Daerah Sulit Isi Kekosongan Jabatan Wagub
Tak hanya di Jakarta, sejumlah provinsi juga kesulitan untuk mengisi kekosongan jabatan wakil gubernur.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah merupakan revisi dari aturan tentang pilkada yang berlaku di tahun sebelumnya. Salah satunya mengatur perubahan terkait proses penggantian jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah.
Merujuk pada undang-undang tersebut, mekanisme penentuan kekosongan jabatan wakil gubernur akan ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik pengusung.
Dalam regulasi itu juga dijelaskan, partai politik pengusung harus mengusulkan dua nama calon wagub pengganti untuk selanjutnya ditetapkan melalui sidang paripurna DPRD. Sidang baru dapat digelar jika persyaratan kuorum peserta rapat paripurna penentuan wagub telah terpenuhi, yaitu 50 persen + 1.
Mekanisme pengusulan nama oleh partai politik pengusung dan pelibatan anggota dewan tersebut hanya akan membuat proses kian berlapis dan tentu rentan ditunggangi beragam kepentingan. Tidak heran jika lobi politik hingga pembahasannya akan alot dan memakan banyak waktu.
Pengaturan mekanisme dengan melibatkan legislatif tentu sangat berbeda dengan yang diatur sebelumnya. Di UU No 1/2015 tidak mengatur adanya proses yang harus dilalui di meja legislatif dalam pengisian kekosongan wakil kepala daerah. Wewenang untuk mengusulkan nama calon wagub pengganti yang telah memenuhi persyaratan dilakukan oleh gubernur aktif kepada presiden melalui menteri untuk kemudian dilantik sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sejauh ini, pemberlakuan aturan tersebut telah berdampak pada sejumlah provinsi yang berkepentingan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerahnya. Sorotan tentulah terus mengarah pada ibu kota Jakarta yang hingga kini belum juga menemukan sosok pengganti wagub setelah mundurnya Sandiaga Uno lebih dari satu setengah tahun lalu.
Selain DKI Jakarta, Litbang Kompas mencatat ada lima provinsi di Sumatera, yaitu Aceh, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, dan Bengkulu, yang juga merasakan dampak sulitnya mengisi kursi kosong wagub akibat berlapisnya mekanisme yang harus dilakukan. Hal serupa terjadi di Sulawesi Tengah, bahkan tak memiliki wagub hingga tiga tahun periode pemerintahan provinsi itu berjalan.
Faktor politik hingga meninggal
Kekosongan jabatan wagub di beberapa provinsi terjadi karena berbagai sebab. Di DKI Jakarta, Wagub Sandiaga mundur dari jabatan karena maju dalam pemilihan presiden. Sandiaga memilih melepaskan jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI, meskipun dalam persyaratannya cukup dengan cuti.
Sama halnya dengan Jakarta, keputusan politik Gubernur Riau untuk maju sebagai calon legislatif DPR membuat Riau sempat tak punya wagub. Namun, hal tersebut memang dilakukan di akhir masa jabatannya. Jabatan gubernur Riau digantikan oleh Wan Thamrin Hasyim tanpa wakil selama tiga bulan untuk menggenapi periode kepemimpinannya hingga Februari 2019.
Lain halnya dengan yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Tengah, kekosongan kursi wakil kepala daerah dikarenakan pejabat bersangkutan meninggal. Tak genap dua bulan setelah dilantik sebagai Gubernur Kepulauan Riau, Muhammad Sani meninggal. Masa kepemimpinan kepala daerah yang baru berjalan singkat itu pun harus digantikan oleh wakilnya, Nurdin Basirun.
Pada Mei 2016, Nurdin resmi dilantik sebagai gubernur dan sejak saat itu kursi wakil yang ditinggalkannya kosong. Kursi Wagub Kepulauan Riau baru terisi 22 bulan kemudian setelah Isdianto resmi dilantik untuk mendampingi Gubernur Nurdin.
Kondisi salah satu provinsi di Sulawesi hampir serupa dengan hal tersebut. Tak sampai tiga bulan setelah dilantik untuk memimpin Sulawesi Tengah, Wagub Sudarto meninggal pada Oktober 2016. Proses penggantian jabatan sang wakil ini pun berjalan cukup memakan waktu dengan berbagai dinamika dan alotnya kesepakatan partai politik pengusung.
Alhasil, lebih dari dua setengah tahun kemudian kekosongan kursi Wagub Sulawesi Tengah itu baru dapat diisi. Sosok Rusli Dg Palabbi pada akhirnya disepakati dan dilantik pada 26 Agustus 2019 untuk mendampingi Gubernur Longki Djanggola dalam menyelesaikan masa bakti.
