Harga minyak mentah dunia terpuruk di bawah 30 dollar AS per barel menyusul kejatuhan 30 persen lebih pekan lalu. Faktor pandemi Covid-19 dan oversuplai masih jadi pemicu utama.
Oleh
·3 menit baca
Harga minyak mentah dunia terpuruk di bawah 30 dollar AS per barel menyusul kejatuhan 30 persen lebih pada pekan lalu. Faktor pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19 dan oversuplai masih jadi pemicu utama.
Minyak mentah patokan dunia, Brent, bertahan di bawah 30 dollar AS per barel pekan ini, terutama dengan semakin tertekannya permintaan akibat banyak negara menempuh kebijakan penutupan untuk membendung penyebaran pandemi Covid-19. Dengan harga ini, Brent turun 57 persen pada tahun ini, dan ini harga terendah sejak 1991.
Selain faktor Covid-19 yang memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan menekan permintaan minyak mentah, terpuruknya harga minyak mentah juga dipicu perang harga antara dua produsen utama minyak dunia, yaitu Arab Saudi dan Rusia, yang membanjiri pasar, dalam upaya meraih pangsa pasar lebih besar. Probabilitas harga minyak kian anjlok sangat besar. Pandemi diduga belum mencapai puncaknya dengan cakupan dan jumlah negara/teritori yang terdampak kian meluas. Jumlah kasus dan korban meninggal terus meningkat. Hanya segelintir negara yang bisa mengendalikan Covid-19.
Goldman Sachs memprediksi Brent terjun bebas hingga di bawah 20 dollar AS per barel pada triwulan II-2020. Pasar minyak dunia saat ini diprediksi surplus 6 juta barel per hari (bph). Trafigura memprediksi permintaan bisa anjlok hingga 10 juta bph dari 99,1 juta bph saat ini. Proyeksi Goldman lebih ekstrem daripada International Energy Agency (EIA) yang memprediksi Brent turun dari rata-rata 64 dollar AS (2019) ke 43 dollar AS (2020), sebelum menguat ke 55 dollar AS (2021). EIA mengingatkan, anjloknya harga minyak bisa menuntun pada kebangkrutan ekonomi sejumlah negara produsen, yang minyak menyumbang 85 persen penerimaan negara, seperti Ekuador, Irak, dan Nigeria. Arab Saudi akan terdampak pula.
Kondisi oversuplai diyakini belum akan segera teratasi. Pekan ini, eskalasi perang harga kembali dipicu Saudi lewat pernyataan pihaknya untuk menambah pasokan ekspor hingga 10 juta bph mulai Mei depan atau 3 juta bph di atas volume ekspor Februari. Ini tentu saja akan kian memperparah oversuplai di pasar dan kian memperpuruk harga minyak.
Perusahaan minyak Saudi, Aramco, menyatakan, pihaknya nyaman dengan level harga 30 dollar AS per barel. Selain perebutan pangsa pasar, langkah Saudi diduga juga bagian dari strategi memaksa pesaing, yakni produsen minyak serpih (shale drillers) besar, seperti AS, keluar dari pasar. Sebab, dengan harga minyak serendah itu, minyak serpih tak ekonomis lagi.
Kejatuhan harga minyak juga menyeret jatuh indeks harga saham dunia. Faktor Covid-19 membuat risiko resesi ekonomi AS kian meningkat. The Fed dipaksa memangkas suku bunga hingga mendekati 0 persen untuk menggairahkan ekonomi.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprediksi ekonomi global hanya tumbuh 1,5 persen pada 2020, turun dari prediksi 2,9 persen yang dibuat sebelum pandemi merebak. Morgan Stanley juga memprediksi resesi global di skenario dasarnya. Goldman Sachs memprediksi resesi global kali ini lebih buruk daripada 1991 dan 2001, tetapi tak seburuk krisis finansial 2008-2009 atau resesi 1981-1982. Meski penurunan harga minyak menguntungkan Indonesia yang importir neto minyak, kita tetap harus bersiap antisipasi dan mitigasi kemungkinan terburuk.