serius kasus kekerasan di sekolah, apalagi jika itu berupa perundungan verbal. Bahkan, kata Spesialis Perlindungan Anak Unicef Perwakilan Indonesia Naning Julianingsih, perundungan dapat diterima secara sosial sebagai hal yang biasa terjadi pada anak-anak. Padahal, bagi korban bisa sebaliknya, mereka bisa merasa tidak diterima secara sosial dan itu bisa menjadi masalah besar.
Tanpa penanganan yang tepat, perundungan dan bentuk kekerasan lainnya di sekolah dapat mengganggu proses belajar pada korban. Dalam beberapa kasus, siswa bisa mogok sekolah. Contohnya, CA (16), siswi SMP di Purworejo, Jawa Tengah (Kompas, 19/2/2020). Ada juga yang kemudian pindah sekolah karena terus mengalami perundungan. Lebih parah lagi, dampak psikologi pada korban jika tidak ditangani dengan baik, bisa berujung bunuh diri. Dari pengaduan yang masuk ke Kemdikbud pada 2019, misalnya, seorang siswi SD di Makassar ingin bunuh diri karena mengalami perundungan.
Kekerasan di sekolah merupakan fenomena yang kompleks dan beragam, terkait kualitas pribadi (kepribadian) siswa, dan kondisi keluarga siswa, dan situasi di sekolah. Pelakunya juga tidak hanya siswa, tetapi juga guru dan orang dewasa lainnya di sekolah. Data KPAI menyebutkan, dari 135 kasus kekerasan di sekolah, 44 persen dilakukan oleh guru.
Dalam konteks ini, kata Debrie, yang bisa dilakukan pihak sekolah adalah membangun iklim yang positif di sekolah dengan melibatkan siswa untuk berperan serta secara aktif. Dengan pola asuh di keluarga yang berbeda-beda, anak membawa kualitas yang berbeda juga ke sekolah. Ada anak yang kemudian cenderung menjadi pelaku kekerasan, ada pula anak yang rentan menjadi korbannya. Iklim sekolah sangat berpengaruh.
“Iklim sekolah yang positif dibentuk dari seberapa besar partisipasi siswa terhadap kebijakan sekolah dalam mencegah kekerasan di sekolah. Ajak siswa untuk mengenal jenis-jenis kekerasan dan mencari solusi untuk mengatasinya, juga membantu temannya yang menjadi korban. Ketika anak-anak semakin terlibat di sini, mereka akan mempunyai tanggung jawab untuk mencegah kekerasan di sekolah. Tentu kebijakan sekolah harus jelas, tegas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dukungan guru terhadap siswa juga harus tinggi,” kata Debrie.
Guru juga harus hati-hati ketika memberikan saksi kepada siswa yang menjadi pelaku kekerasan ataupun siswa yang melanggar aturan sekolah. Ada banyak hal yang harus diperhatikan guru ketika akan memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan juga kepada siswa yang melanggar aturan sekolah, termasuk latar belakang siswa melakukan hal itu.
Baik Debrie maupun Diana mengatakan, tidak perlu keahlian khusus guru untuk untuk memberi sanksi yang tepat itu. “Ya sesuai standar kompetensi guru. Guru juga harus mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan kompetensi sosial,” kata Diana.