Kini saatnya stimulus fiskal, bukan moneter. Setelah wabah Covid-19 mereda, barulah stimulus moneter diperlukan.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Kamis (19/3/2020) pagi, Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia langsung anjlok ke posisi 4.161,81 begitu dibuka. Pelemahan yang drastis hingga lebih dari 5 persen itu memaksa manajemen BEI menghentikan perdagangan, mengikuti aturan yang berlaku.
Ini merupakan trading halt keempat kalinya sejak wabah coronavirus disease (Covid)-19 mulai memorakporandakan sektor finansial Indonesia dan global awal bulan ini. Selama Maret 2020, IHSG telah rontok 1.031 poin atau 19,2 persen, yang merupakan salah satu kejatuhan terparah hanya dalam rentang 19 hari sepanjang sejarah pasar modal Indonesia.
Investor, terutama asing, berbondong-bondong melepas aset dalam rupiah, seperti saham dan obligasi, dan menggantinya dengan aset-aset berdenominasi dollar AS di luar negeri, yang dianggap sebagai aset safe heaven karena dinilai lebih aman. Ini sudah menjadi risiko negara Indonesia sebagai negara berkembang, yang selalu diragukan keandalan fundamental ekonominya saat terjadi krisis.
Karena investor beramai-ramai menjual rupiah dan membeli dollar AS, kurs rupiah pun jatuh hingga mencapai 15.721 per dollar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) siang ini.Ini merupakan pelemahan kurs rupiah terdalam sejak krisis ekonomi tahun 1998.
IHSG dan kurs rupiah berpotensi jatuh lebih dalam jika investor asing tetap berbondong-bondong meninggalkan pasar Indonesia. Pasalnya, sekitar 51 persen saham yang diperdagangkan di BEI merupakan milik asing dan 38,3 persen Surat Berharga Negara (SBN) dikuasai asing.
Tentu tak terbayangkan akan menjadi seperti apa kurs rupiah jika asing tetap dibiarkan cabut dari Indonesia. Pelemahan kurs yang begitu dalam pada gilirannya akan merambat pada melonjaknya utang-utang dalam denominasi dollar AS. Korporasi nasional yang memiliki eksposur utang tinggi dalam dollar AS tentu akan bangkrut, meninggalkan kredit macet di perbankan. Inilah yang terjadi saat krisis ekonomi 1998, yang kemudian kita tahu dengan cepat kemudian menjelma menjadi krisis ekonomi, sosial, dan politik.
Karena itu, tentu pelemahan rupiah yang begitu tajam tak bisa dibiarkan. Harus segera dimitigasi agar dampaknya tidak ke mana-mana.
Namun, upaya menstabilisasi kurs tentu tak mudah di tengah wabah Covid-19 yang memaksa setiap negara mengontraksi sendiri perekonomiannya. Kebijakan work from home dan lockdown yang diterapkan di sejumlah negara dengan level yang berbeda-beda telah menurunkan permintaan dan konsumsi secara drastis, juga distribusi dan logistik. Ujungnya produksi juga akan menciut.
Sejumlah negara, termasuk Indonesia, ramai-ramai mengeluarkan stimulus fiskal dan moneter untuk menahan pelemahan ekonomi yang terjadi. Ini disebut sebagai kebijakan countercyclical. Di sisi fiskal, hampir semua negara, termasuk Indonesia, telah membebaskan pajak penghasilan, terutama untuk sektor-sektor yang terdampak Covid-19, seperti manufaktur dan pariwisata.
Indonesia bahkan membebaskan pajak hotel dan restoran serta memberikan insentif tiket pesawat terbang untuk menahan kelesuan pariwisata; kebijakan yang dinilai banyak pihak kurang tepat dilihat dari segi waktu, prioritas, dan urutannya.
Di sisi moneter, Bank Sentral AS, The Fed, memangkas suku bunga secara agresif hingga menjadi maksimal 0,25 persen, termasuk terendah dalam sejarah AS. Langkah ini merupakan stimulus moneter agar pelaku usaha dan masyarakat tertarik menarik kredit dari perbankan untuk spending dan ekspansi usaha sehingga perekonomian bisa tetap berputar.
Hal serupa juga dilakukan Bank of England dengan memotong suku bunga hingga 0,25 persen, yang tercatat sebagai rekor terendah.
Bagaimana Indonesia? BI pun bulan lalu menurunkan suku bunga acuan (BI
7-day (Reverse) Repo Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen sebagai stimulus moneter. Giro wajib minimum pun diturunkan dengan harapan likuiditas di pasar keuangan semakin berlimpah.
Pertanyaannya kini, tepatkah Indonesia juga mengikuti kebijakan negara-negara maju dengan memangkas suku bunga acuan sebagai bagian dari stimulus moneter untuk menggerakkan sektor riil?
Dengan struktur perbankan Indonesia yang timpang dalam hal intermediasi, di mana tenor funding dan kredit selalu terjadi mismatch, maka transmisi turunnya suku bunga acuan ke suku bunga kredit akan memakan waktu lama, rata-rata 18 bulan. Jadi, suku bunga acuan yang diturunkan saat ini baru akan berdampak pada penurunan suku bunga kredit 1,5 tahun ke depan.
Selain itu, perbankan saat ini tidak memiliki kapasitas penyaluran kredit yang besar di tengah likuiditas yang lebih ketat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan peningkatan kredit bermasalah (nonperforming loan) akibat wabah Covid-19 yang menurunkan transaksi perdagangan dan volume produksi. Pada 2019 saja, penyaluran kredit hanya 6,08 persen, rekor terendah sejarah.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, dalam kondisi saat ini, salah satu prioritas stimulus fiskal adalah meningkatkan dan memperluas program bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT).
Menurut Kepala Kajian Makro LPEM FEB UI Febrio Kacaribu, dalam menghadapi situasi saat ini, stimulus fiskal lebih dibutuhkan ketimbang stimulus moneter.
Stimulus moneter berupa penurunan suku bunga, selain kurang efektif menggerakkan sektor riil, juga bisa menjadi katalisator pelemahan kurs. Bagi negara maju, apalagi AS yang menjadi negara safe heaven, penurunan suku bunga tidak akan berdampak pada pelemahan kurs dollar AS karena investor tak punya pilihan lain selain tetap bertahan memegang aset dalam denominasi dollar AS.
Jadi, kata Febrio, suku bunga acuan sebaiknya kini digunakan untuk menstabilisasi kurs. Dengan menaikkan suku bunga, diharapkan investor asing menghentikan aksi jual aset-aset rupiahnya karena spread suku bunga obligasi negara dengan obligasi AS menjadi lebih menarik.