Nasib Buruh di antara Korona dan ”Omnibus Law”
Pandemi Covid-19 menambah kecemasan buruh. Padahal, mereka juga selama ini sedang berjuang melawan ”omnibus law” dari pemerintah yang dinilai tidak memihak kepada nasib buruh.
Merebaknya virus korona baru SARS-CoV-2 menambah kekhawatiran buruh pada saat mereka baru menabuh genderang perang menghadapi omnibus law. Kecemasan kian memuncak karena sebagian buruh terancam dirumahkan hingga pemutusan hubungan kerja akibat sulitnya perusahaan mendapatkan pasokan bahan baku di tengah pandemi Covid-19.
Pada Jumat (14/3/2020), di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, sejumlah karyawan perusahaan yang bergerak di bidang otomotif baru selesai bekerja, duduk berkelompok sembari menyeruput kopi, menikmati makanan dari para pedagang kecil di sekitar kawasan industri itu. Pembicaraan mereka seputar nasib buruh yang diselimuti kecemasan di tengah merebaknya virus korona dan omnibus law.
Kebijakan pemerintah menanggung Pajak Penghasilan (Pph 21) untuk karyawan sehingga menerima gaji penuh diapresiasi. Stimulus itu diberikan pemerintah pusat dengan tujuan memperkuat daya beli dan mendorong sisi suplai dan permintaan. Namun, ada kekhawatiran lain, bagaimana nasib buruh jika dalam situasi tertentu karyawan dirumahkan atau hubungan kerja diputus perusahaan karena tidak tersedianya bahan baku produksi.
Ivan (36), salah satu karyawan perusahaan otomotif di Kawasan Industri Jababeka, yang sudah 10 tahun bekerja, mengaku selama ini belum berpikir menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menabung. Penghasilannya sebesar Rp 6 juta per bulan sebagian digunakan untuk mencicil tagihan pembelian rumah di Cibitung, Kabupaten Bekasi.
”Saya kredit rumah komersial karena kalau rumah subsidi hanya untuk mereka yang gajinya di bawah Rp 5 juta. Setiap bulan, cicilan rumah saya Rp 2 juta,” kata lelaki dua anak itu.
Segala kebutuhan rumah tangga juga bergantung dari penghasilannya sebagai buruh pabrik. Sebab, sejak istrinya melahirkan anak kedua mereka pada 2017, mereka memutuskan istrinya mengurus anak-anaknya di rumah.
Baca juga: Gubernur Anies: Belum Diketahui Angka Pasti Dokter dan Perawat di DKI yang Tertular Covid-19
Lelaki asal Cibitung itu juga sedang mempersiapkan segala kebutuhan anak keduanya untuk mulai belajar di tingkat pendidikan anak usia dini pada Juni mendatang. ”Kalau anak pertama saya sudah kelas IV sekolah dasar (SD). Saya harapannya hanya dari gaji, jadi semoga Covid-19 tidak pengaruhi produksi perusahaan kami,” katanya.
Sementara itu, Riki AM (40) yang juga bekerja di perusahan itu mengatakan, buruh Kabupaten Bekasi tidak siap jika sewaktu-waktu karyawan dirumahkan atau hubungan kerja diputus karena wabah Covid-19. Sebab, di Kabupaten Bekasi, hingga saat ini belum ada penetapan upah minimum sektoral untuk menjamin kehidupan layak bagi buruh.
”Untuk kebutuhan kami sehari-hari saja belum cukup. Kalau dirumahkan, kami sama sekali tidak siap,” katanya.
Menurut Riki, dampak Covid-19 merupakan momentum bagi pemerintah untuk menata kebijakan impor di Indonesia. Sebab, dia menilai bahan baku produksi industri manufaktur sangat tergantung pada negara luar. Di perusahaan dia bekerja, saat ini ada sejumlah bahan baku produksi yang diimpor dari Korea Selatan sejak dua minggu lalu belum kunjung tiba.
Kekhawatiran buruh tak hanya soal Covid-19 sebab buruh juga kini sedang berjuang mendesak pemerintah menghapus omnibus law cipta kerja. Omnibus law dinilai sama sekali tidak berpihak pada nasib buruh sehingga dikhawatirkan mereduksi hak-hak pekerja, seperti jaminan sosial, pengupahan, dan hubungan industrial.
Baca juga: Perusahaan Diingatkan Tak Kejar Keuntungan Jangka Pendek
”Kami sedang berjuang, nanti 18 Maret 2020 seluruh buruh Jawa Barat akan menggelar aksi (demonstrasi) di Bandung. Kemudian, setelah itu, kami akan lakukan aksi di Kabupaten Bekasi,” kata Riki.
Berjarak dua kilometer dari perusahan otomotif itu, kekhawatiran serupa juga dialami sejumlah karyawan perusahan yang bekerja di perusahaan elektronik. Pandemi Covid-19 mulai memengaruhi jam kerja mereka.
”Sudah dua minggu, jatah lembur kami dikurangi. Saya satu bulan biasanya digaji lebih dari Rp 10 juta. Tetapi, karena lembur dihilangkan, bulan depan mungkin di bawah Rp 10 juta,” kata Raiza (40), karyawan asal Jakarta itu.
