Berkah Cahaya Khatulistiwa untuk Lidah Buaya
Sebagai kota yang dilintasi garis khatulistiwa, Pontianak cocok untuk pertumbuhan lidah buaya atau ”Aloe vera”. Tidak mengherankan apabila lidah buaya menjadi komoditas unggulan Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Lidah buaya atau Aloe vera merupakan komoditas unggulan Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sebagai kota yang dilintasi garis khatulistiwa, Pontianak selalu mendapat sinar matahari sehingga cocok untuk pertumbuhan Aloe vera.
Pemeliharaan optimal membuat ada pelepah lidah buaya mencapai bobot 4 kilogram. Puluhan pelepah lidah buaya berjejer di warung Ibrahim (33) di Jalan Budi Utomo, Pontianak Utara, Rabu (4/3/2020). Berat lidah buaya yang dipajang 1,1-1,3 kilogram, panjang 30-40 sentimeter, dan lebar 5-6 cm. Ibrahim menjualnya per pelepah Rp 4.000 per kg. ”Coba lihat ini. Beratnya 1,1 kg,” ujar Ibrahim.
Ibrahim adalah petani lidah buaya yang memiliki kebun berukuran 100 meter x 12 meter berisi 17 tanaman lidah buaya. Per bulan ia biasanya panen dua kali, setiap panen berkisar 10-50 kg. Selain dijual di Pontianak, hasil panen juga dikirim ke Singkawang. ”Sekitar tahun 1990, panen per pelepah bisa 2-3 kg. Sekarang kualitas tanah agak berkurang karena mungkin hara tanah terbawa air. Apalagi, kalau musim hujan, tanaman rawan rusak,” kata Ibrahim.
Meskipun demikian, lidah buaya masih sangat potensial jika pemeliharaannya optimal. Di situ ada beberapa pedagang. Selain Ibrahim, ada juga Muhammad (60). Selain menjual dalam bentuk pelepah, Muhammad juga mengolah daging lidah buaya dan mengemasnya dalam kantong berisi air. ”Saya sekali panen rata-rata 50 kg. Tantangannya, kalau banjir, tanaman rusak,” ujarnya.
Lidah buaya di Pontianak dengan pemeliharaan dan sistem irigasi yang baik pernah mencapai bobot 4,8 kilogram per pelepah.
Lidah buaya terpusat di Pontianak utara. Luasnya 68 hektar, yang diusahakan tujuh kelompok tani atau sekitar 160 petani. Mereka memproduksi 8 ton pelepah lidah buaya per 10 hari atau 24 ton per bulan. Petani membudidayakan lidah buaya jenis Aloe chinensis.
”Saya pernah ke sejumlah negara yang menanam lidah buaya, antara lain Malaysia, Thailand, dan Filipina. Kualitas lidah buaya di negara tersebut jauh dari Pontianak. Di negara-negara itu, berat rata-rata hanya sekitar 0,8 kg per pelepah,” ujar Kepala Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Pontianak Bintoro.
Lidah buaya di Pontianak dengan pemeliharaan dan sistem irigasi yang baik pernah mencapai bobot 4,8 kg per pelepah. Lebarnya bisa 18-20 cm dan panjang 90 cm. Namun, tidak semuanya demikian.
Agroklimat
Pontianak memiliki Pusat Lidah Buaya (Aloe Vera Center) bagian dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Agrobisnis Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Pontianak sebagai pusat pengkajian. Kepala UPT Agrobisnis Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Pontianak Utari Ismawati mengatakan, lembaga tersebut berdiri tahun 2002 berlatar belakang perkembangan pesat lidah buaya di Pontianak.
Ada beberapa keunggulan lidah buaya di Pontianak. Dari aspek agroklimat sangat cocok karena Pontianak berlahan gambut. Lidah buaya memerlukan penyinaran matahari sepanjang musimnya. Sebagai daerah yang dilintasi garis khatulistiwa, lidah buaya sangat cocok di Pontianak.
Lidah buaya 100 persen membutuhkan sinar matahari. Wilayah khatulistiwa mendapat sinar matahari lebih panjang waktunya ketimbang daerah lain. Alhasil, iklim Pontianak panas sejak pagi hingga sore hari.
Baca juga: 5 Tanaman Penetral Polutan Udara
Sebagai contoh lidah buaya jenis Aloe chinensis dari China sangat cocok ditanam di Pontianak. Namun, hasil panen di Pontianak lebih baik karena satu pelepah bisa berbobot 1 kg. Lebih berat dari di China yang hanya 0,5 kg.
Luas tanam per hektar pun bisa mencapai 8.000 tanaman. Jika jarak tanam diatur agak jauh, bisa berisi 7.800-an tanaman per hektar.
