Pemerintah daerah perlu terlibat aktif dalam pemulihan ekosistem gambut di daerah masing-masing. Apalagi, dampak kerusakan gambut dirasakan warga setempat
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah perlu terlibat aktif dalam pemulihan ekosistem gambut di daerah masing-masing. Apalagi, dampak kerusakan gambut dirasakan warga setempat, seperti kebanjiran saat musim hujan dan tragedi asap saat musim kemarau.
Keterlibatan pemerintah daerah itu antara lain dalam mengawasi konsesi perusahaan di areal gambut dan memberikan pendampingan kepada warga yang mengolah lahan gambut. ”Sayangnya, peran pemda belum tampak geregetnya,” kata Syahrudin, pendiri dan Direktur Lingkar Hijau Pesisir, Selasa (17/3/2020), saat dihubungi di Riau.
Menurut Syahrudin, pemda seolah-olah memiliki komitmen dari sisi aturan dan penganggaran dalam restorasi gambut. Namun, acap kali gubernur tak bisa memastikan semua bupati atau wali kota di jajarannya memiliki pemahaman sama dalam merestorasi gambut.
Ia mencontohkan perhutanan sosial. Program Presiden Joko Widodo untuk mengatasi ketimpangan pengelolaan hutan ini bisa mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan akibat konflik pengelolaan. Ini karena perhutanan sosial memberi akses bagi komunitas atau lembaga masyarakat untuk menjaga hutan. Namun, lemahnya koordinasi di daerah membuat program itu belum berjalan optimal.
Proyek di daerah
Di Sumatera Selatan, pemerintah provinsi merestorasi gambut dengan mengembalikan fungsi awal gambut. Di area ini dibangun sumur bor dan sekat kanal di tujuh kesatuan hidrologis gambut (KHG) untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan. Pemprov Sumsel menyediakan dana Rp 37 miliar untuk menjalankan itu. Jumlah ini sama dengan anggaran tugas perbantuan dan dana khusus Badan Restorasi Gambut (BRG).
Kepala Subkelompok Kerja BRG Sumatera Selatan Onesimus Patiung mengatakan, pembangunan ini untuk mengembalikan fungsi gambut dan mencegah kekeringan gambut di musim kemarau. Pembangunan infrastruktur juga dilakukan pemda.
Dana yang disiapkan Rp 37 miliar, terdiri dari Rp 31 miliar dana tugas pembantuan dan Rp 6 miliar dari BRG untuk membangun 575 sumur bor dan 170 sekat kanal. Tujuh KHG itu tersebar di lima kabupaten, yakni Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas Utara, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Ilir.
Sumur bor dan sekat kanal dibutuhkan untuk menjaga kadar muka air di lahan gambut memasuki musim kering. Di sejumlah tempat, keberadaan sekat kanal menjaga kadar muka air di lahan gambut, seperti di kawasan konservasi Padang Sugihan, Banyuasin.
Belum optimal
Namun, ada area yang masih terbakar meski diintervensi, seperti di Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin. Sekat kanal tak optimal karena rusak. Ada bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai VIII berupa dana Rp 5,5 miliar bagi pembangunan 54 sekat kanal di Muara Medak. Dengan menjaga gambut basah, risiko kebakaran dikurangi.
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel membangun sodetan dengan menyambungkan dua sungai atau lebih untuk menjaga lahan gambut basah. Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan BPBD Sumsel Ansori mengatakan, tiga daerah di Sumsel akan membuat sodetan, yakni Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Musi Banyuasin.
Dari tiga kabupaten itu, baru Ogan Ilir yang membangun dengan menyambungkan Sungai Meriak dan Sungai Keramasan. Rencana awal dibangun sodetan sepanjang 12,4 kilometer, tetapi baru terealisasi 8,8 km. Upaya itu diharapkan membasahi lahan gambut yang dilewati seluas 250.000 hektar di 55 desa. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Hairul Sobri mengingatkan, pemulihan lahan gambut harus berdasarkan lanskap dan bukan parsial.
Hal itu butuh koordinasi antarinstansi, terutama perusahaan pemegang izin konsesi. Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengakui, ketidaksinkronan pemerintah, pengusaha, dan warga masih terjadi. Contohnya, penataan ekosistem di Kabupaten Pulang Pisau (sebelumnya disebut Pulau Pisang) terkendala soal penyekatan kanal.
Pemulihan lahan gambut harus berdasarkan lanskap dan bukan parsial.
Kondisi itu membuat restorasi tak bisa selesai dalam empat tahun. Banyak hal terkait infrastruktur dan revegetasi butuh pemantauan intensif hingga puluhan tahun. Masalah tersulit ialah kanal air sekitar lahan gambut. Sebagai perbandingan, Jepang yang punya 300 hektar lahan gambut butuh waktu 10 tahun untuk restorasi pendidikan. ”Tiap tahun, lapisan gambut kita hanya bertambah 0-3 milimeter,” kata Nazir.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah mengatakan, pemulihan ekosistem gambut sampai 2019 mencapai 3,47 juta hektar. Perlindungan ekosistem gambut tak lepas dari peran semua pihak melalui penerapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. ”Itu terkait pengendalian kebakaran lahan gambut, berkorelasi pada mutu udara,” ucapnya.
Pihaknya juga memakai Ruang Sistem Informasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, hal itu jadi bagian penting manajemen adaptif pengelolaan lingkungan sebagai sarana pemantauan dengan data terkini. (DIV/RAM/ESA/ICH/DAN)