Sudah dua minggu, jatah lembur kami dikurangi. Saya satu bulan biasanya digaji lebih dari Rp 10 juta. Tetapi, karena lembur dihilangkan, bulan depan mungkin di bawah Rp 10 juta.
Baca juga: Stimulus PPh 21 Tidak Akan Bermanfaat jika Pekerja Dirumahkan
Sebelum Covid-19 berdampak ke perusahannya, Raiza biasanya hanya pulang dan berkumpul bersama keluarga setiap minggu. Selama ini, ia memilih menyewa kontrakan untuk tinggal tak jauh dari tempat ia bekerja. Namun, sejak minggu lalu, ia memutuskan berangkat kerja dari Jakarta untuk mengurangi pengeluaran sewa kontrakan.
Anggota Komisi IX DPR RI, Obon Tabroni, mengatakan, ancaman bagi buruh tak hanya soal kegiatan produksi perusahan yang mulai terganggu. Sebab, buruh juga rentan tertular virus korona baru Covid-19. ”Upaya pemerintah menanggung Pajak Penghasilan buruh sudah tepat. Tetapi, buruh juga rentan terhadap penularan Covid-19,” kata anggota DPR Fraksi Partai Gerindra itu.
Ia mengatakan belum seluruh buruh mendapat perlindungan kerja dalam mencegah penularan Covid-19. Padahal, banyak buruh yang bekerja di kawasan perusahan dengan kondisi ruangan tertutup.
Batasi ”shift” kerja
Dari data UN Comtrade, China adalah eksportir komoditas elektronik terbesar di Indonesia. Nilai ekspor barang elektronik China pada 2018 sebesar 10,01 miliar dollar AS atau setara Rp 140 triliun. Suplai dari China memakan porsi 46,9 persen dari impor barang elektronik yang masuk ke Indonesia.
Kemunculan pandemi Covid-19 sejak akhir Desember 2019 mengganggu rantai pasokan barang teknologi dan elektronik dunia. Sejumlah perusahaan manufaktur elektronik di China belum berproduksi penuh pasca-libur pada akhir Januari lalu. Beberapa pemerintah daerah di China memerintahkan perusahaan menutup pabrik hingga awal Maret.
Baca juga: Menyelamatkan Manusia
Situasi ini mengganggu aktivitas produksi sejumlah perusahan manufaktur yang bergerak di bidang elektronik di Kabupaten Bekasi. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Bekasi Sutomo mengatakan, ada sekitar 5.300 industri manufaktur yang beroperasi di Kabupaten Bekasi.
”Yang sudah mulai down itu elektronik, artinya sudah masuk kategori lampu merah. Sebab spareparts yang diproduksi di sini banyak dari China. Kemudian otomotif tidak terlalu fatal, tetapi sudah mulai mencari alternatif lain, terutama pasokan untuk body part yang selama ini diimpor dari China,” katanya, Minggu (15/3/2020), di Kabupaten Bekasi.
Ia menambahkan, perusahan manufaktur yang menjalankan kegiatan usaha di Kabupaten Bekasi berharap cemas sampai kapan pandemi Covid-19 berakhir sebab persediaan material produksi terus menipis.
”Sudah banyak perusahaan yang menurunkan produksinya. Ada perusahaan yang shift kerjanya tadi tiga, sekarang menjadi dua shift kerja,” katanya.
Sudah banyak perusahaan yang menurunkan produksinya. Ada perusahaan yang shift kerjanya tadi tiga, sekarang menjadi dua shift kerja.
Baca juga: Covid-19 Ganggu Rantai Pasokan Barang Teknologi dari China
Perusahaan elektronik, kata Sutomo, paling kesulitan mendapatkan bahan baku produksi karena bahan bakunya hanya ada di China. Sementara perusahaan otomotif beralih mencari suku cadangdari negara lain, seperti Jepang dan Eropa.
Kawasan Industri Kabupaten Bekasi juga berperan penting dalam menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Data Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Bekasi menyebutkan, realisasi investasi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri di Kabupaten Bekasi pada industri manufaktur di kuartal IV atau periode Oktober-Desember 2019 mencapai Rp 10,94 triliun. Realisasi investasi itu berdampak pada serapan tenaga kerja di Kabupaten Bekasi di kuartal IV yang mencapai 4.672 orang.
Realisasi investasi dan serapan tenaga kerja Kabupaten Bekasi menempatkan kabupaten itu sebagai peringkat satu realisasi investasi tertinggi di Jawa Barat. Kabupaten dengan realisasi investasi tertinggi kedua di Jawa Barat ditempati Kabupaten Karawang dengan total realisasi investasi sebesar Rp 6,98 triliun.
Kabupaten Bekasi berperan penting terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat di kuartal IV-2019 menduduki peringkat satu nasional realisasi investasi mencapai Rp 34,5 triliun. Sementara DKI Jakarta berada di peringkat kedua dengan total realisasi investasi mencapai 28,3 triliun.
Baca juga: Virus Korona Mengguncang Sektor Teknologi