Kepincut Memagut Bunut
Di balik gurihnya semangkuk bubur ayam bunut, terekam rentang jejak kerja keras selama lebih dari empat dasawarsa. Usaha turun-temurun itu bermula dari pikulan, gerobak, hingga kini rumah makan.
Di balik gurihnya semangkuk bubur ayam bunut, terekam rentang jejak kerja keras selama lebih dari empat dasawarsa. Usaha turun-temurun itu bermula dari pikulan, gerobak, hingga kini rumah makan.
Plang hitam dengan tulisan Pusat Bubur Ayam Bunut berwarna merah menyambut pengunjung. Selepas gerbang, terlihat sejumlah tamu duduk dan berlesehan di rumah makan itu, Kamis (16/1/2020). Angin sepoi-sepoi pada siang yang teduh membuat tubuh rileks.
Sejuknya Kota Sukabumi terasa hangat ditemani teh rempah, susu murni, dan kopi hitam. Elemen bambu yang menjadi bagian dari dinding, pilar, dan atap menguatkan nuansa Bumi Parahyangan. Bangunan seluas 300 meter persegi itu terletak di Jalan Siliwangi, Kota Sukabumi, Jawa Barat.
Pramusaji dengan sigap mengantar menu dan mencatat pesanan. Seraya menunggu, alunan instrumentalia menemani tamu-tamu yang bersenda gurau. Sekitar 5 menit kemudian, bubur yang dihidangkan dengan segelas teh hangat sudah siap dinikmati. Bubur tidak terlalu padat, tetapi juga tak terlampau encer.
Terdapat enam pilihan bubur bunut, yaitu spesial, hati, ampela, biasa, bayi, dan polos. Jika bubur bunut spesial yang dipesan, santapan itu bercampur ayam suwir, hati dan ampela, seledri, bawang goreng, merica, serta kuning telur. Bubur semakin sedap dengan renyahnya potongan emping dan kerupuk.
Tamu juga bisa menambah emping atau kerupuk dengan memesannya seporsi lagi. Di setiap meja tersedia pula semangkuk kecil sambal berupa saus kacang dengan pedas yang menyengat dan sedikit manis. Jeroan, kulit, dan brutu bisa pula diorder.
Sajian favorit untuk dikonsumsi dengan bubur adalah kroket. Kulit kroket tercecap garing, namun dengan isian bihun yang lembut. Meski tak lazim, banyak tamu suka makan bubur dengan kroket. Aneka masakan pendamping lain juga bisa dipesan, seperti omelette, dimsum, dan ayam goreng.
Tak hanya bubur, pengunjung bisa pula memesan roti bakar spesial, nasi goreng, sop buntut, tomyam, mi kocok, cah kangkung, oseng toge jambal pete, udang asam manis, dan karedok.
Harga menu ini juga relatif terjangkau. Bubur bunut spesial, misalnya, dijual seharga Rp 20.000 per porsi, biasa Rp 18.000 per porsi, dan polos Rp 10.000 per porsi. Sepotong kroket harganya Rp 2.000 dan omelette Rp 20.000. Sementara, harga segelas teh rempah Rp 10.000, susu murni Rp 12.000, dan kopi hitam Rp 18.000.
Dengan pikulan
Bubur ayam bunut bermula ketika To’i, pedagang beras yang mencoba peruntungannya dengan menyambi berjualan bubur pada tahun 1979. ”Kakek saya, To’i, bikin olahan beras. Daripada ada beras yang enggak laku. Ia berkeliling gang-gang dengan pikulan,” kata pengelola bubur bunut Robby Fahamsyah (38).
Sejak tahun 1981, To’i mengais rezeki membidik konsumen di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bunut yang kini bernama R Syamsudin. Taraf berdagang bubur terus meningkat hingga To’i bisa menjajakannya dengan gerobak. Bubur dipilih karena makanan itu kerap dicari orang sakit.
Seiring kian larisnya bubur, To’i pun berhenti berdagang beras. Dikejar-kejar satuan polisi pamong praja menjadi pengalaman paling tak mengenakkan. ”Boleh jualan atau enggak juga tergantung pimpinan rumah sakit. Pimpinannya ganti-ganti,” kata Robby.
