Hukuman terhadap Dalang Pembalakan Liar Dipertanyakan
›
Hukuman terhadap Dalang...
Iklan
Hukuman terhadap Dalang Pembalakan Liar Dipertanyakan
Pengamat hukum dan aktivis lingkungan mempertanyakan rendahnya hukuman yang diberikan hakim kepada korporasi dan bos kayu ilegal di Muaro Jambi, Jambi. Jaksa penuntut umum didorong melakukan banding pada putusan hakim.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Pengamat hukum dan aktivis lingkungan mempertanyakan rendahnya hukuman yang diberikan hakim kepada korporasi dan bos kayu ilegal di Muaro Jambi, Jambi. Jaksa penuntut umum didorong melakukan banding pada putusan hakim.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo mempersoalkan pasal yang digunakan penuntut umum untuk menghukum pelaku berdampak minimnya vonis hakim. Sesuai dengan Pasal 83 Ayat (4) huruf b juncto Pasal 109 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hukuman yang dapat diberikan kepada korporasi hanyalah denda. ”Mengapa hanya Pasal 83 Ayat (4) huruf b yang digunakan?” katanya, Sabtu (14/3/2020) .
Padahal, lanjutnya, masih ada pasal-pasal lain yang dapat digunakan untuk memberi hukuman lebih berat sehingga memberi efek jera bagi pelaku.
Masih ada pasal-pasal lain yang dapat digunakan untuk memberi hukuman lebih berat sehingga memberi efek jera bagi pelaku.
Sebagaimana diketahui, Kamis lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengeti, Kabupaten Muaro Jambi, menetapkan vonis denda Rp 5,2 miliar tanpa kurungan kepada PT Tegar Nusantara Indah (TNI) yang diwakili Ripin. Hakim menyebut terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 83 Ayat (4) huruf b jo Pasal 109 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Atas putusan itu, jaksa menyatakan pikir-pikir.
Kasus itu mencuat saat Ripin ditangkap di rumahnya di Jambi, Oktober 2019. Penangkapan dia terkait dengan temuan pengangkutan hasil kayu ilegal yang berawal dari ditangkapnya sopir pengangkut kayu ilegal yang tengah memasok ke PT Tegar Nusantara Indah (TNI), perusahaan milik Ripin.
Ripin juga diketahui sebagai pemegang konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) PT PBP yang menjadi lokasi pembalakan liar tersebut. Aparat mendapati Ripin sebagai dalang dari semua aktivitas kayu ilegal tersebut.
Dalam penelusuran, Kompas mendapati ada perubahan pasal dari proses penyidikan ke penuntutan. Dalam penyidikan, pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku adalah Pasal 88. Dengan pasal tersebut, dalang kayu ilegal dapat divonis tak hanya denda, tetapi juga kurungan.
Dua jenis sanksi pidana yang akan dikenai kepada pelaku adalah penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 Tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar.
Dalam penelusuran pada laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Sengeti, vonis tersebut sama dengan isi tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam tuntutan yang dibacakan pada sidang 27 Februari 2020, jaksa menyatakan bahwa terdakwa PT TNI yang diwakili Ripin terbukti sah bersalah ”mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan”. Namun, jaksa menuntut terdakwa tanpa vonis kurungan, tetapi hanyapidana denda sebesar Rp 5,25 miliar.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi Helmi menyesalkan vonis denda tanpa kurungan. Menurut dia, masyarakat yang merasa dirugikan oleh aktivitas pembalakan liar di sana bisa melaporkan perihal vonis tersebut kepada Komisi Yudisial.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan (YLBHL) Jaya Nofyandri pun mendorong agar jaksa selaku penuntut mengajukan upaya hukum banding. ”Dan meminta hakim pengadilan tinggi menjatuhkan sanksi pidana yang lebih berat berupa kurungan kepada pengurus korporasi,” katanya.
Menurut Jaya, meski hakim menyatakan terbukti bersalah, vonis yang ditetapkan kepada terdakwa telah menyalahi ketentuan hukum. Penegak hukum semestinya mengoptimalkan pengenaan pidana kepada korporasi agar memberi efek jera yang kuat.
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi Lexi Fatharani membenarkan bahwa tuntutan dari jaksa memang berupa denda saja sebesar Rp 5,25 miliar. Sementara tuntutan pidana kurungan tidak diberikan. Pihaknya beralasan, penerapan hukuman kepada korporasi diberikan berupa denda.