Jurus "Deker" La Beloro untuk Konservasi di Wakatobi
Darah pesisir mengalir di tubuh La Beloro. Itu sebabnya ia tak sudi jika laut dieksploitasi begitu rupa tanpa mempertimbangkan kelestariannya.
Bertahun-tahun berkelana di jalanan, membuat La Beloro (55) kenyang akan ilmu orang jalanan. Ia menyebutnya “ilmu deker”. Ilmu yang sekarang ia adaptasi untuk kegiatan konservasi di Wakatobi.
Tahun 1990-an, La Beloro berkelana ke banyak daerah bahkan hingga luar negeri. Ia menjalani kehidupan di jalanan yang dekat dengan dunia premanisme. Namun, kehidupan jalanan sekaligus membuka matanya lebar-lebar. Ia melihat realitas kehidupan masyarakat kecil, terutama nelayan, di mana-mana sama, yakni mereka miskin dan menderita.
Beloro sejak lama memang menaruh perhatian pada kehidupan nelayan. Tidak heran, setiap berkelana ke suatu daerah, ia tidak pernah ia absen datang ke wilayah pesisir untuk bertemu dengan para nelayan.
Darah pesisir ada dalam tubuh saya. Tidak bisa hilang. Jadi, ke manapun saya pergi pasti selalu mengunjungi nelayan setempat
“Darah pesisir ada dalam tubuh saya. Tidak bisa hilang. Jadi, ke manapun saya pergi pasti selalu mengunjungi nelayan setempat,” kata Beloro, di Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, kepada beberapa rombongan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN/The Nature Conservancy).
Setiap mendengar cerita dari nelayan, ia merasakan benar adanya ketimpangan. Para nelayan banting tulang menjala ikan, membudidayakan rumput laut, mengambil teripang, atau mencari lobster, tapi hasilnya nyaris nol. Mereka hidup paling mentok di ambang batas kemiskinan, jauh dari fasilitas dan layanan dan sulit untuk mengakses pendidikan.
Situasi ini berbanding terbalik dengan kehidupan para juragan, pemilik modal besar, serta para mafia perikanan dan kelautan yang sejahtera. Semakin nelayan keras bekerja, mereka semakin kaya.
Setelah merantau belasan tahun, Beloro akhirnya memutuskan pulang ke Kaledupa. “Saya pulang kampung ke di tahun 1999. Mau menikah dan memulai hidup baru. Saya sudah mulai tua, umur 34, teman-teman bilang, mau dikasih nikah sama cucu mereka,” seloroh Beloro.
Memulai Forkani
Beloro mencoba membudidayakan rumput laut. Selain menangkap ikan, budidaya rumput laut adalah salah satu pekerjaan yang telah lama dilakoni warga di salah satu pulau besar di Kabupaten Wakatobi ini. Kaledupa ketika itu masih masuk dalam area administratif Baubau. Wakatobi baru mekar menjadi kabupaten pada 2003.
Di Kaledupa, Beloro melihat banyak permasalahan terkait perikanan. Salah satunya, masuknya kapal asing hingga ke Kaledupa pada awal 2000-an. Kapal asing itu ternyata mendapat bekingan beberapa pihak.
Untuk melawan kehadiran kapal asing, Beloro berupaya membangun kesadaran bersama dan jejaring di pulau. Ia berpikir,Gerakan secara kolektif akan membuat tekanan yang jauh lebih besar dibanding bekerja secara personal.
Ketika itu juga ada sosialisasi zonasi untuk Taman Nasional Wakatobi yang tidak melibatkan unsur masyarakat, khususnya nelayan
“Ketika itu juga ada sosialisasi zonasi untuk Taman Nasional Wakatobi yang tidak melibatkan unsur masyarakat, khususnya nelayan. Dari situ, inisiatif untuk membuat wadah bersama warga lainnya itu muncul,” tuturnya.
Pada 5 Januari 2002, kelompok petani rumput laut terbentuk. Kelompok ini merupakan wadah gerakan bagi nelayan pembudidaya rumput laut dari sejumlah desa di Kaledupa. Setelah berjalan beberapa bulan, Beloro merasa kelompok ini terlalu kecil karena tidak mengakomodasi semua masyarakat.beloro
Ia lalu turun ke desa-dea, menceritakan gagasan ke banyak orang. Beloro bertemu dengan dua orang rekannya, Maruji dan Edi, yang punya pemikiran sama. Setelah itu, belasan orang juga tertarik untuk ikut bergabung.
“Desember 2002, pas Natal, Forkani terbentuk. Forum Kahedupa Toudani atau dalam kata lain, untuk selalu mengenang kejayaan Kahedupa yang sekarang disebut Kaledupa. Kami memulai dengan melibatkan masyarakat dalam pembahasan zonasi laut untuk pertama kali,” urai Beloro.
Dari situ, kegiatan Forkani terus berkembang. Bersama sejumlah organisasi konservasi dan lembaga yang menaruh perhatian pada bidang ini, Forkani turut menginisiasi konservasi laut di Kaledupa, bahkan di pulau lain. Forum ini juga menginisiasi cara budidaya rumput laut yang baik, mengambil ikan dengan cara yang tidak merusak, turut mengawasi laut, kredit konservasi, membangun bank ikan, juga sasi gurita. Semua kegiatan yang dilakukan selalu berbasis masyarakat.
Selain itu, Forkani berupaya menghidupkan peran adat yang dulu punya peran penting dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah adat di Kaledupa dan Wakatobi, misalnya pernah memiliki peran hingga urusan konservasi.
Pada 2018, Bupati Wakatobi mengeluarkan peraturan pelibatan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan pesisir dan sumber daya alam. Dalam Perbup tersebut mengatur jenis ikan yang dilindungi, termasuk jenis yang disakralkan secara adat.
Terakhir, Forkani juga turut mengawal ekowisata yang dilakukan masyarakat, khususnya di Kaledupa. “Kami juga akan menggiatkan dunia digital di Forkani. Tapi itu kerjaannya yang muda-muda saja. Saya tidak mengerti yang begituan,” kata Beloro.
Selama menggerakkan masyarakat, membentuk forum, Beloro tentu menghadapi banyak tantangan dan masalah. Bukan perkara mudah untuk mengumpulkan warga, dan bergerak bersama untuk ide konservasi, sekaligus kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi tantangan itu, ia menerapkan ilmu jalanan yang ia peroleh selama merantau, yakni ilmu “deker”.
Deker atau duicker adalah gorong-gorong di bawah jalan yang biasa dilengkapi dengan tempat duduk di kedua ujungnya. Tempat duduk tersebut di berbagai daerah rutin menjadi tempat kumpul pemuda, baik sore, atau malam hari.
Ilmu jalanan mengajarkan bahwa setiap tempat itu ada premannya, ada tokoh, dan ada kultur masing-masing. Hal tersebut membuatnya melakukan riset awal, dan melakukan pendekatan yang berbeda di setiap tempat.
“Sama halnya kayak sekarang ini. Setiap tempat ada tokohnya, ada kulturnya. Tergantung dari cara kita bagaimana beradaptasi. Yang pasti, niat kita untuk konservasi dan keberlangsungan alam untuk anak cucu kita,” ucapnya.
La Beloro
Lahir: Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 23 Maret 1965
Istri: Halima (41)
Anak: Bayu Segara (21), Garda Nusantara (19), Bahtera Samudera (16)
Aktivitas: Inisiator Forum Kahedupa Toudani
Ketua Forkani 2002-sekarang
Pendidikan terakhir: SMA 1 Raha, Sulawesi Tenggara