I Wayan Juliantara dan Kris Ayu Madina, Memberdayakan Ibu-ibu dengan Bambu
Dengan bambu, I Wayan Juliantara (27) dan Kris Ayu Madina menyelesaikan banyak masalah di Lombok, mulai memberdayakan ibu-ibu hingga menjaga lingkungan.
Masalah sampah plastik di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mengusik nurani I Wayan Juliantara (27) dan Kris Ayu Madina (24). Hati mereka juga miris dengan kondisi perempuan setempat yang tak kunjung sejahtera. Kedua anak muda ini berusaha melawan persoalan itu dengan “bersenjatakan” bambu.
Semua berawal pada 2016 ketika Juli dan Ayu memutuskan untuk membuat Gumi Project guna mengatasi sampah plastik. Tidak puas dengan hasilnya, Juli terinspirasi untuk memanfaatkan bambu sebagai sumber daya ramah lingkungan. Mereka pun membentuk Gumi Bamboo pada 2017.
Juli dan Ayu kemudian bertemu dengan Ibu Mahuni dan Pak Bah, warga Desa Karang Sidemen, Lombok Tengah, untuk membahas pemanfaatan bambu menjadi sedotan di desa itu. Mereka juga mendapati bahwa banyak ibu-ibu desa menghadapi masalah pengangguran. Kalaupun ada yang bekerja, mereka berprofesi sebagai penambang batu ilegal, asisten rumah tangga, atau mantan pekerja migran.
“Aku dan Juli aktif di kegiatan sosial sejak 2014-an. Dari situ, kami mulai concern dengan lingkungan dan mengenal keadaan perempuan di pedesaan Lombok yang susah mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Salah satunya adalah karena budaya merariq kodeq yang membuat perempuan menikah muda sehingga berhenti sekolah,” kata Ayu melalui Skype dari Lombok, Selasa (17/3/2020).
Dengan awalnya hanya beberapa orang, Gumi Bamboo mengajak warga setempat untuk membuat sedotan bambu di galeri kecil milik Ibu Mahuni di Desa Karang Sidemen. Usaha mereka membuahkan hasil. Dengan pemasaran dan koneksi yang tepat, mereka bahkan mendapat pesanan ekspor perdana sekitar 200 sedotan bambu ke Singapura akhir 2017.
Sedikit demi sedikit, warga desa dan sekitarnya mulai memercayai potensi dari bisnis tersebut. “Dari situ Gumi Bamboo berkembang menjadi beberapa kelompok, yakni perajin, penjahit, penganyam, dan perajut. Kini, sebanyak 50 orang warga desa bekerja di situ, terdiri dari 37 perempuan dan 13 laki-laki,” tutur Juli, pendiri bersama Gumi Bamboo.
Pada 2019, Juli dan Ayu memutuskan untuk mendiversifikasi produk. Mereka akhirnya membuat berbagai kerajinan tangan lainnya dari bambu, seperti loofah, set alat makan, tas rajut, dan kotak bambu. Kapasitas produksi pun meningkat pesat, misalnya produksi sedotan dari 500 buah per bulan pada 2018 sekarang bisa mencapai 30.000 buah per bulan.
Mereka pun mulai mendapat banyak pesanan dari berbagai negara, seperti Swiss, Belgia, Inggris, Portugal, Peru, Italia, Hong Kong, Belanda, hingga Amerika Serikat, meskipun kadang kala terhambat masalah sertifikasi yang belum ada di Indonesia. Pada 2019, produksi Gumi Bamboo mencatat 80,5 persen untuk ekspor dan 19,5 persen untuk konsumsi dalam negeri. Sejauh ini, sedotan produksi Gumi Bamboo lebih populer di luar negeri daripada dalam negeri.
Pendapatan Gumi Bamboo tercatat dapat mencapai Rp 480 juta per tahun. Namun, sebagai bagian dari kewirausahaan sosial, sekitar 70-80 persen dari pendapat itu diberikan kepada para pekerja dan sisanya untuk operasional.
Penambang batu
Pada mulanya, sebagian ibu-ibu di Desa Karang Sidemen dan sekitarnya yang terlibat di Gumi Bamboo bekerja sebagai penambang batu di tambang ilegal. Mereka rawan celaka dan hanya mendapat secuil uang.
Mereka juga dibayar sedikit, hanya Rp 5.000 per satu karung. Ujung-ujungnya, mereka bisa hanya memeroleh Rp 10.000 untuk dua karung setelah bekerja seharian. Sungguh tidak setimpal untuk pekerjaan yang berbahaya dan berat.
