Tiga Bulan, Keraguan terhadap Pimpinan KPK Masih Ada
Tiga bulan KPK, publik pun mengoreksi. Keraguan atas kemampuan KPK karena revisi UU dan pemimpin baru semakin diperkuat dengan minimnya tindakan. Salah satunya soal Harun dan Nurhadi yang belum tertangkap.
Pada Jumat (20/3/2020), lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2019-2023 dan Dewan Pengawas KPK tepat bekerja selama tiga bulan. Apa yang sudah mereka kerjakan?
Keraguan publik terhadap kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi karena revisi undang-undang dan pemimpin baru pun semakin diperkuat dengan minimnya tindakan yang dilakukan dalam tiga bulan ini. Apa benar?
Sebelum dilantik, skeptisme sebagian masyarakat terhadap kelima unsur pimpinan tersebut, yakni Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata, muncul. Meskipun demikian, ada juga sebagian pihak yang optimistis jalannya pembangunan bakal lancar mengingat tidak ada lagi ketakutan di-OTT-kan oleh KPK jika pejabat menyelewengkan uang negara.
Hal tersebut terlihat dari jajak pendapat Kompas pada 4-5 Desember 2019 yang menunjukkan ada 30,1 persen responden yang menjawab tidak yakin dengan kinerja KPK memberantas korupsi. Jumlah tersebut lebih banyak daripada jajak pendapat pada 23-5 November 2011, yakni 26,7 persen(Kompas, 20/12/2019).
Baca juga : Kinerja KPK Dinilai Belum Optimal
Para aktivis antikorupsi pun meragukan kinerja KPK dapat maksimal karena adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No 30/2002 tentang KPK. Salah satu produk dari revisi undang-undang tersebut adalah keberadaan Dewan Pengawas untuk pertama kali sepanjang sejarah KPK berdiri.
Para aktivis antikorupsi pun meragukan kinerja KPK dapat maksimal karena adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua UU No 30/2002 tentang KPK. Salah satu produk dari revisi undang-undang tersebut adalah keberadaan Dewan Pengawas.
Lima anggota Dewan Pengawas yang dilantik Presiden Joko Widodo adalah Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai ketua, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris.
Dewan Pengawas KPK memiliki kewenangan cukup besar, di antaranya mengawasi KPK, memberi atau tak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan serta pegawai KPK, serta menggelar sidang pelanggaran kode etik.
Keraguan dan optimisme publik terhadap KPK pun dibalas dengan optimisme dari Ketua KPK Firli Bahuri. Seusai pengucapan sumpah dan diterima Presiden Joko Widodo pada Jumat (20/12/2019) di Istana Jakarta, Firli mengungkapkan bahwa ia mengajak publik untuk melihat kinerja KPK ketika sudah berjalan.
”Kita lihat saja nanti. Kalau dianggap kurang, kami evaluasi. Kalau dinilai masih kurang juga, ya kami tambah, dan kalau dianggap masih lemah, ya kami perkuat. Jadi biasa saja,” tutur Firli saat itu (Kompas, 21/12/2019).
Optimisme Firli pun dibuktikan dengan penangkapan dua penyelenggara negara, yaitu Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Saiful Ilah pada Selasa (7/1/2020) dan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, pada Rabu (8/1/2020).
Saiful ditangkap karena dugaan suap terkait pengadaan proyek infrastruktur di Sidoarjo. Sementara Wahyu ditangkap terkait dugaan suap penetapan anggota DPR terpilih yang melibatkan Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku, dan Saeful.
Agustiani merupakan anggota Badan Pengawas Pemilu 2008-2012 yang disebut orang kepercayaan Wahyu. Harun adalah bekas calon anggota legislatif DPR pada Pemilu 2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sedangkan Saeful merupakan anggota staf Sekretariat DPP PDI-P.
Penangkapan terhadap dua penyelenggara negara tersebut ternyata tak cukup untuk meningkatkan kepercayaan publik kepada kinerja KPK. Sebab, Harun Masiku hingga saat ini belum juga ditangkap meskipun telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada pertengahan Januari 2020.
KPK pun terlihat tanpa beban meskipun Harun sudah melanglang buana dan tampaknya juga tak ada indikasi akan diburu besar-besaran oleh penyidik KPK dan petugas keamanan lainnya.
KPK pun terlihat tanpa beban meskipun Harun sudah melanglang buana dan tampaknya juga tak ada indikasi akan diburu besar-besaran oleh penyidik KPK dan petugas keamanan lainnya.
Harun Masiku dan Nazaruddin
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menduga pimpinan KPK justru seperti melindungi Harun. Hal tersebut terlihat dari pengembalian penuntut dan penyidik dalam kasus Harun ke instansi masing-masing meskipun Kejaksaan Agung mengaitkan kembalinya mereka karena kebutuhan, di antaranya untuk penyidikan dugaan suap kasus asuransi Jiwasraya. Mereka adalah jaksa Yadyn Palebangan ke Kejaksaan Agung dan penyidik Komisaris Rossa Purbo Bekti ke Polri.
Baca juga : Satu Bulan Lebih Diburu, Harun Masiku Belum Berhasil Ditangkap
Tak hanya Harun, KPK juga belum berhasil menangkap buron lainnya, mulai dari Syamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, terkait pengucuran Bantuan Likuditas Bank Indonesia, serta bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, menantunya Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto.
Nurhadi sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka karena kasus dugaan korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan perkara yang dilakukan pada 2015-2016. Ia ditetapkan masuk DPO pada 13 Februari 2020. Melalui kuasa hukumnya, Nurhadi telah mengajukan praperadilan sebanyak dua kali, tetapi ditolak hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meskipun demikian, Nurhadi juga belum ditangkap.
