Efek Pemilihan Presiden yang Masih Belum Juga Berlalu
Kondisi masyarakat belum sepenuhnya beranjak dari kontestasi Pemilu 2019. Efek persaingan antarpendukung masih terlihat hingga kini di antara pendukung Jokowi-Ma\'ruf versus Prabowo-Uno. Hasil riset pun membutikan.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sudah dilantik pada 20 Oktober 2019. Namun, efek persaingan di antara kedua pemimpin itu dengan pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wapres Sandiaga Uno dalam Pemilihan Presiden 2019 belum benar-benar berlalu. Masyarakat pendukungnya masih belum sepenuhnya ”move on” dari kontestasi elektoral itu.
Kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya beranjak dari kontestasi elektoral Pemilu 2019 terkonfirmasi dalam hasil survei bertajuk ”Persepsi Publik tentang Kinerja Pemerintahan dan Proyeksi Politik 2024”. Survei tersebut dilakukan Politika Research & Consulting bersama Paramater Politik Indonesia.
Survei itu dilakukan terhadap 2.197 responden di 34 provinsi dan dilakukan pada 25 Januari-10 Februari 2020. Metode yang dipakai adalah multi-stage random sampling. Penentuan jumlah responden setiap provinsi secara proporsional berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010.
Baca Juga: Jokowi Unggul di Jawa, Prabowo di Sumatera
Sebagian hasil survei itu menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Bengkulu menyatakan kurang puas dan tidak puas terhadap kinerja presiden dan wapres. Sementara di Jawa Barat, 5,26 persen responden menyatakan tidak puas, 43,16 persen kurang puas, 44,21 persen puas, 2,37 persen sangat puas, dan 5 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
"Sebagian besar responden di Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Bengkulu menyatakan kurang puas dan tidak puas terhadap kinerja presiden dan wapres. Sementara di Jawa Barat, 5,26 persen responden menyatakan tidak puas, 43,16 persen kurang puas, 44,21 persen puas, 2,37 persen sangat puas, dan 5 persen tidak tahu atau tidak menjawab"
Pada survei tersebut juga diketahui, Sulawesi Barat memiliki persentase ”sangat puas” sebesar 70 persen. Sementara di Sulawesi Utara tingkat kepuasannya 85 persen. Di Kalimantan Utara, 90 persen responden menyatakan ”puas”.
Pada pemaparan hasil riset yang dilakukan di Jakarta pada Minggu (23/2/2020), sejumlah politikus turut hadir. Sebagian di antaranya adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Maman Abdurrahman, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eriko Sotarduga, dan juru bicara PKS Indra.
Maman memberikan apresiasinya terhadap hasil survei tersebut. Hal ini sekalipun pemerintahan Jokowi baru berjalan sekitar tiga bulan. Ia menyebutkan bahwa selama sifatnya konstruktif, hasil riset tersebut tidak perlu dipusingkan.
Adapun Indra menyoroti sejumlah kebijakan terbaru di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satunya adalah omnibus law yang ditujukan untuk menyederhanakan regulasi, tetapi cenderung justru sebaliknya, complicated. Hal ini misalnya tecermin dalam aturan turunan omnibus law berupa peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden yang cenderung dinilai terlalu banyak.
Respons wajar
Menanggapi tingkat kepuasan di sejumlah daerah tersebut yang relatif rendah, Eriko mengatakan bahwa PDI Perjuangan melihatnya sebagai hal yang wajar. Ia juga menyebutkan bahwa pihaknya sudah memprediksi hal tersebut.
Menurut Eriko, hasil survei itu memang wajar karena berkaitan dengan hasil Pemilu 2019 di sejumlah daerah tersebut. Di daerah tersebut, secara umum hasil perolehan suara Jokowi-Amin tertinggal agak jauh.
”Karena bagaimana pun, bias pilpres, pileg (dalam Pemilu 2019) masih ada. Belum bisa dikatakan hilang sepenuhnya. Bahasanya, para pendukungnya masih belum move on,” ucap Eriko.
"Hasil survei itu memang wajar karena berkaitan dengan hasil Pemilu 2019 di sejumlah daerah tersebut. Di daerah tersebut, secara umum hasil perolehan suara Jokowi-Amin tertinggal agak jauh"
Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak akan memberikan perlakuan khusus terhadap daerah-daerah itu. Menurut Eriko, hal itu karena penanganan pembangunan di tiap daerah tidak boleh dilakukan berbeda-beda.