Juli menambahkan, pekerjaan itu juga membuat para ibu-ibu harus meninggalkan anak di rumah. Bahkan, ada beberapa yang membawa anaknya ke tambang. “Dari segi parenting, anak juga tumbuh dalam kondisi yang tidak baik. Ini juga bisa berlanjut pada orangtua terpaksa menikahkan anaknya di usia muda untuk meringankan beban ekonomi, seperti lingkaran setan. Kami berusaha untuk memperlambat putaran itu,” katanya.
Melalui kolaborasi dengan Ibu Mahuni, Gumi Bamboo berhasil menggaet para ibu-ibu untuk bergabung menjadi perajin. Ibu-ibu itu juga langsung diajarkan cara untuk membuat sedotan dan kerajinan lainnya di tempat ataupun melalui pelatihan formal. Mereka juga kadang melihat tutorial dari video. Jika ada yang kesulitan, mereka mengajari satu sama lain.
“Aku lihat mereka sekarang lebih bahagia karena bisa berkumpul dan berbagi. Mereka mendapat tempat belajar keterampilan baru sekaligus mendapatkan waktu berkualitas bersama anak-anak karena bisa bekerja dari rumah. Mereka juga melakukan banyak kegiatan menyenangkan sekarang, seperti arisan,” tutur Juli.
Ayu menambahkan, waktu selama dua tahun belum cukup mengubah kehidupan ibu-ibu Desa Karang Sidemen dan sekitarnya. Namun, keterlibatan dalam kerajinan bambu dan pengetahuan baru memberikan mereka rasa kepercayaan diri yang lebih baik.
“Mereka lebih pede kalau ketemu orang baru malah ada yang nyeletuk dalam bahasa Inggris kalau ketemu orang asing. Mereka juga mengerti apa itu carbon footprint dan perbedaan jenis-jenis sampah. Ada satu ibu yang sekarang belajar soal keberlanjutan sehingga berkebun sendiri. Ada perubahan perilaku,” ujar Ayu.
Menurut Ayu, ada juga ibu-ibu yang bisa membayar utang karena dari pekerjaan sebagai perajin bambu. Kebanyakan pekerja di Gumi Bamboo biasanya memeroleh penghasilan berdasarkan pesanan. Namun, 15 orang di antaranya telah mendapatkan gaji tetap sebesar Rp 500.000 per bulan di luar lembur.
Bisnis keberlanjutan
Di luar Gumi Bamboo, Juli dan Ayu juga berkolaborasi dengan empat petani setempat dalam mencari bahan baku. Tak jarang, mereka juga membeli bambu dari warga desa lansia yang tengah mencari uang. Satu batang bambu dengan panjang 3 meter biasanya seharga Rp 1.000. “Petani awalnya menganggap bambu sebagai hama dan sering membakarnya. Sekarang mereka menjualnya kepada kami,” ujar Juli.
Juli dan Ayu bersama tim juga berusaha menanam bambu sendiri di hutan masyarakat di Desa Karang Sidemen. Hal ini juga sebagai salah satu strategi untuk menjaga keberlangsungan bisnis dan menekan harga produksi.
Ayu menegaskan, apa yang dilakukan Gumi Bamboo memang tujuannya membantu komunitas lewat bisnis yang sustainable. "Ternyata pelanggan dari luar negeri menyukai tujuan itu,” tutur Ayu.
Wayan Juliantara
Lahir: Ulakan, 22 Juli 1992
Pendidikan : S1 Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Mataram
Pekerjaan:
- Koordinator Jagger Charity Shop 2015-2016
- Freelance Interpreter Plan International 2015
- Co-giving Officer 2017
- Country Manager PuraWorka 2018-sekarang
- Co-founder Gumi Bamboo 2017-sekarang
Penghargaan:
- YSEALI Academic Fellowship, Arizona State University, USA, 2016
- Small Grant Recipient Alumni TIES Thailand 2016
- YSEALI Summit, Laos, 2016
- Top 10 YCSEA Sociopreneur 2020
- Awardee Short Term Australia Awards - Sustainable Tourism Management 2020
Kris Ayu Madina
Lahir: Bandung, 29 Juni 1995
Pendidikan: S1 Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Mataram
Pekerjaan:
- Koordinator Humas, Jage Kastare Foundation 2014-2016
- Presenter TVRI NTB 2016
- Staf Kesejahteraan & Perlindungan Anak Islamic Relief 2017-2018
- Co-founder & Business Development Manager Gumi Bamboo 2017-sekarang
Penghargaan:
- Indonesia China Youth Exchange Program Delegation, Kemenpora, 2015
- YSEALI Academic Fellowship, Arizona State University, USA, 2016
- YSEALI Summit, Laos, 2016
- Duta Bahasa Prov NTB Runner Up 1, 2016
- Terune Dedare Mataram Runner Up 3, 2016
- YSEALI Workshop “Community Development Through Social Action Projects in ASEAN", Philippines, 2017