Memahami Belanja Panik dari Sisi Psikologis
Gejala panic buying baru-baru ini kembali terjadi di Indonesia dan juga di banyak negara. Tulisan kali ini mencoba untuk memahami aspek psikologis secara individu dan sosialnya.
Gejala panic buying baru-baru ini kembali terjadi di Indonesia dan juga di banyak negara. Tulisan kali ini mencoba untuk memahami aspek psikologis secara individu dan sosialnya.
Belanja panik (panic buying) adalah istilah umum untuk menggambarkan tindakan orang membeli sejumlah besar produk untuk mengantisipasi atau setelah bencana atau bencana yang dipersepsikan, atau mengantisipasi kenaikan harga tinggi atau kekurangan barang seperti yang dapat terjadi sebelum badai salju atau topan, atau peraturan pemerintah yang melarang produk populer tertentu seperti bola lampu pijar.
Barang-barang ini dibeli dalam jumlah besar untuk mengimbangi kekurangan potensial atau sebagai tindakan keselamatan (diunduh dari https://www.investordictionary.com/ tanggal 12 Maret 2020). Pilihan produk dapat berbeda antarlokasi dan antarnegara, sangat bergantung pada persepsi warga setempat mengenai barang apa yang paling diperlukan saat suatu peristiwa terjadi.
Menurut James Chen (2019), dari perspektif makro, belanja panik mengurangi penawaran dan menciptakan permintaan yang lebih tinggi, yang mengarah ke inflasi harga yang lebih tinggi. Pada tingkat mikro, rasa takut ketinggalan (FOMO) atau pembelian yang dipicu oleh tekanan jangka pendek dapat memperburuk belanja panik (penjelasan mengenai FOMO diberikan pada kesempatan lain).
Dinamika psikologis
Jaime Kurtz (2016), profesor psikologi dari James Madison University di Virginia mengatakan, kita cenderung mengejek perilaku belanja panik di media sosial. Kita menilai karena tahu bahwa pada tingkat tertentu, belanja bahan pangan secara banyak sekaligus sangat tidak rasional. Bukankah kebanyakan orang memiliki cukup makanan untuk menghadapi badai yang paling buruk, yang akan membuat mereka tinggal di rumah selama tiga hari?
Berapa banyak susu yang benar-benar diminum orang? Berapa banyak beras atau mi instan yang bisa dimakan satu keluarga? Namun, seperti yang terjadi, belanja panik memang melayani beberapa kebutuhan psikologis yang penting.
Perlu diakui bahwa secara individu ada rasa sedikit gugup, khawatir tentang apa yang akan dimakan, misalnya saat badai salju datang. Ada sedikit kenyamanan yang dapat ditemukan di toko bahan makanan. Ada ketegangan yang lepas ketika merasa puas melihat keranjang belanja penuh. Hanya rasa nyaman, dalam arti sesederhana itu.
Ada pula kebutuhan untuk kontrol di sini. Badai besar ini mungkin hanya menimbulkan ancaman terhadap kehidupan dan properti, mendatangi kita dan tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun tentang hal itu. Kita benci merasa tidak berdaya, sepenuhnya karena kekacauan dari alam, dan salah satu dari beberapa hal yang dapat kita kendalikan adalah jumlah makanan di lemari es. Jadi, jika kita menyimpan dan lebih mudah beristirahat, akan merasa telah melakukan apa yang kita bisa.
Belanja panik juga merupakan fenomena sosial, dibentuk oleh tekanan normatif yang kuat. Kita melihat rak-rak toko makanan yang hampir kosong dan bertanya-tanya, ”Apa yang saya lewatkan di sini? Apakah orang lain tahu bahwa saya tidak belanja?” Dalam situasi yang tidak terduga, seperti badai salju yang akan datang, kita sering mencari orang lain untuk menentukan tindakan yang tepat.
Jika kita tahu bahwa semua orang berbelanja bahan pangan, kita juga akan melakukannya. Ada sesuatu yang ritualistik tentang belanja panik, sesuatu yang mengikat kita satu sama lain dalam kondisi yang sedikit menakutkan dan tidak pasti, kita merasa terlibat sebagai anggota dari suatu kelompok yang dapat mengendalikan rasa khawatir.
