Saat Masyarakat Menunggu Keterbukaan Itu
Penyebaran wabah Covid-19 dinili tak hanya mencemaskan, tetapi juga menakutkan. Apalagi jika penanganan dan penyampaian informasi tak lengkap dan jelas. Alih-alih mencegah, tetapi justru malah menyebar.
Ternyata pasien korona yang meninggal itu di rumah sakit X (menyebutkan nama rumah sakit di Kota Bogor, Jawa Barat) meskipun ada juga yang sembuh dari virus yang mematikan itu: coronavirus disease 2019 atau Covid-19.
Agatha (36), seorang karyawan swasta, menyampaikan informasi yang diperolehnya dari grup-grup media sosial terkait penyebaran virus korona jenis baru, SARS-COV-2. Kendati tak terkonfirmasi, tak pelak kekhawatiran melingkupi.
Agatha mau tak mau mengandalkan informasi yang beredar tersebut untuk meningkatkan kewaspadaannya. Dia mulai menghindari keramaian. Namun, dia juga khawatir karena harus menjenguk temannya di rumah sakit yang disebutnya tadi. ”Aku jadi takut, tapi memang enggak ada info lagi dari pemerintah. Perawat dan dokternya sudah diisolasi belum ya, kan baru merawat pasien korona,” ujarnya.
Aku jadi takut, tapi memang enggak ada info lagi dari pemerintah. Perawat dan dokternya sudah diisolasi belum ya, kan baru merawat pasien korona.
Informasi-informasi serupa itu marak beredar mengisi kekosongan informasi yang disampaikan pemerintah sebagai pemegang otoritas. Kendati ada juru bicara khusus untuk masalah penyebaran Covid-19 yang memberikan keterangan satu atau dua kali sehari, informasi yang disampaikan pemerintah sangat terbatas. Umumnya dinilai hanya pertambahan pasien positif Covid dengan sedikit data usia, jenis kelamin, serta pasien yang sembuh.
Baca juga: Pasien Indonesia Terinfeksi Virus Korona Bertambah
Keterangan mengenai si sakit terinfeksi dari mana, berada di mana saja dalam kurun waktu dua pekan, dan tinggal di wilayah mana semestinya masih bisa diakses publik. Ketika ditanyakan mengapa Indonesia tidak menyampaikan informasi penyebaran Covid-19 seperti yang dilakukan negara-negara lain, Jumat (13/3/2020), Presiden Joko Widodo mengatakan memperhitungkan keresahan di masyarakat dan efek terhadap pasien setelah sembuh.
”Policy setiap negara berbeda-beda, tetapi setiap ada kluster baru, tim reaksi cepat akan langsung memagari,” ujarnya dalam keterangan pers di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Kendati Indonesia memiliki kebijakan sendiri, sesungguhnya aturan perundangan Indonesia telah menegaskan keterbukaan pada penyebaran penyakit menular. Dalam pasal 154 dan 155 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara tegas disampaikan pemerintah dan pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. Di Indonesia, pemerintah malah menutupi keterangan yang sangat diperlukan warga untuk membangun kewaspadaan itu.
Akhirnya, masyarakat semakin panik ketika korban meninggal mulai berjatuhan. Informasi berseliweran tak menentu. Ketidaksiapan pemerintah menangani penyebaran penyakit akibat virus korona jenis baru ini semakin tampak ketika banyak warga dengan gejala demam, flu, dan batuk yang meminta untuk mendapatkan tes cepat korona, tetapi ditolak di rumah sakit. Padahal mereka baru pulang dari luar negeri atau berinteraksi dengan pasien positif korona.
Pengajar Ilmu Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai, ketidakterbukaan ini memang membuat masyarakat tidak bisa bersiap-siap dan akhirnya panik. Masalahnya, pemerintah sudah membuang waktu dengan tidak mempersiapkan kondisi-kondisi terburuk. Akibatnya, pemerintah tampak gagap menangani wabah yang dengan cepat terus menambah jumlah yang terinfeksi.
Di sisi lain, masyarakat menambal kekurangan informasi dengan mencari di media sosial dan media daring lainnya. Klarifikasi benar salah menjadi sulit. Kendati demikian, menurut Hendri yang juga pendiri Lembaga Survei KedaiKopi ini, dalam survei KedaiKopi pada 483 responden dengan tingkat kesalahan +-4,46 persen pada 3-4 Maret 2019, sebanyak 66 persen responden masih memercayai pemerintah. Namun, hanya 50 persen yang meyakini apabila fasilitas kesehatan di daerahnya memadai untuk menangani wabah Covid-19.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Hendri, semestinya pemerintah bukan hanya berpesan supaya warga menjaga kesehatan, tetapi juga apa yang harus dilakukan apabila ada anggota keluarga yang mengalami gejala seperti Covid-19. Kalaupun ruang isolasi di rumah sakit kurang dan warga diminta menerapkan isolasi mandiri, apa sesungguhnya isolasi mandiri itu.
Demikian juga dengan lockdown, semestinya pemerintah memahami dan mampu menjelaskan apa sesungguhnya fungsi lockdown? Dengan demikian, rumah-rumah sakit yang menangani pasien, terduga, ataupun orang dalam pemantauan Covid-19 tak perlu merasa kewalahan.
Pengajar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, menilai, semua ini menunjukkan pemerintah kurang memiliki konsep penanganan yang berbasis analisis yang kuat untuk memetakan instrumen kebijakan apa yang relevan. Akhirnya, setiap sektor membuat kebijakan parsial, reaktif, dan tidak terkoordinasi.
Baca juga : RSUP Sanglah Unjuk Kesiapan Tangani Kasus Infeksi Virus Korona
Namun, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menampiknya. Dalam keterangan kepada wartawan, Senin (16/3/2020), di Jakarta, mengakui diperlukan tenaga sosialisasi yang bisa menyampaikan pesan sampai ke RT, RW, dan keluarga sehingga bisa meningkatkan kesadaran kolektif terkait Covid-19.
Saya selaku Ketua Gugus Tugas mengharapkan bantuan dari masyarakat terutama media dan kawan-kawan yang sering memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan narasi supaya menguatkan persatuan dan kesatuan, bahwa musuh kita adalah virus yang tidak kelihatan, tapi dampaknya kelihatan.
Dengan demikian, warga betul-betul mengindahkan larangan berkumpul dan mengatur jarak interaksi antarmanusia. Sebab, kendati tidak menimbulkan kematian lebih banyak ketimbang sejumlah penyakit seperti demam berdarah dengue, jelas Covid-19 merugikan dan berbahaya.
”Saya selaku Ketua Gugus Tugas mengharapkan bantuan dari masyarakat terutama media dan kawan-kawan yang sering memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan narasi supaya menguatkan persatuan dan kesatuan, bahwa musuh kita adalah virus yang tidak kelihatan, tapi dampaknya kelihatan,” ujarnya.