Kasus korupsi
Berbeda dengan dua faktor tersebut, kekosongan wakil kepala daerah yang terjadi di beberapa provinsi di Sumatera justru diakibatkan kasus korupsi. Tersandungnya para gubernur dalam kasus korupsi mengakibatkan kekosongan kepala daerah dan jabatan itu harus digantikan oleh wagub.
Kekosongan wakil kepala daerah yang terjadi di beberapa provinsi di Sumatera justru diakibatkan kasus korupsi.
Hal tersebut sesuai dengan ketetapan dalam UU No 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 87 dan 88 regulasi ini jelas mengatur bagaimana mekanisme pengisian jabatan gubernur yang berhenti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum. Dalam hal demikian, wakil gubernur melaksanakan tugas sehari-hari gubernur sampai dilantiknya gubernur atau sampai dengan diangkatnya penjabat gubernur.
Naik takhtanya wakil gubernur menjadi kepala daerah membuat kursi orang nomor dua yang ditinggali kosong. Dari sejumlah provinsi yang memiliki persoalan kekosongan jabatan wagub akibat kasus korupsi, hanya Provinsi Bengkulu yang berhasil melaksanakan pergantian untuk jabatan tersebut.
Diketahui sebelumnya, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti tersandung kasus korupsi suap proyek di lingkungan pemda yang membuat dirinya harus mundur dari jabatan pada Juni 2017. Terhitung mulai saat itu, dengan periode kepemimpinan baru berjalan setahun empat bulan, jabatan pelaksana tugas (Plt) gubernur diemban oleh Wagub Rohidin Mersyah.
Setahun kemudian, Rohidin resmi dilantik sebagai gubernur definitif. Sementara kursi wagub yang ditinggalkan Rohidin mengalami kekosongan tidak kurang dari 10 bulan. Jabatan Wagub Bengkulu secara resmi diisi oleh Dedy Ermansyah yang dilantik oleh Presiden pada September 2019.
Kondisi berbeda terjadi di Provinsi Jambi yang hingga kini belum juga menemukan sosok pengganti untuk menjabat wagub. Kursi pejabat nomor dua di provinsi itu kosong sejak jabatan itu ditinggal oleh Fahrori Umar pada 13 Februari 2019 yang naik menggantikan Gubernur Zumi Zola setelah tersandung kasus gratifikasi proyek. Terhitung per Maret 2020, berarti sudah lebih dari satu tahun kursi Wagub Jambi kosong.
Sementara hal yang sedikit berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Aceh. Setelah Kepala Daerah Irwandi Yusuf terjerat korupsi dana otonomi khusus, sejak Juli 2018 Wagub Nova Iriansyah merangkap jabatan sebagai plt gubernur. Namun, hingga kini, Nova belum juga dilantik sebagai gubernur definitif dan masih menjalankan fungsi kepala daerah seorang diri. Periode kepemimpinan kepala daerah di Aceh baru akan berakhir tahun 2022.
Fenomena pejabat tunggal plt kepala daerah oleh wagub juga terjadi di Kepulauan Riau. Persoalan kekosongan jabatan kepala daerah di periode yang sama justru harus terulang di provinsi tersebut. Jabatan sebagai plt gubernur juga harus diemban oleh Wagub Kepulauan Riau Isdianto setelah Gubernur Nurdin Basirun terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Wagub Kepulauan Riau Isdianto menjadi plt gubernur sejak 13 Juli hingga sekarang. Bahkan, kondisi tersebut kemungkinan besar akan berlanjut mengingat periode kepemimpinan yang sebentar lagi akan berakhir tahun 2021.
Perubahan aturan untuk penggantian jabatan wagub sejatinya dibuat bukan untuk memperumit daerah dalam mengisi kekosongan kepemimpinan.
Adanya pelibatan partai politik dan pembahasan oleh legislatif perlu dipahami sebagai langkah demokrasi, bukan malah disalahgunakan segelintir pihak untuk mendapat keuntungan praktis.
Mekanisme penggantian wagub yang alot dan dipenuhi oleh kepentingan politik secara nyata menunjukkan ketidakberpihakan elite pada kemaslahatan luas publik. Sudah semestinya eksitensi dan martabat dwi-kepemimpinan gubernur dan wakilnya terus dijaga untuk mengoptimalkan kerja pemerintah dalam membangun daerah. (LITBANG KOMPAS)