Pastikan Bantuan Tepat Sasaran
Pemerintah sedang menyusun data agar program Kartu Prakerja tepat sasaran. Fokus program diubah, menjadi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menambah besaran insentif bantuan langsung bagi peserta program Kartu Prakerja yang terkena dampak pandemi Covid-19 harus dipastikan tepat sasaran. Proses pendataan peserta sedang dikebut dalam waktu satu pekan ini.
Rencana itu mestinya juga melindungi pekerja di sektor informal yang paling rawan terkena dampak dari kondisi pandemi Covid-19 dan tidak memiliki jaring pengaman sosial.
Direktur Eksekutif Program Kartu Prakerja Deni Puspa Purbasari, Senin (23/3/2020), mengatakan, dalam waktu sepekan, pemerintah akan mematangkan regulasi untuk mengubah fokus program Kartu Prakerja. Program dengan anggaran Rp 10 triliun itu akan diprioritaskan untuk memberi bantuan insentif langsung bagi pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja dan kehilangan pemasukan.
Saat ini, pemerintah sedang berkoordinasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) untuk mendata pekerja yang baru-baru ini di-PHK akibat dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.
”Kami tidak berani kalau datanya tidak berasal dari institusi kredibel yang bisa meng-endorse. Jangan sampai ada pihak yang mengaku di-PHK hanya demi mengklaim manfaat,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Pada saat diluncurkan pekan lalu, konsep pendaftaran Kartu Prakerja adalah self-targeting. Siapa pun yang berusia 18 tahun ke atas, baik yang sedang mencari pekerjaan maupun ingin menambah kompetensi, khususnya lulusan sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, bisa mendaftar. Namun, menilik kondisi saat ini, prioritas program bergeser ke para korban PHK dan mereka yang kehilangan pemasukan rutin karena kebijakan pembatasan sosial pemerintah di tengah pandemi.
Baca juga : Insentif Korban PHK Akan Ditingkatkan Melalui Kartu Prakerja
Untuk itu, pemerintah berencana menambah insentif bagi para peserta kartu dari sebelumnya Rp 650.000. Besarannya belum ditentukan pemerintah. Namun, anggarannya tetap menggunakan dana Rp 10 triliun yang dialokasikan untuk program tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, harus ada kombinasi sumber data sebagai rujukan dalam menentukan peserta program Kartu Prakerja. Pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada sumber BP Jamsostek karena data yang dimiliki umumnya adalah pekerja formal. Sementara pekerja informal, sebagai yang paling terdampak pandemi, tidak terdata.
”Ini memang persoalan rumit mengingat sektor informal kita sulit diidentifikasi dan dilacak karena pendataannya dinamis. Makanya, untuk menentukan siapa yang berhak mendapat insentif prakerja, pemerintah tidak bisa bergantung pada satu sumber saja,” kata Faisal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2019, jumlah pekerja informal mencapai 70,49 juta orang atau 55,72 persen dari jumlah orang yang bekerja di Indonesia. Adapun jumlah pekerja formal 56,02 juta orang atau 44,28 persen.
Untuk menentukan siapa yang berhak mendapat insentif prakerja, pemerintah tidak bisa bergantung pada satu sumber saja.
Pekerja informal umumnya mengandalkan pendapatan harian, antara lain pedagang kaki lima, buruh pabrik, kuli bangunan, petugas kebersihan, dan pegawai kontrak yang dibayar harian.
Data penerima Kartu Prakerja juga perlu disinkronkan dengan program jaring pengaman sosial lain yang saat ini sedang disiapkan pemerintah untuk menanggulangi dampak Covid-19, seperti Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non-Tunai. Dengan demikian, tidak ada kasus peserta menerima dua manfaat sekaligus sehingga bisa memberi ruang bagi pihak lain yang membutuhkan.
Terkait pekerja sektor informal yang tidak terdata di BPJamsostek, Deni mengatakan, pemerintah masih mencari sumber data di luar BPJamsostek agar tetap bisa mendata dan melindungi pekerja informal.
”Sebenarnya, di atas kertas, hal ini bisa dilakukan karena seharusnya manfaat kartu ini lebih luas dirasakan, tidak hanya untuk anggota BPJamsostek yang adalah pekerja formal,” ujarnya.
Tidak tertutup kemungkinan, Kartu Prakerja juga bisa diberikan untuk para pekerja yang tidak di-PHK secara resmi, tetapi juga kehilangan pemasukan karena dirumahkan tanpa dibayar (unpaid leave). Kasus ini banyak ditemukan di sektor pariwisata.
Fokus pariwisata
Koordinator Kartu Prakerja dari Kementerian Ketenagakerjaan Mukhtar Aziz mengatakan, pada tahap awal, program akan fokus pada pekerja di sektor pariwisata. Datanya sedang dikumpulkan dari DKI Jakarta, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Selain meminta data dari BP Jamsostek dan dinas ketenagakerjaan di setiap wilayah, pemerintah juga meminta data dari asosiasi pengusaha di bidang pariwisata, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta serikat pekerja dan serikat buruh di sektor pariwisata.
Dalam konferensi video jarak jauh dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Senin, perwakilan PHRI serta sejumlah asosiasi serikat buruh dan pekerja meminta pemerintah membantu mencegah terjadinya PHK. Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, tingkat okupansi hotel dan penginapan saat ini kurang dari 40 persen sehingga perusahaan sudah sulit membayar biaya operasional, termasuk menggaji karyawan.
”Beberapa hotel sudah menutup total fasilitasnya. Saat ini beban paling besar di karyawan. Penutupan hotel dan restoran ini berisiko untuk mereka karena umumnya bergantung pada pendapatan harian. Jangan sampai kondisi ini jadi memunculkan friksi karyawan dengan pengusaha,” kata Maulana.
PHRI saat ini sedang mendata jumlah pekerja, baik pekerja harian, kontrak, maupun tetap, yang terdampak Covid-19 dan berpotensi kehilangan pemasukan. ”Pekerja-pekerja harian itu sudah tidak dipekerjakan lagi. Yang masih ditanggung perusahaan sekarang tinggal pekerja kontrak dan tetap. Kami masih menyusun datanya agar benar-benar tepat sasaran,” kata Maulana.
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Yorrys Raweyai mengatakan, saat ini tenaga kerja sangat terdampak, baik yang tetap, kontrak, harian, maupun alih daya. ”Apalagi di Bali dan daerah wisata lainnya, sudah resah. Perlu ada jalan keluar yang jelas dari pemerintah agar kami juga bisa menjelaskan kepada para pekerja pariwisata,” ujarnya.