Belum ditangkapnya para buron tersebut membuat keseriusan KPK dalam memberantas korupsi dipertanyakan. Hal tersebut terlihat dari penurunan kepercayaan publik kepada KPK berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei.
Salah satunya, pada 15-16 Januari 2020, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat secara longitudinal. Meskipun sebanyak 64,2 persen responden menganggap citra KPK baik, citranya mengalami penurunan. Persentase ini turun dari Juli 2019 (79,6 persen). Citra baik pada Januari 2020 juga terendah sejak Januari 2015. Persentase citra baik KPK di bawah 70 persen muncul pada Februari 2015 (69,8 persen) dan November 2015 (64,8 persen).
Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pun mengingatkan agar KPK mengembalikan kepercayaan publik. Salah satu cara agar KPK dapat kembali dipercaya oleh publik adalah dengan menangkap para buron (Kompas, 5/3/2020).
Belum ditangkapnya para buron tersebut dianggap aneh oleh peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. Khusus untuk Harun Masiku, sudah dua bulan ia belum ditangkap KPK, padahal telah dipastikan ada di Indonesia. Terkait keberadaan Harun sempat terjadi polemik karena kesalahan pada sistem informasi imigrasi yang menyebabkan data perlintasan Harun terlambat.
”Dapat dibayangkan, Nazarudin (politisi Partai Demokrat) yang berada di Kolombia saja mampu diringkus KPK dalam waktu 77 hari. Namun, kenapa Harun Masiku yang sudah jelas ada di Indonesia tidak bisa ditemukan oleh KPK?” ujar Kurnia melalui pesan singkat, Minggu (22/3/2020), di Jakarta.
Menurut Kurnia, menjadi hal wajar jika publik pesimistis dan mengasumsikan bahwa KPK memang ogah menangkap Harun. Sebab, publik pun tidak mengetahui sudah sejauh mana perkembangan pencarian yang dilakukan KPK. Maklum, hingga sekarang, KPK, entah bagaimana, tidak pernah memperbarui hasil pengejaran terhadap Harun Masiku. Memang, jangankan Harun dan Nurhadi, Syamsul dan Itjih yang sudah bertahun-tahun saja hingga kini KPK tak pernah memperbarui informasi dan perkembangan hasil perburuan dan kemungkinan meminimalisasi kerugian negara akibat ulah mereka mengambil uang rakyat.
Melihat kinerja Firli yang belum membawa KPK ke arah lebih baik, Kurnia pun meminta dia mengundurkan diri dari struktur pimpinan KPK. Ia melihat Firli belum melakukan tindakan nyata. Hal itu membahayakan penanganan korupsi di Indonesia.
Tak jelas arahnya
Hal serupa diungkapkan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril. Ia melihat KPK tidak memiliki gebrakan dalam penindakan dan pencegahan. Bahkan, arah dan tujuan KPK tidak jelas karena upaya pencegahan yang dilakukan terkesan hanya sebagai kegiatan anjangsana.
Hal tersebut terlihat dari kunjungan yang dilakukan pimpinan KPK ke Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, sebanyak tiga kali dalam sebulan, yakni pada Januari-Februari lalu, dengan alasan mengenalkan jajaran pimpinan baru dan upaya pencegahan korupsi. Hal itu tentu mengundang pertanyaan publik dan para pengamat.
Budaya bersafari dan silaturahmi tersebut berbeda dengan yang pernah dilakukan pimpinan sebelumnya. Pada era Agus Rahardjo, misalnya, pertemuan hanya dilakukan pada pekan awal untuk perkenalan dan menjalin nota kesepahaman bidang pencegahan (Kompas, 9/2/2020).
Tak hanya ke Kompleks Parlemen, pimpinan KPK juga berkunjung ke beberapa kantor media. Dalam kunjungan tersebut, KPK menegaskan pentingnya sinergisitas antara penindakan dan pencegahan.
Bayangkan jika pencegahan tidak dilakukan, triliunan rupiah anggaran penanggulangan kemiskinan, penanganan bencana, dan lainnya akan dicuri koruptor. Berapa juta orang miskin dan anak putus sekolah yang bisa diselamatkan dengan sistem pencegahan yang kuat? Berapa nyawa yang akan terselamatkan? Itulah mengapa KPK berkoordinasi intensif dengan seluruh kementerian dan lembaga negara lainnya.
Pada Jumat (20/3/2020), Firli mengajak media untuk melihat persoalan pemberantasan korupsi secara utuh dan bukan aksi-aksi insidental untuk kebutuhan publikasi.
Baca juga : Saga KPK
”Bayangkan jika pencegahan tidak dilakukan, triliunan rupiah anggaran penanggulangan kemiskinan, penanganan bencana, dan lainnya akan dicuri koruptor. Berapa juta orang miskin dan anak putus sekolah yang bisa diselamatkan dengan sistem pencegahan yang kuat? Berapa nyawa yang akan terselamatkan? Itulah mengapa KPK berkoordinasi intensif dengan seluruh kementerian dan lembaga negara lainnya,” ujar Firli melalui pesan singkat.
Ia pun menampik anggapan bahwa penindakan akan melemah ketika pencegahan diperkuat. KPK saat ini tetap melakukan penindakan secara maksimal untuk memberantas korupsi.
Perjalanan KPK dalam tiga bulan ini sedikit menggambarkan bagaimana kinerja pimpinan KPK saat ini. Publik pun menantikan evaluasi menyeluruh yang dilakukan KPK dan Dewan Pengawas yang sampai saat ini belum dilakukan. Evaluasi tersebut setidaknya dapat menjadi penilaian terhadap kinerja pimpinan KPK saat ini yang sempat diragukan oleh publik.