Materi Tidak Selalu Mujarab bagi Papua
Sekalipun gerak pembangunan Papua mulai menunjukkan buah perubahan, hal itu masih terlalu lambat dirasakan. Dukungan dana otonomi khusus yang diberikan hampir 20 tahun terakhir belum menjadi solusi kesejahteraan.
Amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hampir tuntas diwujudkan. Salah satunya, dukungan dana pembangunan selama dua puluh tahun yang diberikan guna mempercepat peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Berdasarkan catatan pemerintah pusat, dalam kurun waktu hampir 20 tahun tersebut, Rp 94,24 triliun dana telah disalurkan. Besaran dana tersebut terpilah menjadi dua komponen. Salah satunya, dukungan dana otonomi khusus, total perkiraan sebesar Rp 72,4 triliun, yang disalurkan sejak tahun 2002. Selain itu, terdapat dana infrastruktur sekitar Rp 21,8 triliun yang disalurkan sejak 2006.
Baca juga : Kontak Tembak di Tembagapura Masih Terjadi
Semenjak pertama kali disalurkan, total dukungan dana yang disalurkan meningkat dari waktu ke waktu. Pada 2002, baru sebesar Rp 1,38 triliun, sementara tahun 2020 menjadi Rp 13,05 triliun (Grafik 1). Artinya, terjadi peningkatan signifikan hingga 10 kali lipat semenjak dana ini digulirkan.
Bagi Papua, pemberian dana otonomi khusus sebesar itu jelas berkontribusi signifikan bagi penerimaan daerah. Setidaknya, dengan acuan besaran total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua 2019 yang sebesar Rp 13,9 triliun, 93 persen didukung pendapatan daerah yang diperoleh dari dana otonomi khusus.
Dari proporsi sebesar itu, jelaslah bahwa urat nadi kehidupan Papua sangat bergantung pada dana otonomi khusus. Berharap pada sumber dana setempat jauh dari memadai. Jumlah pendapatan asli daerah (PAD) pada 2019 ditargetkan sebesar Rp 895,8 miliar atau hanya 6,4 persen dari APBD. Bagaimana dengan pemanfaatannya? Pertanyaan ini menjadi sentral permasalahan yang kerap dipersoalkan.
Dukungan dana otonomi khusus sejatinya ditujukan bagi pembiayaan pendidikan dan kesehatan serta dukungan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pengelolaan dana tersebut menjadi kewenangan khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Baca juga : Dana Otsus Disertai Target Terukur
Di dalam situs Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Papua terinci alokasi pemanfaatan dana otsus tersebut. Di antaranya, terdapat pos anggaran untuk program-program yang disetujui bersama antara provinsi dan kabupaten. Pada tahun lalu, sepertiga dari dana otonomi khusus Papua dialokasikan pada program bersama.
Pemanfaatannya digunakan untuk menjalankan program-program bidang pendidikan, seperti pemberian beasiswa unggul. Selain itu, terdapat program perbaikan kesehatan masyarakat, perumahan, keagamaan, hingga perlindungan sosial. Di luar program bersama, terdapat program-program inisiatif khusus provinsi ataupun daerah. Porsinya dua pertiga dari dana otonomi khusus.
Seluruh alokasi dana tersebut didistribusikan ke provinsi hingga tingkat kabupaten dan kota. Selanjutnya, setiap daerah memanfaatkan dana guna menjalankan program-program yang menjadi riil dihasilkan dari inisiatif dan kebutuhan warga setempat.
Namun, gugatan terhadap efektivitas pemanfaatan dana bermunculan, apalagi jika dikaitkan dengan gerak kemajuan ekonomi Papua. Ironisnya, justru tahun-tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Papua anjlok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2019, pertumbuhan ekonomi Papua minus 15,7 persen.
Besaran penurunan yang menurut BPS disebabkan oleh peralihan sistem tambang Freeport tersebut menunjukkan sangat rapuhnya struktur ekonomi di luar kontribusi sektor pertambangan. Dengan kata lain, perbaikan-perbaikan sektor lain dengan kucuran dana otonomi khusus selama ini belum efektif menopang perbaikan ekonomi wilayah.
Kondisi demikian jelas mengkhawatirkan. Terlebih, setelah dua dasawarsa diberikan kucuran dana, pada tahun depan, dana otonomi khusus akan berakhir. Di mata publik, dukungan terhadap Papua harus terus-menerus diberikan. Berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan Kompas, misalnya, sebagian besar responden mendukung upaya pemerintah dalam penyelesaian ketertinggalan Papua.
Benarkah pemanfaatan dana otonomi khusus dirasakan kurang efektif?
Sekalipun batasan waktu dukungan dana otonomi daerah hampir berakhir, hasil survei menunjukkan, bagian terbesar responden cenderung mendukung perpanjangan status otonomi khusus Papua (Grafik 2).