Setelah lima tahun hingga 1990, gerobak itu dilarang mangkal di sekitar RSUD R Syamsudin sama sekali. Bubur bunut lalu pindah ke tanah kosong dan dijual di bangunan semipermanen dari bambu di Jalan Siliwangi. Seorang pelanggan berbaik hati menyediakan lahan tersebut.
”Lagi-lagi, kami harus putar otak waktu lahan itu beralih kepemilikan tahun 2000. Kami enggak boleh jualan dan pindah lagi tak jauh dari situ,” ucap Robby. Bubur bunut menempati kontrakan. Pembeli kian ramai sehingga pemilik bangunan menaikkan tarif kontrak setiap tahun.
”Saya berpikir bubur bunut harus punya tempat sendiri. Ya sudah, ambil kredit. Syukurlah, disetujui bank,” kata Robby. Ia membeli bangunan di Kelurahan Cikole, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi. Properti dengan luas lahan 560 meter persegi itu ditempati sampai sekarang.
Rumah makan yang buka pukul 06.00-22.00 itu bisa menampung sekitar 100 pengunjung. Setiap hari kerja, 200-300 porsi bubur bunut terjual. Saat akhir pekan, jumlah itu meningkat dua kali lipat. Beras yang digunakan setiap hari sekitar 25 kilogram.
”Gurihnya bubur karena dimasak dengan kaldu ayam murni. Enggak pakai garam. Rasa bubur enggak beda sejak dulu. Hanya kualitas bahan bakunya ditingkatkan,” ujar Robby. Konsumen berdatangan dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Saat liburan panjang, konsumen yang jauh dari Papua dan Aceh juga singgah.
Jembatan Situgunung
Seusai mencicipi bubur bunut, pengunjung bisa bertamasya ke tujuan wisata setempat yang tengah naik daun di Sukabumi.
”Banyak tamu berangkat pagi-pagi, dari Jakarta naik kereta, makan bubur bunut, lalu piknik ke jembatan gantung Situgunung,” kata Robby. Perjalanan dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta, misalnya, bisa ditempuh dengan kereta rel listrik yang berangkat sekitar pukul 05.45 menuju Bogor.
Setibanya di tujuan, penumpang berjalan kaki 10 menit menuju Stasiun Bogor Paledang untuk berangkat pukul 07.50 ke Sukabumi dengan lama perjalanan sekitar dua jam. Jarak dari Stasiun Sukabumi ke bubur bunut hanya sekitar 2 kilometer.
Setelah sarapan, pengunjung lantas melancong ke Situgunung, jembatan gantung terpanjang di Indonesia yang digandrungi wisatawan belakangan ini. Jembatan itu berjarak sekitar 15 kilometer dari bubur bunut. Mereka kembali ke Bogor dengan kereta terakhir yang bertolak dari Stasiun Sukabumi pukul 15.45.
Hartanto Bisma (42) sudah menggemari bubur bunut sejak tahun 1998. Bagi warga Jakarta itu, bubur bunut tanpa lauk saja sudah gurih. ”Buburnya nikmat. Kalau kroket, rasanya mantap. Selalu panas karena baru matang, tetapi sering habis,” ujarnya.
Diar Wahyundarta (42) singgah ke Bubur Bunut, Minggu, akhir tahun 2019. Saat ia tiba sekitar pukul 10.30, bubur spesial, hati, dan ampela sudah tak tersedia. ”Kroket juga sudah habis. Saya pesan bubur biasa, tetapi enak. Tetap kepincut waktu memagut bunut,” katanya sambil tertawa.
Setelah menghabiskan bubur bunut, warga Jakarta itu juga menikmati kunjungannya di Sukabumi dengan berwisata ke Situgunung. ”Saya pulang lagi dengan kereta yang berangkat pada sore hari. Sempat, asal waktunya benar-benar diperhitungkan,” ujarnya.
Lalu lintas menuju Situgunung dan kembali ke Kota Sukabumi bisa sangat padat pada hari libur. Wisatawan harus disiplin soal waktu. ”Sekiranya di tengah perjalanan tak yakin bisa mengejar kereta, saya pasti putar balik. Kalau hari kerja biasanya aman karena lebih sepi,” ucapnya.