Kinerja neraca perdagangan saat ini dipengaruhi dampak Covid-19 terhadap perekonomian. Ekspor tumbuh namun kenaikannya tidak terlalu besar.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja neraca perdagangan sepanjang Januari-Februari 2020 surplus sebesar 1,69 miliar dollar AS. Kondisi surplus ini dinilai bersifat sementara karena menipisnya stok produksi di tataran industri akan memengaruhi kinerja ekspor.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor sepanjang Januari-Februari 2020 sebesar 27,56 miliar dollar AS atau tumbuh sekitar 4,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Di sisi lain, nilai impor Indonesia turun 4,95 persen secara tahunan menjadi 25,87 miliar dollar AS.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti mengatakan, kinerja neraca perdagangan saat ini dipengaruhi dampak Covid-19 terhadap perekonomian. ”Ekspor tumbuh tetapi kenaikannya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya,” katanya dalam konferensi pers dalam jaringan (online) dari kantor BPS, Jakarta, Senin (16/3/2020).
Berdasarkan sektor, pada dua bulan pertama 2020, ekspor industri pengolahan meningkat 10,93 persen menjadi 21,76 miliar dollar AS. Sektor tersebut memiliki andil sebesar 78,92 persen terhadap total ekspor nasional.
Namun, pada periode yang sama, impor bahan baku/penolong turun 4,8 persen dari tahun sebelumnya menjadi 19,46 miliar dollar AS. Impor barang modal juga merosot 10,64 persen menjadi 4,06 miliar dollar AS.
Kinerja neraca perdagangan saat ini dipengaruhi dampak Covid-19 terhadap perekonomian. Ekspor tumbuh namun kenaikannya tidak terlalu besar.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani mengatakan, kinerja neraca perdagangan mengonfirmasi adanya disrupsi suplai di China. Hal itu berpengaruh pada kelancaran impor ke Indonesia yang berdampak pada berkurangnya pasokan dalam negeri.
”Kondisi ini belum memengaruhi kinerja ekspor karena produksi masih berjalan pada Februari dengan mengandalkan suplai (bahan baku) yang ada. Oleh sebab itu, kondisi ini (surplus dan pertumbuhan ekspor) bersifat sementara,” tuturnya.
Shinta memperkirakan, kinerja ekspor pada Maret 2020 ini akan anjlok. Potensi anjlok itu terjadi karena sangat terbatasnya bahan baku dan penolong pendukung produksi manufaktur yang berorientasi ekspor.
”Kondisi perdagangan ini patut diwaspadai. Apalagi, industri mesti mempersiapkan bahan baku dan penolong dari sekarang untuk April, awal mula periode Ramadhan-Lebaran 2020, yang menjadi masa peningkatan konsumsi dalam negeri,” katanya.
Kondisi perdagangan ini patut diwaspadai. Apalagi, industri mesti mempersiapkan bahan baku dan penolong dari sekarang untuk April, awal mula periode Ramadhan-Lebaran 2020.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus berpendapat serupa. Pertumbuhan ekspor pada Januari-Februari 2020 bersifat sementara.
Ketidakpastian perekonomian global masih berpotensi menekan kinerja neraca perdagangan global, termasuk Indonesia. Merosotnya kinerja impor pada neraca perdagangan nasional itu menjadi sinyal penurunan permintaan industri terhadap bahan baku.
”Menurut perhitungan saya, perdagangan dunia akan menurun 8 persen pada 2020 dan dampak terhadap Indonesia cukup besar, di mana ekspornya berpotensi anjlok 6,8 persen,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian perekonomian global akibat merebaknya wabah Covid-19, Kementerian Perdagangan tidak merevisi target ekspor nonmigas tahun ini. Target itu tetap mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu diharapkan tumbuh 5,2-9,8 persen.
Dalam rentang waktu tersebut, surplus neraca perdagangan ditargetkan tumbuh bertahap dari 300 juta dollar AS pada 2020 menjadi 15 miliar dollar AS pada 2024. Nilai ekspor nonmigas pada 2020 ditargetkan 175,9 dollar AS dengan impor nommigas 175,6 dollar AS.
Di tengah kondisi itu, Ahmad mengusulkan agar pemerintah dan pelaku industri perlu memetakan negara-negara mitra dagang alternatif yang mampu menyediakan bahan baku/penolong bagi Indonesia. Bahan baku/penolong dari negara alternatif itu mesti kompetitif dan sesuai dengan kebutuhan Indonesia.
Belum beralih
Sinyal kebutuhan peralihan negara sumber bahan baku/penolong untuk menggantikan China sudah muncul sejak Januari-Februari 2020. Namun, Yunita menilai peralihan itu belum tercermin dari kinerja neraca perdagangan Februari 2020.
Shinta berpendapat, pelaku industri sulit memprediksi peralihan perdagangan karena mesti memperhatikan aspek standar, kualitas, dan kuantitas produk yang dibutuhkan. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan kondisi kelancaran logistik dan administrasi perdagangan di negara alternatif itu.
”Semakin banyak negara yang memberlakukan lockdown (penghentian semua aktivitas), kelancaran arus barang akan terdampak,” ujarnya.
Shinta memperkirakan, belum ada peningkatan impor substitusi secara agregat terhadap produk-produk dari China karena sulit mencari negara yang menjadi sumber alternatif. Hal ini dapat berdampak pada penurunan kinerja produksi perindustrian selama 1-2 bulan ke depan.