Belakangan, Presiden Joko Widodo memutuskan akan memperpanjang pemberian dana otonomi khusus. Namun, Presiden menginginkan evaluasi menyeluruh harus dilakukan. ”Saya minta dilihat lagi secara detail bagaimana pengelolaannya, transparansinya, akuntabilitasnya. Hal itu sangat penting. Good governance-nya, penyalurannya, apakah betul-betul sudah tersampaikan ke masyarakat, apakah sudah tepat sasaran, output-nya seperti apa, kalau sudah jadi barang, barang apa,” ungkap Jokowi (Kompas, 11/3/2020).
Dalam kerangka evaluasi, benarkah pemanfaatan dana otonomi khusus dirasakan kurang efektif? Membandingkan dengan berbagai ukuran kesejahteraan yang dicapai Papua selama ini sebenarnya terdapat hubungan yang positif. Ukuran capaian kualitas pembangunan manusia Papua, misalnya, sulit terbantahkan telah terdapat peningkatan besaran yang konsisten dari waktu ke waktu.
Ukuran dari sisi peningkatan kualitas pendidikan, misalnya, yang dikaji dari dimensi rata-rata lama sekolah yang dinikmati penduduk Papua terus-menerus mengalami perbaikan. Dengan menggunakan metode pengukuran lama, rata-rata lama sekolah yang pada tahun 2002 baru mencapai 6 tahun pada 2009 menjadi 6,66 tahun. Begitu pula dengan menggunakan metode pengukuran baru, lama sekolah rata-rata Papua di tahun 2010 baru mencapai 5,59 tahun pada 2019 menjadi 6,65 tahun.
Kondisi ini paralel terhadap dimensi kesehatan dan ekonomi warga. Dari sisi kesehatan, usia harapan hidup orang Papua meningkat. Pada 2010, usia harapan hidup masih 64,3 tahun, sedangkan tahun lalu menjadi 65,65 tahun. Begitu pula dari sisi ekonomi, peningkatan pengeluaran warga terjadi cukup signifikan dalam dua dasawarsa terakhir.
Pencermatan terhadap setiap indikator kesejahteraan menunjukkan, meskipun relatif tergolong paling rendah di Indonesia, berdasarkan kedua metode pengukuran, hasilnya konsisten memperlihatkan peningkatan di Papua. Peningkatan indikator kualitas kesejahteraan manusia jika dikorelasikan dengan besaran dana otonomi khusus yang dikucurkan selama ini berbanding lurus dan bersifat positif.
Artinya, terdapat hubungan yang searah di antara keduanya. Semakin besarnya dana otonomi khusus yang dikucurkan berjalan paralel dengan semakin besarnya peningkatan kualitas kesejahteraan (Grafik 3).
Namun, apakah keduanya menunjukkan pola hubungan kausalitas, dalam arti apakah memang dana otonomi khusus menjadi prediktor bagi peningkatan kualitas kesejahteraan? Belum jelas benar. Bisa saja terbukti, tetapi masih menyisakan ruang kesimpulan lain jika dana otonomi khusus bukan satu-satunya penyebab peningkatan (sufficient condition).
Untuk itu, seperti dinyatakan Presiden Jokowi, menjadi relevan jika perlu ditelaah detail efektivitas pemanfaatan dana otonomi khusus tersebut. Dari pencermatan data, persoalan efektivitas yang sebenarnya relevan dikaji di Papua tidak hanya pada sisi besaran peningkatan. Akan tetapi, dengan capaian peningkatan yang berhasil ditoreh selama ini, lebih relevan diukur seberapa cepat Papua dapat mengatasi ketertinggalannya dibandingkan dengan provinsi lain.
Tampaknya komitmen dan dukungan materi seperti dana otonomi khusus itu tidak selalu menjadi obat mujarab bagi Papua.
Sayangnya, jika dicermati konfigurasi jarak senjang antarwilayah, belum ada perubahan signifikan. Bagi wilayah-wilayah yang memang sudah memiliki kualitas manusia yang tinggi, seperti DKI Jakarta dan DIY Yogyakarta, mereka mampu mempertahankan capaian itu secara stabil. Namun, sebaliknya, bagi wilayah-wilayah yang berada dalam kategori rendah, seperti Papua dan Papua Barat, mereka seolah tak cukup mempunyai kekuatan untuk mengatasi ketertinggalan.
Gambaran paling mencolok, membandingkan dinamika DKI Jakarta (provinsi yang memiliki kualitas pembangunan manusia tertinggi) dengan Papua, yang tergolong paling rendah. Sepuluh tahun terakhir, sekalipun terjadi peningkatan cukup signifkan di Papua, hal itu tidak mengubah konfigurasi dan tetap mendudukkan provinsi paling timur ini dalam posisi terbawah (Grafik 4).
Padahal, dalam dua dasawarsa terakhir, dukungan dana otonomi khusus sudah terkucur. Dengan penggambaran semacam ini, tampaknya komitmen dan dukungan materi seperti dana otonomi khusus itu tidak selalu menjadi obat mujarab bagi Papua. (LITBANG KOMPAS)