Menderita tuberkulosis bukanlah akhir kehidupan. Sejumlah penderita penyakit ini di Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, tetap semangat berobat hingga bertahun-tahun agar bisa sembuh.
Oleh
·4 menit baca
Menderita tuberkulosis bukanlah akhir kehidupan. Sejumlah penderita penyakit ini di Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, tetap semangat berobat hingga bertahun-tahun agar bisa sembuh.
Pada Rabu (18/3/2020) pagi, pria tukang ojek sepeda motor membawa seorang penumpang berhenti di depan Puskesmas Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur. Penumpang bernama Yonece Wangguay (45), yang mengenakan masker penutup wajah itu, turun dari motor. Ibu dari empat anak ini menuju ruangan khusus untuk melayani penderita tuberkulosis resistan obat (TBC RO).
Sepuluh menit kemudian, Kepala Puskesmas Kampung Harapan Hanover Budianto datang dan menyuntik Yonece serta memberinya obat. Yonece mengaku tak jenuh menjalani pengobatan selama setahun lebih karena optimistis sembuh meski kuman yang menyerangnya resistan obat.
Yonece tertular penyakit tuberkulosis (TBC) dari kerabatnya pada pertengahan 2018. Suaminya bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu. ”Saya berobat sejak akhir 2018. Para petugas puskesmas, keluarga, dan tetangga mendukung saya bisa sehat kembali,” tuturnya.
Sementara itu, Arlince Daber (32), warga Kampung Nendali, Kota Jayapura, rutin menjalani pengobatan TBC selama dua bulan terakhir ke puskesmas. Ia akan fokus menjalani pengobatan hingga tuntas agar tidak menularkannya ke kerabat di rumah.
”Saya berjuang untuk sembuh demi suami dan anak-anak. Mereka sumber kekuatan saya,” tutur Arlince, yang suaminya bekerja sebagai tukang ojek. Hanover Budianto mengatakan, pihaknya menangani penderita dengan tiga kategori penyakit TBC hingga Maret ini, yakni kategori satu sebanyak 15 kasus, TBC kategori dua dengan 4 kasus, dan 1 kasus TBC RO.
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Papua, ada 834 kasus TBC di Kabupaten Jayapura hingga akhir 2019. Distrik Sentani Timur termasuk daerah dengan kasus TBC tertinggi di Kabupaten Jayapura. Penderita TBC kategori 1 harus mengonsumsi obat enam bulan. Apabila kumannya belum tuntas, pemberian obat ditambah 2-3 bulan.
Kemudian, penderita TBC kategori 2 harus meminum obat selama 8-9 bulan dan mendapat suntikan obat selama dua bulan. Sementara penderita TBC RO wajib minum obat dan mendapat suntikan selama dua tahun agar sembuh total. ”Tingginya kasus TBC di Distrik Sentani Timur karena minimnya kesadaran warga menjaga pola hidup bersih dan sehat serta etika batuk yang benar,” papar Hanover.
Para penderita TBC di Sentani Timur mendapat layanan pengobatan gratis hingga tuntas. ”Apabila ada penderita berhalangan hadir ke puskesmas karena sakit, kami memberi layanan obat di rumahnya. Kami juga menyiapkan bantuan uang transportasi bagi penderita kurang mampu,” katanya.
Permukiman padat
TBC juga menjangkiti permukiman padat sebagaimana terjadi di Kampung Paso di Manado, Sulawesi Utara. Di permukiman itu, bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab penyakit itu singgah di sejumlah rumah setiap tahun. Hui Suawa (47), warga kampung itu, didiagnosis menderita TBC. Dua tahun lalu, kakak iparnya terkena TBC, bahkan lebih dari satu kali.
”Mungkin karena kami tinggal satu rumah,” tuturnya. Hui tinggal berlima bersama suami, anak, dan cucunya di lantai atas rumah kayu khas Minahasa. Di lantai bawah ada dua keluarga lain, termasuk kakak iparnya. Sumber pencahayaan di rumah itu hanyalah jendela kaca lipat beserta ventilasi di fasad rumah.
Saat kakak iparnya dinyatakan terkena TBC pada 2019, Hui sempat mengalami batuk berdarah. Ia dinyatakan positif TBC setelah foto rontgen. ”Dokter kasih obat untuk diminum satu minggu dan saya diminta berobat ke puskesmas. Di puskesmas, saya dapat obat lagi yang harus diminum selama enam bulan,” ujarnya.
Paket obat Stop TBC diberikan secara gratis sehingga pendapatan suaminya sebagai sopir angkutan tak terpangkas. Namun, minum obat bukan hal mudah bagi Hui karena menyebabkan asam lambung naik. ”Kalau mau menyerah, saya menyerah dari dulu. Rasanya mau mati gara-gara asam lambung bikin tidak bisa makan. Tapi, petugas puskesmas mengingatkan agar konsisten, begitu juga suami dan anak-anak,” kata Hui.
Kini pengobatan Hui tersisa satu bulan. Ia juga mendapat dukungan dari para ibu mantan penderita TBC di kampung itu. Saat ia mengeluhkan efek samping obat, seorang ibu meyakinkannya itu hal biasa. ”Dia selalu menguatkan saya, membuat saya tidak merasa sendirian. Lama-lama efek samping itu bisa hilang kalau konsisten minum obat,” katanya.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, di dunia ada 10 juta kasus baru TBC. Di Indonesia diperkirakan ada 842.000 kasus. Menurut Authorized Signatory Principal Recipient TBC Aisyiyah, Rohimi Zamzam, TBC bisa menyerang siapa saja dan kerap ditemukan di masyarakat menengah ke bawah. Nyala semangat penderita untuk sembuh mesti dijaga. (FABIO MARIA LOPES COSTA/ KRISTIAN OKA PRASETYADI/ SEKAR GANDHAWANGI)