Baca Juga: Keunggulan Jokowi-Amin Bertahan di 19,86 Persen Suara yang Masuk
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), imbuh Eriko, tidak bisa satu daerah tertentu diistimewakan serta memperoleh perhatian utama. Demikian pula sebaliknya, tidak bisa juga ada satu daerah tertentu yang diabaikan dan terpinggirkan dalam pembangunan.
Semua hal, lanjut Eriko, akan sangat tergantung pada keperluan lokal. Tergantung pada kebutuhan masyarakat dan tergantung juga pada apa yang harus dibantu.
Dalam hal ini, salah satu indikatornya adalah perbedaan secara geografis dari setiap daerah yang ada. Misalnya saja daerah dengan kawasan perbukitan dan pegunungan serta wilayah kepulauan dan kelautan. Di lokasi lain, wilayah dengan karakter pertanian, dan kemungkinan dengan sejumlah masalah pertambangan.
”Kalau prinsip NKRI, apa pun daerah (statusnya) penting dan utama. Tidak dibeda-bedakan (berdasarkan) hasil (perolehan) suaranya atau hasil survei,” ujar Eriko.
Ia menambahkan, selain survei itu, sensus penduduk yang kini tengah dilakukan pemerintah lewat BPS akan dapat mengetahui kebutuhan dan potensi tertentu yang sesungguhnya dan harus menjadi fokus pembangunan. Eriko menyebutkan, hasil sensus akan dapat menjadi bahan utama bagi pihaknya.
Tiga indikator
Di sisi lain, riset tersebut secara umum juga menemukan tiga indikator perekonomian dalam 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin yang tengah menjadi sorotan masyarakat. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno kemarin juga mengatakan bahwa tiga indikator itu adalah kenaikan harga-harga yang sulit dijangkau masyarakat, pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan di kisaran 5 persen, dan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Adi mengatakan, hal itu membuat kinerja sejumlah menteri dari kabinet Presiden Jokowi dan Wapres Amin di bidang perekonomian layak dipertanyakan.
”Menteri (dari kalangan) profesional, partai, atau pengusaha, kalau kinerjanya tidak sesuai harapan, perlu di-reshuffle,” ujar Adi di sela-sela diskusi tersebut.
Adi menambahkan bahwa harapan rakyat di bidang ekonomi sebagai kondisi yang ”jauh panggang dari api”. Padahal, imbuhnya, pada periode kedua kekuasaannya, Presiden Jokowi perlu meninggalkan warisan berupa hasil pemerintahan yang baik.
Namun, Adi juga mengatakan bahwa pada masa awal dalam 100 hari bukanlah alat yang tepat untuk bisa mengukur dan mengevaluasi kinerja sebuah kabinet. Akan tetapi, selama waktu tersebut, dapat diketahui apakah menteri-menteri yang membantu Jokowi telah menunjukkan keseriusan untuk melaksanakan sumpah dan visi-misi Presiden pada periode kedua atau tidak.
Berikan kesempatan
Direktur Politika Research & Consulting Rio Prayogo mengatakan, kabinet yang saat ini membantu Presiden Jokowi harus terlebih dahulu diberikan kesempatan menunjukkan kemampuan dan kinerjanya.
”Jadi, kasih waktu kabinet untuk bekerja meyakinkan masyarakat terlebih dahulu. Baru divonis jika memang tetap tidak ada langkah serta hasil perbaikan dan kemajuan”
Argumentasinya juga sejalan dengan analisis Eriko bahwa tingkat persetujuan yang rendah terhadap pemerintahan Jokowi, berdasarkan riset itu, diketahui terjadi pada sejumlah daerah yang juga rendah basis dukungannya terhadap capres dan cawapres Jokowi-Amin saat Pemilu 2019. ”Jadi, kasih waktu kabinet untuk bekerja meyakinkan masyarakat terlebih dahulu. Baru divonis jika memang tetap tidak ada langkah serta hasil perbaikan dan kemajuan,” tutur Rio.
Baca Juga: Pertemuan Jokowi-Prabowo
Menurut Rio lagi, sejumlah kebijakan dan rencana kebijakan yang terkait dengan ekonomi memang membuat tingkat kepuasan publik itu rendah. Misalnya saja rencana mencabut subsidi listrik bagi pelanggan PLN kapasitas 900 VA dan perubahan skema subsidi gas elpiji 3 kilogram.
Namun, di sisi lain, imbuhnya, kinerja pembangunan infrastruktur dan kartu kerja juga relatif memiliki tingkat persetujuan tinggi, selama tiga bulan. Selain itu juga terkait penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, seperti 50,4 persen kinerja Kejaksaan Agung, 54 persen kinerja KPK, 64,4 persen yang menilai baik kinerja Polri, dan 70,4 persen kinerja TNI.