Ada juga pengembangan bibit secara kultur jaringan. Masyarakat terkadang ingin berinvestasi dan memerlukan bibit dalam jumlah banyak. Sulit mendapatkan bibit jika hanya dari petani. ”Masyarakat yang memerlukan informasi budidaya lidah buaya dan teknologinya bisa datang ke Aloe Vera Center. Di tempat ini terdapat 400-600 lidah buaya jenis Aloe barbadensis dan Aloe chinensis,” ujar Utari.
Pusat Lidah Buaya juga menjadi tempat edukasi dan penelitian. Sejumlah sekolah dari berbagai jenjang pendidikan sering berkunjung ke tempat ini untuk belajar berbagai pengetahuan terkait lidah buaya.
Produk turunan
Kajian lidah buaya juga meliputi produk, pengolahan, perbanyakan bibit, dan teknologi pengolahan, misalnya pembuatan jus lidah buaya. Kemudian, hasilnya disosialisasikan kepada masyarakat. Masyarakat bisa mengembangkan usaha mereka untuk meningkatkan perekonomian.
Pemanfaatan Aloe barbadensis terbatas pada farmasi dan kosmetik. Sementara pemanfaatan Aloe chinensis lebih luas untuk makanan, minuman, dan bisa juga untuk kosmestik, maka banyak dikembangkan di masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai tambah, UPT Agrobisnis mengembangkan jus lidah buaya sejak 2014 dan diuji coba dua tahun. Kemudian, setelah ditemukan formula yang cocok, dikembangkan ke masyarakat dalam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Lidah buaya merupakan tanaman herbal dengan manfaat utama ada dalam dagingnya. Kalau dipotong dalam bentuk kotak-kotak seperti di pasaran, lendirnya akan keluar. Berangkat dari situ, UPT Agrobisnis mencoba membuat kajian yang dibuat bagaimana lendir lidah buaya tidak diusik dan diolah menjadi jus. Itulah yang dicoba dikembangkan di UMKM dan masyarakat, ibu-ibu rumah tangga, serta PKK kelurahan-kelurahan.
Semua bagian lidah buaya bisa dimanfaatkan.
Petugas dari UPT Agrobisnis Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Pontianak, Davin Arifin, menambahkan, selain faktor agroklimat, yang perlu diperhatikan adalah di samping tanaman indukan tidak boleh ada tanaman lain sehingga pertumbuhan lidah buaya optimal. Dari sisi kondisi tanah gambut, tanah ini memiliki kandungan organik yang tinggi.
”Hanya masalahnya, gambut identik dengan becek dan basah. Dengan kondisi tergenang air, tanaman apa pun tidak bisa hidup optimal karena keterbatasan hara. Maka, dibuat sistem drainase dengan tata kelola airnya disesuaikan sehingga tanahnya tidak becek, tetapi lembab. Jadi, tidak basah ataupun kering, tetapi lembab,” ujarnya.
Kemudian ada penambahan bahan organik seperti pupuk kandang dan abu. Jadi, tingkat keasamannya akan mendekati ke basah 5,5-6. Pada kondisi itu, ketersediaan hara dimungkinkan untuk tanaman lidah buaya. Gambut identik dengan tingkat keasaman tinggi 2-3.
Semua bagian lidah buaya bisa dimanfaatkan. Kebanyakan UMKM memanfaatkan kulit tanaman ini dengan cara diseduh untuk minuman. Pemanfaatan lain, dengan menjemur apakah dalam bentuk ukuran panjang atau dipotong. Bisa juga dikemas dalam berbagai bentuk, misalnya teh celup, obat herbal dalam kapsul, atau teh tubruk.
Lidah buaya di Pontianak banyak disajikan di kedai makan dalam bentuk es lidah buaya dengan daging buah yang dipotong-potong ukuran kecil. Bahkan, potongan daging lidah buaya ini ada yang dikemas sebagai oleh-oleh. Ada juga dodol lidah buaya. Saat ini, ada 23 UMKM yang mengolah lidah buaya.
Bintoro menuturkan, setidaknya ada 70 produk turunan lidah buaya Pontianak. Perusahaan yang memproduksi minuman jeli dengan bahan baku lidah buaya menyerap 10 ton-15 ton lidah buaya per bulan. Beberapa industri rumahan total memerlukan 12 ton per minggu. Sejauh ini kebutuhan itu bisa terpenuhi.
Bahan mentah masih untuk memenuhi kebutuhan di Kalbar. Ketika sudah menjadi produk turunan baru pengusaha ada yang menjual ke luar Kalbar untuk memenuhi permintaan dari banyak wilayah.