Para ahli lain sepakat mengatakan bahwa orang melakukan belanja panik karena ketakutan akan hal yang tidak diketahui, dan percaya bahwa peristiwa dramatis memerlukan suatu respons dramatis juga, meskipun tidak rasional, karena dalam hal ini respons terbaik adalah sesuatu yang biasa saja seperti mencuci tangan (Bryan Lufkin, 2020).
Lebih lanjut Lufkin menyampaikan pandangan dari para ahli tersebut. ”Ada perbedaan yang jelas antara persiapan bencana dan belanja panik,” kata Steven Taylor, seorang profesor dan psikolog klinis di University of British Columbia, dan penulis The Psychology of Pandemics.
Dalam kasus badai atau banjir, kebanyakan orang memiliki gagasan yang adil tentang barang-barang yang mungkin mereka butuhkan jika terjadi pemadaman listrik atau kekurangan air. Namun, jika efek dari suatu bencana seperti Covid-19 tidak jelas, ada banyak ketidakpastian yang lalu mendorong pengeluaran ini.
Belanja panik didorong oleh kecemasan dan keinginan serta usaha keras agar memadamkan ketakutan ini, seperti antre berjam-jam atau membeli jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Menurut Taylor, dalam kondisi seperti ini, orang merasa perlu melakukan sesuatu yang sebanding dengan persepsi mereka tentang tingkat krisis. ”Kita tahu bahwa mencuci tangan dan mempraktikkan cara batuk yang benar adalah hal yang perlu dilakukan saat ini.
Namun, bagi banyak orang, mencuci tangan sepertinya terlalu biasa. Ini adalah peristiwa dramatis, karena itu diperlukan tanggapan yang juga dramatis, sehingga mengarahkan orang-orang untuk membuang uang dengan harapan melindungi diri mereka sendiri.”
Belanja panik mendapatkan pembahasan berlebihan di media sosial dan media berita, dan itu memperkuat rasa kelangkaan, yang memperburuk belanja panik. Ada efek bola salju yang semakin meningkatkan rasa urgensi. ”Jika semua orang di kapal Titanic berlari untuk menemukan sekoci, Anda akan berlari juga, terlepas dari apakah kapal itu tenggelam atau tidak,” kata Taylor.
Oppenheim setuju. ”Mungkin benar bahwa belanja panik pada akhirnya adalah mekanisme psikologis untuk menghadapi ketakutan dan ketidakpastian kita; suatu cara untuk menegaskan kontrol atas situasi dengan mengambil suatu tindakan.”
Sikap yang rasional
Lufkin (2020) mengatakan bahwa rencana yang lebih baik daripada belanja panik harus disiapkan sepanjang waktu untuk berbagai kemungkinan keadaan darurat. Penting untuk selalu mengingat kebutuhan semua orang, siapkan apa yang Anda dan keluarga butuhkan, tetapi hindari keinginan untuk menimbun persediaan secara berlebihan.
Ketika belanja panik dilakukan bersama, akan menyebabkan harga melambung, atau menurunnya persediaan untuk individu berisiko tinggi yang justru sangat membutuhkan produk seperti masker wajah. Artinya, perlu mengembangkan rasa kebersamaan kelompok dan energi yang positif, tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Perlu dicatat bahwa sumber informasi berkualitas selalu penting untuk menghindari rumor dan kepalsuan. Di Jepang, desas-desus media sosial keliru mengklaim persediaan kertas toilet dan tisu hampir habis karena China tidak akan lagi mengekspor produk-produk ini.
Untuk menghentikan belanja panik, pejabat lokal dan asosiasi industri harus membuat pernyataan yang mengingatkan masyarakat bahwa hampir semua kertas toilet dan tisu diproduksi secara lokal dan ada banyak persediaan.
Artinya, pihak pemerintah perlu segera memulihkan kepercayaan publik. Seperti kata Oppenheim: ”Bahan penting yang kritis adalah informasi yang baik, jika kita bisa mengatasi ketakutan dan ketidakpastian publik, kita berpotensi mengurangi kepanikan dan pembelian di saat-saat terakhir.” Salam tenang.