Perusahaan Diingatkan Tak Kejar Keuntungan Jangka Pendek
›
Perusahaan Diingatkan Tak...
Iklan
Perusahaan Diingatkan Tak Kejar Keuntungan Jangka Pendek
Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia di perusahaan sangat vital untuk dapat menaikkan daya saing dan produktivitas. Sayangnya, hanya sedikit perusahaan yang memberi perhatian dalam hal sumber daya manusia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengingatkan agar perusahaan di Indonesia tak semata mengejar keuntungan jangka pendek. Investasi jangka panjang dalam hal pengembangan sumber daya manusia pegawai tak boleh diabaikan. Tanpa investasi pengembangan sumber daya manusia, produktivitas nasional menurun dan kurang kompetitif.
Demikian petikan pidato kunci Ida, melalui siaran pers, di acara Kolaborasi Praktisi Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Unggul, Sabtu (14/3/2020), di Bekasi, Jawa Barat. Selain penyelenggaraan diskusi, di acara tersebut digelar sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 Tahun 2019 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Penyelenggaraan Kegiatan, Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu.
”Inilah yang terjadi di Indonesia. Hanya 10 persen perusahaan yang berinvestasi mengembangkan sumber daya manusia lewat pelatihan. Saya asumsikan sisanya 90 persen perusahaan hanya berorientasi investasi jangka pendek semata,” kata Ida.
Lantaran mengejar keuntungan jangka pendek, kata Ida, perusahaan lupa berinvestasi dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Akibatnya, produk perusahaan kalah bersaing dan produktivitas nasional rendah. Menurut dia, ekosistem yang tak kondusif semacam itu harus diputus.
”Caranya? Dengan merangkul perusahaan agar mau berinvestasi menyelenggarakan pelatihan secara sukarela atau terpaksa,” ujar Ida.
Menurut Ida, dengan cara sukarela, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa PP No 45/2019 dan PMK No 128/2019 bagi perusahaan yang aktif menggelar pelatihan atau pemagangan. Dengan aturan itu, perusahaan berhak mendapat insentif berupa pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari biaya yang dikeluarkan.
”Adapun dengan cara terpaksa, pemerintah dapat menarik uang dari perusahaan secara paksa dan perusahaan tersebut hanya bisa memanfaatkan uang tersebut untuk pembiayaan pelatihan,” kata Ida.
Ida, mengutip data survey World Bank Enterprise, perusahaan Indonesia yang rutin menyelenggarakan pelatihan formal kurang dari 10 persen. Di Vietnam terdapat 20 persen perusahaan yang menggelar pelatihan formal, sedangkan di Filipina mencapai 60 persen dan China sebesar 80 persen.
Ia mengungkapkan bahwa alasan rendahnya perusahaan Indonesia yang bersedia menggelar pelatihan disebabkan biaya perekrutan pegawai yang tinggi hingga upah minimum yang memberatkan.
Sebelumnya, dalam diskusi tentang menyongsong Indonesia Emas di 2045 yang diselenggarakan harian Kompas, Kamis (12/3/2020), di Jakarta, pengajar ekonomi dan bisnis pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Emil Salim, mengatakan, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi adalah kunci mewujudkan Indonesia maju di 2045.
Sayangnya, menurut Emil, kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh tertinggal. Dari 70 negara yang diteliti Programme for International Student Assesment (PISA) pada 2015 dan 2018 dalam hal literasi, Indonesia menduduki peringkat ke-62 atau tergolong rendah.
”Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih tertinggal yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Bagaimana cara menaikkan produktivitas? Caranya lewat pendidikan. Anak-anak muda Indonesia, seperti halnya China di masa lalu, bisa dikirim ke luar negeri untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju,” kata Emil.
Tentang pemanfaatan teknologi digital, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara, bisa menjadi salah satu jalan menaikkan produktivitas tersebut. Apalagi, mulai sekarang dan di masa mendatang, teknologi semakin vital dalam berbagai sendi kehidupan, seperti pemanfaatan big data, komputasi awan, dan kecerdasan buatan. Sampai 2030, Indonesia setidaknya memerlukan 9 juta orang yang memiliki bakat digital (digital talent).
”Peran pemerintah adalah bagaimana proses (pemanfaatan teknologi digital) tersebut bisa dipercepat. Masalah-masalah perizinan, misalnya, harus bisa dipercepat dengan teknologi digital,” ujar Rudiantara.