Dari yang Tercecer di Palet
Meski piawai melukis realisme, Yoyok Siswoyo (40) menempuh pilihan gaya abstrak dengan memetik ilham dari cat tercecer di palet.
Jalan berkesenian kadang tidak terduga. Meski piawai melukis realisme, Yoyok Siswoyo (40) menempuh pilihan gaya abstrak dengan memetik ilham dari cat tercecer di palet.
Bisa dibayangkan, jejak cat di palet tidak beraturan. Satu warna tertimpa warna berikutnya. Komposisi warna itu pun tidak pernah dilandasi kesadaran. Itu terjadi begitu saja tanpa kesengajaan.
Warna yang saling timpa akan bergantung pada pilihan cat untuk obyek lukisan. Antara palet dan kanvas lukisan memang dipersatukan oleh pilihan cat yang sama. Tetapi, di situ tersimpan ketegangan yang kontras.
Ketika menuangkan cat di atas palet, tidak ada ketegangan sama sekali pada diri pria kelahiran Malang, Jawa Timur, dan menetap di Yogyakarta ini. Perasaan tidak dihinggapi beban. Bahkan, keriangan membuncah ketika melihat cat tertumpah menggumpal di palet.
Situasi itu sirna ketika harus menggoreskan cat dari atas palet itu ke atas kanvas lukisan. Ketegangan terbit.
Kenyamanan yang spontan ketika menyentuh cat di palet berubah menjadi ketegangan untuk menggoreskannya ke kanvas lukisan. Kejadian ini berulang terus-menerus.
Yoyok mencoba untuk meniadakan ketegangan sekaligus merengkuh kenyamanan. Ia mengekspresikan dengan membuat lukisan abstrak seperti menuangkan cat di atas palet semata demi merengkuh dan mempertahankan rasa nyaman.
Jadilah lukisan-lukisan abstrak karya Yoyok. Jejak cat palet tertuang di dalam karya-karya lukisannya yang dipamerkan di Rumah Miring CG Artspace, Jakarta, 7-18 Maret 2020.
Kurator pameran Raid Rosidi, akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, memberikan catatan kuratorialnya, Dari Palet yang Bersahaja Menuju Kanvas dengan ”Ringan Tangan”.
Pameran itu diberi judul Menep, dalam bahasa Jawa, yang berarti mengendap. Biasanya, kata menep untuk membahasakan sesuatu terlarut di dalam air, kemudian ketika dibiarkan bahan yang terlarut itu mengendap, air pun berubah menjadi bening kembali.
Spontan
Ketika mengunjungi pameran itu, Selasa (17/3/2020), Yoyok menampilkan belasan lukisan abstraknya di atas kanvas-kanvas berbentuk lingkaran berdiameter 80 sentimeter dan persegi panjang dengan berbagai ukuran. Corak lukisannya dengan latar warna polos, kemudian muncul bentuk-bentuk tidak beraturan yang beragam dengan warna-warna pastel lembut.
Christiana Gouw, pemilik dan pengelola Rumah Miring, menyebutkan, lukisan abstrak karya Yoyok mencerminkan ketenangan dan kelembutan. Ia menunjukkan jejak cat palet sebagai gaya melukis yang jarang dijumpai sebagai konsep karya lukisan abstrak.
”Seperti ini jejak cat paletnya. Bentuknya spontan dan sederhana,” ujar Christiana, seraya menunjuk goresan cat di lukisan itu.
Rain Rosidi menyebutkan, selama tiga tahun terakhir ini, Yoyok menemukan kenyamanan dalam aktivitas spontan untuk melukis. Yoyok lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Yogyakarta, sebelumnya tidak melulu melukis untuk karyanya sendiri.
Yoyok sering membantu seniman lain. Ia bekerja menjadi artisan seniman yang kerap meminta Yoyok melukis dengan corak realisme atau komposisi bidang yang memiliki konsep.
”Kondisi itu kadang membuatnya jenuh. Di sela-sela kejenuhan bekerja sebagai artisan, Yoyok banyak mencoret-coret di atas palet lukisan,” ujar Rain.
Mencoret-coret palet itu menjadi kenyamanan dalam aktivitas spontan. Suatu ketika, Yoyok meraih semangat baru untuk melukis dengan modus yang sama ketika memperlakukan palet tadi.
Abstrakisme
Yoyok mengakui, karya lukisan abstrak dengan jejak cat palet itu sebagai pengendalian emosi, pengendalian diri dalam menghadapi kejenuhan melukis dengan konsep atau obyek tertentu. Aktivitasnya itu kemudian menjadi melukis bebas yang dipersamakan sebagai ibadah dengan ketulusan hati.
Rain menyebutkan, aliran abstrakisme bermula dari Barat yang muncul dalam kerangka upaya menemukan hakikat seni modern. Perkembangan seni lukis abstrak di Indonesia menjadi semacam adaptasi konsep pencarian hakikat seni modern itu pula.
Rain mengutip pengamat seni rupa Jim Supangkat, yang menyebut perkembangan lukisan abstrak di Indonesia sebagai abstrakisme terjemahan. Lukisan abstrak itu menjadi representasi interaksi antara realitas luar dan dalam.
”Persepsi paling umum dalam mengenali karya-karya lukisan abstrak itu sebagai puisi rupa,” ujar Rain.
Dengan demikian, lukisan abstrak sering dimengerti sebagai ungkapan liris senimannya. Ajang seni kontemporer Documenta II tahun 1959 di Jerman mengukuhkan seni rupa abstrak adalah bahasa dunia, bahasa universal.
Documenta menekankan kesinambungan tren intrinsik di dalam seni rupa modern. Kesinambungan dari seni rupa yang menggambarkan hal-hal yang tampak, menuju seni rupa yang membuat terlihat pada hal-hal yang tak tampak.
”Persepsi ini mengabaikan pemahaman mengenai modus karya-karya lukisan abstrak,” ujar Rain.
Di sinilah kekuatan wacana seni rupa abstrakisme yang dihadirkan Yoyok. Yoyok menghadirkan karya lukisan abstrak dari sisi pemahaman modus yang masih diabaikan itu.