Daeng Bahtiar Rifai (48), berhenti menjadi nelayan lalu memilih menyelamatkan terumbu karang Gili Petelu, Lombok. Banyak terumbu karang hancur akibat ulah penangkap ikan yang menggunakan bom.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·5 menit baca
Daeng membuat balok-balok beton yang ditenggelamkan di Gili Petelu yang berada di depan obyek wisata Pantai Pink, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Kini, perairan itu kini menjadi tempat asuhan seluruh biota di dalamnya, tempat berpijah dan arena bermain ikan hias yang semula menghilang dari gili.
“Artinya, terumbu karang punya fungsi pelindung fisik perairan, menjadikan habitat yang nyaman bagi biota laut,” ujar Daeng, warga Dusun Koko, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, 51 kilometer arah tenggara Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (8/2/2020).
Gili Petelu yang menjadi alur lalu lintas perahu nelayan melaut menuju Samudera Indonesia itu dibatasi sebuah bukit dan Pantai Pink. Baik buruknya ekosistem pantai tergantung pada kondisi terumbu karang gili. Terumbu karang tersebut bisa berfungsi menahan dan memecah energi gelombang, dapat mencegah abrasi dan kerusakan Pantai Pink.
Pantai Pink yang indah menarik wisatawan dalam dan luar negeri. Pantai yang berpasir putih berubah warna menjadi merah jambu di pagi dan sore hari. Warna merah jambu itu berasal dari pecahan cangkang kerang warna pink yang tergerus ombak, lalu menyatu dengan spesies, plankton dan serpihan karang muda berwarna merah di pinggir pantai. Warna pink nampak semakin jelas ketika diterpa sinar matahari dan air laut.
Di sisi lain, warga Tanjung Luar mendapat penghasilan dari sewa kapal motor, jasa pemandu dan paket wisata. Jarak antara Gili Petelu dan Pantai Pink ditempuh sekitar 40 menit dari Dermaga Tanjung Luar.
Sayangnya, pemilik kapal dan pemandu wisata terusik oleh ulah pengebom ikan di perairan Gili Petelu. Kerusakan parah terumbu karang di kawasan itu terjadi tahun 1990, membentang 200 meter arah utara-selatan di kedalaman lima meter. Kondisi gugusan terumbu karang gili rusak seakan pernah terjadi perang. Air teluk Pantai Pink keruh, karena serpihan dan debu terumbu karangnya menjadi lumpur, yang tergerus gelombang dari gili.
Media terumbu
Kondisi itu membuat Daeng prihatin yang kemudian memutuskan berhenti menjadi nelayan. Mulai tahun 2012, dia mulai merestorasi terumbu karang Gili Petelu. Dia mengawalinya dengan mempelajari teknik transplantasi dan membuat media terumbu karang dengan mengundang salah satu rekannya yang memiliki keahlian membuat media terumbu. Lalu, dia mengajak generasi muda desa untuk terlibat menyelamatkan ekosistem Gili Petelu.
Mereka membuat balok beton dengan biaya swadaya di antaranya dari uang Daeng. Balok beton itu dirangkai lalu menyerupai meja dan rangka lemari sepanjang 1,5 meter dan tinggi 40 sentimeter. Balok-balok beton itu ditenggelamkan di 10 titik Gili Petelu. Daeng bersama para pemuda desa membentuk Kelompok Sadar Wisata Tanjoh Tanjung Luar.
Setelah persiapan membuat media terumbu selesai, mereka bergotong royong memasangnya, lalu bergiliran patroli ke Gili Petelu pada pukul 07.00-17.00. Patroli itu dilakukan lantaran acapkali media terumbu karang itu raib dari tempatnya. Belakangan ditemukan oknum pelaku yang mengambil balok beton, lalu pelakunya dilaporkan ke aparat berwajib.
Pelaku mengambil media terumbu karang itu karena menghalangi aktivitasnya menangkap ikan menggunakan jaring oros (tarik). Belakangan, Daeng menyita dua perahu dan tiga sampan nelayan penangkap ikan menggunakan bom di Gili Petelu, dan pelakunya menjalani proses hukum.
Kepedulian Daeng membuahkan hasil dalam sepuluh tahun terakhir. Kini, taka da lagi penangkap ikan yang menggunakan bom di sekitar kawasan itu. Selain itu, pertumbuhan terumbu karang kini setinggi rata-rata 5 sentimeter, diikuti banyaknya ikan hias seperti clownfish, chalk bass dan ikan tang yang sempat hilang. Bahkan, usaha penyewaan alat selam semakin banyak, sejalan dengan kedatangan wisatawan. Namun akhir Januari hingga saat ini, kunjungan wisatawan sepi, menyusul merebaknya virus korona.
Setelah membenahi Gili Petelu, tahun 2018, Daeng memelopori penataan Pantai Tanjoh yang berada di Dermaga 2 di Desa Tanjung Luar menjadi obyek wisata. Pantai itu semula menjadi tempat pembuangan limbah material bangunan dan dijejali beling kaca. Limbah-limbah itu dikumpulkan lalu dibuang ke perairan Samudera Indonesia, atau 7 mil dari pantai Tanjung Luar.
Pantai itu dikengkapi beragam fasilitas swafoto, puluhan berugak (sejenis gazebo) bagi pengunjung, dan area berjualan minuman dan makanan ringan bagi pengunjung. Daeng juga membuat talut dari ban bekas untuk menahan gelombang yang datang pertengahan bulan yang mengakibatkan abrasi pesisir. Selama 1985-2019, terjadi abrasi sejauh 7 meter dari pasang-surut air laut 30 tahun lalu.
Untuk membangun Pantai Tanjoh, Daeng merogoh kocek pribadinya sebesar Rp 40 juta. “Tujuan saya membangun pantai ini karena desa ini tidak ada sarana dan fasilitas hiburan bagi anak-anak. Kalau mau berlibur mereka keluar desa. Ketimbang keluar desa, saya minta izin ke Pemerintah Kabupaten Lombok Timur untuk menata pantai ini menjadi sarana hiburan,” ujarnya.
“Tujuan saya membangun pantai ini karena desa ini tidak ada sarana dan fasilitas hiburan bagi anak-anak. Kalau mau berlibur mereka keluar desa. Ketimbang keluar desa, saya minta izin ke Pemerintah Kabupaten Lombok Timur untuk menata pantai ini menjadi sarana hiburan,” ujarnya.
Setelah permintaan itu dikabulkan, Daeng kemudian membenahi dan mengelola lahan Pantai Tanjoh milik Dinas Pendapatan Daerah Lombok Timur. Dari hasil penjualan karcis masuk pengunjung ke pantai, pengelola menyumbang Rp 20 juta bagi Pendapatan Asli Daerah Lombok Timur. Kini pantai itu ramai dikunjungi wisatawan lokal, sedangkan masyarakat menikmati hasil dari penjualan minuman dan makanan ringan.
“Yang paling penting dari keberadaan obyek wisata adalah pengujung merasa aman. Dulunya, jalan yang ada di pantai ini sangat sepi, bahkan sering terjadi pembegalan bagi pengendara sepeda motor. Belum lagi sapi curian yang diangkut dengan kapal dari Pulau Sumbawa, diturunkan di pantai ini. Sekarang karena suasana sudah ramai, tidak terlihat lagi sapi diturunkan di sini, atau mungkin pencurinya malu ditonton orang banyak,” ucap Daeng.
Daeng Bahtiar Rifai
Lahir: 31 Desember 1972
Isteri: Muliana (44)
Anak: 4
Jabatan: Ketua Pokdarwis “Tanjoh’ Desa Tanjung Lura